Menulis di Tengah Kebisingan Dunia Digital

Di era yang serba cepat, menulis menjadi ruang teduh untuk merenung, menata pikiran, dan menjaga kemanusiaan agar tak larut dalam kebisingan dunia maya.

Oleh Muhammad Subhan

DI SEBUAH sekolah seorang siswa bertanya, “Di zaman digital yang serba cepat sekarang ini, untuk apa lagi menulis? Semua sudah tersedia di gawai,” ujarnya polos dengan kalimat yang tanpa beban.

Pertanyaan itu sederhana, tetapi menancap dalam pikiran saya.

Siswa itu tumbuh di tengah dunia yang praktis, di mana segala sesuatu bisa diakses dalam hitungan detik.

Mungkin dalam pikirannya, menulis terasa kuno dan melelahkan. Namun, justru dari pertanyaan itu saya menyadari betapa berartinya menulis di tengah derasnya arus digital, sebab menulis sejatinya bukan hanya kegiatan menuangkan kata, melainkan cara untuk berpikir, berimajinasi, dan memahami kehidupan.

Dalam dunia pendidikan, menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting. Melalui menulis, seseorang belajar menata pikiran dan mengatur logika.

Ia tidak sekadar merangkai kata, melainkan juga menyusun gagasan, memilah mana yang penting, dan menyajikannya dengan bahasa yang runtut dan jelas.

Di situ ada latihan berpikir, latihan kesabaran, juga latihan mengelola emosi.

Saya sendiri menjadikan menulis bukan sekadar hobi, tetapi juga pekerjaan. Saya menulis puisi, cerpen, esai, novel, bahkan laporan jurnalistik. Dari menulis, saya hidup.

Saya menemukan bahwa dunia kata-kata memberi ruang kebebasan yang tak kalah luas dari langit tempat pesawat terbang. Ironisnya, cita-cita masa kecil saya dulu adalah menjadi pilot pesawat tempur, dan tidak pernah terwujud.

Karena saya bekerja dari menulis, saya pun memiliki jam kerja yang jelas. Saya menjaga disiplin, konsistensi, dan target.

Setiap hari saya duduk di meja kerja, di mana saja, membuka laptop, menulis, membaca, menyunting, lalu menulis lagi.

Sama seperti orang yang bekerja di kantor, saya juga punya tenggat dan jadwal yang harus ditaati. Ada proyek tulisan yang mesti selesai dalam waktu tertentu, ada tulisan yang perlu dikirim ke media, dan ada naskah yang harus disunting hingga rapi.

Menulis mengajarkan seseorang untuk tekun. Ia melatih saya untuk hadir setiap hari, bahkan ketika inspirasi enggan datang.

Saya belajar bahwa menulis bukan semata tentang bakat, melainkan tentang kerja keras dan kedisiplinan.

Seperti halnya petani yang setiap pagi turun ke sawah, penulis juga harus hadir di “lahan”nya sendiri, menanam kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai akhirnya tumbuh menjadi karya yang utuh.

Bagi siswa, menulis bukan sekadar latihan bahasa, melainkan juga proses belajar berpikir.

Seseorang yang menulis akan terbiasa menimbang gagasan dan menghubungkan satu ide dengan ide lainnya. Mereka belajar melihat persoalan dari berbagai sisi, menimbang data, dan merumuskan kesimpulan.

Dalam proses itu, daya nalar tumbuh dan logika berpikir terasah.

Menulis juga menumbuhkan kreativitas. Dalam menulis cerita pendek, misalnya, siswa menciptakan tokoh-tokoh yang hidup, menghadirkan konflik, dan mencari jalan keluar. Mereka bermain dengan imajinasi dan menemukan kepuasan saat cerita itu selesai dengan akhir yang mereka pilih sendiri.

Dunia menulis adalah dunia bermain, tetapi permainan yang menumbuhkan.

Selain itu, menulis juga membuat seseorang rajin membaca. Tak ada penulis yang baik tanpa menjadi pembaca yang baik. Siswa yang terbiasa menulis akan terdorong membaca lebih banyak: buku pelajaran, artikel, berita, hingga karya sastra. Membaca memperkaya perbendaharaan kata dan memperluas wawasan.

Maka, menulis sejatinya adalah pintu masuk untuk mencintai membaca.

Menulis pun membangun kepercayaan diri. Ketika tulisan mereka dipublikasikan atau dibacakan di depan kelas, ada rasa bangga yang tumbuh dalam diri siswa. Mereka merasa dihargai, karena gagasan yang lahir dari kepala dan hati mereka bisa diterima orang lain.

Dari situlah muncul keberanian untuk berpendapat dan berbagi pandangan.

Dan yang tak kalah penting, menulis menumbuhkan empati.

Saat siswa menulis cerita tentang orang lain, mereka belajar menempatkan diri pada posisi tokoh yang mereka ciptakan. Mereka berlatih memahami perasaan orang lain—sedih, bahagia, marah, kecewa—dan belajar menuliskannya dengan jujur. Dalam hal ini, menulis menjadi latihan kemanusiaan yang halus, mengasah kepekaan dan kasih.

Sebagian orang berpikir, di era digital ini menulis tak lagi penting. Semua bisa disampaikan lewat video, suara, atau gambar. Namun, anggapan itu sesungguhnya keliru. Justru di tengah banjir visual dan suara yang cepat menghilang, tulisan menjadi sesuatu yang abadi.

Kata-kata yang tertulis menyimpan daya tahan lebih lama; ia bisa dibaca ulang, direnungi, dan diwariskan.

Tulisan juga menjadi bukti kehadiran intelektual seseorang. Siswa yang terbiasa menulis akan lebih berhati-hati dalam berbicara dan lebih tajam dalam berpikir. Mereka tidak mudah terseret arus informasi palsu, karena sudah terbiasa menimbang sebelum menulis.

Dunia digital, di sisi lain, justru membuka peluang besar bagi para penulis muda. Mereka bisa menulis di blog, mengikuti lomba menulis daring, membuat catatan reflektif di media sosial, atau mengirimkan karya ke berbagai platform penerbitan digital, termasuk ke penerbit konvensional.

Jika dimanfaatkan dengan baik, teknologi bukan lawan bagi literasi, melainkan sahabat yang memperluas jangkauan tulisan.

Sekolah yang memberikan ruang bagi siswanya untuk menulis adalah sekolah yang peduli literasi. Budaya menulis tidak harus hadir dalam bentuk kegiatan formal semata. Ia bisa tumbuh dari majalah dinding, majalah sekolah, blog kelas, atau lomba karya tulis. Guru yang memberi ruang ekspresi menulis kepada siswanya sejatinya sedang menanamkan nilai-nilai berpikir kritis, keberanian, dan kejujuran.

Ketika menulis menjadi bagian dari kehidupan sekolah, siswa tidak lagi menganggapnya sebagai beban. Mereka menulis karena ingin berbagi, bukan karena diperintah. Di sinilah pentingnya peran guru sebagai teladan.

Guru yang menulis memberi contoh bahwa menulis bukan tugas berat, melainkan cara untuk merenung, memperbaiki diri, dan berkontribusi pada masyarakat.

Sekolah yang menumbuhkan semangat menulis sejatinya sedang membangun generasi pembelajar. Mereka yang tidak hanya pandai membaca informasi, tetapi juga mampu menciptakan pengetahuan baru dari pikirannya sendiri.

Menulis, bukan semata tentang kemampuan akademik, tetapi juga kejujuran. Saat menulis, seseorang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia menata emosi, mengurai kenangan, dan menyusun makna atas pengalaman yang dilaluinya. Dengan menulis, siswa belajar memahami siapa dirinya, apa yang ia rasakan, dan apa yang ingin ia capai.

Di tengah tekanan zaman yang serba cepat, menulis bisa menjadi tempat teduh. Dengan menulis, siswa belajar menenangkan diri, menyalurkan kegelisahan, dan mengubah luka menjadi kata-kata.

Dari situ lahir kebijaksanaan yang membuat mereka lebih matang dalam memandang hidup.

Di pengujung esai ini, saya kembali teringat pada pertanyaan siswa di awal tadi, “Untuk apa lagi menulis?”

Mungkin jawabannya sederhana: karena menulis membuat kita tetap menjadi manusia yang berpikir dan merasa. Rasa itu tak boleh hilang. Ia adalah ruh yang menggerakkan.

Menulis mengajarkan disiplin, kesabaran, dan konsistensi. Ini adalah nilai yang perlahan hilang di tengah dunia yang ingin serba cepat. Dalam menulis, kita belajar melambat sejenak untuk merenung. Kita belajar melihat sesuatu dari berbagai sisi, dan menuliskannya agar tidak hilang begitu saja.

Selama manusia masih ingin memahami dirinya dan ingin dikenang melalui pikirannya, menulis tidak akan pernah usang. Dengan menulis, manusia tidak hanya mencatat dunia di sekelilingnya, tetapi juga sedang menulis ulang dirinya sendiri. Dan siapa tahu, dari tulisan-tulisan para siswa hari ini, lahir masa depan literasi bangsa yang lebih cerdas, lembut, dan berjiwa. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan