Menulis Itu Obat dan Jalan Hidup yang Asyik Dijalani
Menulis adalah cara saya berdamai dengan hidup—obat bagi luka, dan jalan bagi jiwa untuk tetap bertumbuh.
Oleh Muhammad Subhan
SAYA suka menulis di waktu-waktu hening, khususnya di malam hari atau menjelang Subuh. Di waktu itu, dunia terasa berhenti. Tak ada suara kendaraan, tak ada dering pesan masuk, tak ada distraksi yang menuntut perhatian.
Hening itu asyik. Di dalam keheningan, saya seolah berbicara dengan diri sendiri, menata ulang ingatan, kenangan, dan pikiran yang berjejalan.
Inspirasi datang seperti embun, pelan-pelan membasahi hati dan menetes di ujung jari.
Sungguh, saya tidak suka berisik. Suara apa pun yang memecah konsentrasi adalah gangguan besar bagi penulis.
Mungkin sebab itu saya menemukan kenyamanan dalam keheningan: tempat kata-kata lahir, berubah, tumbuh, dan berbuah.
Saya terbiasa menulis cepat. Mungkin karena dulu saya wartawan. Lebih 15 tahun saya di lapangan. Dunia jurnalistik mengajari saya untuk tidak berlama-lama menimbang kata.
Di ruang redaksi, waktu adalah lawan paling kejam. Setiap berita punya deadline. Saya pernah ditugaskan menurunkan tiga hingga lima berita per hari. Berita itu harus dapat, bagaimana pun caranya. Bahkan ketika menjadi kepala perwakilan sebuah koran harian terbitan Padang untuk wilayah tugas Bukittinggi sepanjang 2005—2007, saya harus menghasilkan tujuh hingga delapan berita dalam sehari. Itu berarti pagi-pagi saya sudah keliling lapangan, mencari bahan berita, mewawancarai narasumber, mengumpulkan data, dan sore hari menulis hingga jari terasa pegal.
Setelah itu, saya masih harus mengedit, memilih foto, dan mengirim naskah ke redaktur agar bisa naik cetak malam itu juga, lalu koran terbit keesokan harinya. Terus begitu.
Ketika menjadi wartawan memang melatih saya dalam kecepatan berpikir dan menulis. Saya terbiasa menulis dalam tekanan waktu, tekanan pimpinan, namun justru di sanalah letak tantangannya. Wartawan harus tangguh, siap menembus medan sulit, bahkan ketika situasi sosial dan politik tidak bersahabat.
Saya pernah merasakan berita yang saya tulis tidak lolos meja redaktur karena terlalu tajam atau menyentuh kepentingan tertentu. Ada dilema di sana: idealisme berhadapan dengan kebijakan redaksi. Saya memilih idealis, meski artinya saya harus meninggalkan beberapa media tempat saya bekerja. Hingga akhirnya saya benar-benar memutuskan menjadi penulis lepas, sampai kini.
Menjadi penulis lepas tidak lebih ringan daripada menjadi wartawan. Tantangannya berbeda. Kalau wartawan berpacu dengan batas waktu dan tekanan redaksi, penulis lepas berpacu dengan diri sendiri. Tidak ada atasan yang menegur, tidak ada deadline yang memaksa, tetapi justru di sanalah ujian terbesar: menjaga disiplin dan konsistensi.
Menulis tanpa paksaan memerlukan motivasi yang tumbuh dari dalam. Dan saya menemukannya, bukan lagi sekadar sebagai profesi, tapi sebagai kebutuhan jiwa.
Menulis bagi saya adalah terapi. Setiap kali saya duduk di depan laptop, jari-jari saya seperti menyalurkan beban pikiran. Menulis adalah cara saya berdamai dengan kesedihan, kegelisahan, juga rasa syukur.
Banyak hal yang tidak bisa saya katakan kepada siapa pun, tapi bisa saya tuangkan di atas kertas atau di layar laptop.
Setiap kata yang keluar seperti obat yang menyembuhkan luka-luka batin. Ada kalanya saya menulis tanpa arah, hanya mengikuti alur hati, dan ketika selesai, saya merasa lebih ringan, lebih tenang, lebih puas.
Menulis adalah bentuk doa dalam bahasa yang paling hening dan palung paling dalam.
Namun, menjadi penulis bukanlah jalan mudah. Tak semua orang memahami bahwa menulis bisa menjadi profesi yang menghasilkan uang—bisa menjadi pekerjaan sampingan bahkan pekerjaan tetap. Dulu, banyak orang mengira hidup dari menulis itu mustahil. Tapi di era digital ini, saya membuktikan sebaliknya. Dunia menulis telah berubah. Internet membuka ruang baru bagi penulis untuk bekerja secara mandiri.
Kini, tulisan tak hanya lahir di media cetak, tapi juga di media daring, blog, portal berita, hingga platform penulis lepas. Internet telah memberikan banyak kemudahan bagi penulis—asal tahu caranya.
Saya menulis apa saja untuk media, khususnya media yang saya kelola. Awalnya saya hanya ingin berbagi gagasan, tapi kemudian saya sadar tulisan juga bisa menjadi sumber penghasilan. Di era digital, penulis bisa mendapatkan honor dari media, dari kerja freelance, dari segala peluang yang terbuka sepanjang jalan kepenulisan.
Memang, sebagai generasi peralihan dari X ke Milenial lalu berhadapan dengan Z dan Alpha, bersentuhan dengan teknologi tidak mudah. Tetapi dari sana saya belajar banyak hal baru: bagaimana mengelola ‘content writing’, membuat ‘copywriting’ untuk bisnis, menulis naskah untuk video, atau menulis profil dan biografi pesanan.
Dunia menulis kini tak lagi sesempit kolom opini di surat kabar atau seketat kolom budaya koran yang terbit setiap pekan; ia telah menjelma menjadi industri kreatif yang luas.
Meski demikian, tantangannya juga tidak ringan. Di tengah banjir informasi dan algoritma media sosial, tulisan kita mudah tenggelam. Diperlukan kemampuan membangun branding pribadi agar tulisan tetap dibaca dan dipercaya.
Maka, saya harus belajar lagi: tentang SEO, tentang tren konten, algoritma media sosial, tentang cara menulis judul yang menarik tanpa kehilangan kedalaman isi.
Terkadang, saya merasa kangen pada masa ketika menulis cukup dengan mesin ketik, tanpa harus memikirkan “engagement” dan “reach”. Tapi begitulah dunia: berubah, dan penulis harus ikut beradaptasi agar tak tertinggal atau ditinggalkan zaman.
Saya percaya, setiap penulis akan menemukan pembacanya, apa pun yang ia tulis.
Bagi saya, menulis bukan semata mencari uang, meski uang adalah konsekuensi logis dari kerja keras—uang akan datang dari pintu mana saja sepanjang terus berkarya. Yang lebih penting adalah bagaimana tulisan bisa memberi kesan dan pesan yang dalam—melekat di pikiran banyak orang. Ketika seseorang berkata bahwa tulisan saya menyentuh hatinya, itu sudah cukup membuat saya merasa kaya. Kekayaan batin yang tak bisa diukur dengan angka-angka.
Saya masih menulis di waktu-waktu hening, seperti dulu. Masih menikmati bunyi ketikan huruf di laptop yang bersahutan dengan detak jam di dinding. Kadang saya menulis cepat, kadang lambat. Kadang menulis untuk diri sendiri, kadang untuk siapa saja yang mau membaca. Tapi yang pasti, saya tidak ingin berhenti menulis.
Menulis, bagi saya, bukan hanya pekerjaan, melainkan jalan hidup, jalan pulang. Ia telah menjadi cara saya bertahan, cara saya memahami kehidupan, dan cara saya mencintai dunia.
Saya tidak tahu sampai kapan akan terus menulis. Mungkin selama jari masih bisa bergerak, atau selama hati masih punya kata yang ingin disampaikan. Karena, menulis itu sungguh asyik—meski melelahkan. Menulis itu obat—meski kadang menyakitkan ketika harus jujur. Menulis itu terapi—karena dari sanalah saya belajar sembuh dari luka-luka kehidupan.
Dan, ketika saya menulis, saya tahu: saya sedang hidup sepenuhnya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, pendiri Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah









