Menonton Ulang Kegelisahan Ery Mefri dalam “Rantau Berbisik”
Karena kepatuhan kepada sang ibu, Ery Mefri pulang. Lalu dari kampung halaman ia suarakan semua kegelisahan pikiran dan batinnya di panggung-panggung dunia. Meski, ia sering mengatakan, di kampung halamannya sendiri, Ranah Minang, ia sering merasa asing.

Oleh Muhammad Subhan
Tim Redaksi Majalahelipsis.id
PADANG, MAJALAHELIPSIS.ID — Malam itu, suasana di ruang pertemuan Marapi Hotel Daima Padang tiba-tiba menjadi hening. Lampu yang semula menerangi ruangan dipadamkan. Gelap gulita. Tak ada suara. Tak ada bisikan dari para peserta workshop “Penulisan Apresiasi Seni Pertunjukan”, bagian dari rangkaian Kaba Festival X 2025 yang diselenggarakan Nan Jombang.
Para peserta, yang sebagian besar terdiri dari wartawan dan penulis lepas, bersiap menyaksikan kembali karya monumental Rantau Berbisik dari maestro tari Ery Mefri. Karya yang pertama kali diproduksi pada tahun 2009 ini telah melanglang buana, dipentaskan di lebih dari 60 panggung di empat benua. Video yang ditonton malam itu, pentas pada 2009 di Brisbane Powerhouse, Australia.
Malam itu Rantau Berbisik kembali dihadirkan. Membawa penonton menyelami kembali kegelisahan dan refleksi mendalam sang koreografer tentang tradisi merantau masyarakat Minangkabau. Bak filosofi yang sering diulang-ulang itu: “Karatau madang di hulu. Babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu. Di rumah paguno balun”.
Baca juga: KABA Festival X 2025, Merayakan Empat Dekade Perjalanan Seni Maestro Ery Mefri
Ery Mefri lahir pada 23 Juni 1958 di Saniangbaka, Solok, Sumatera Barat, tumbuh dalam keluarga yang kental dengan tradisi Minangkabau. Ayahnya, Jamin Manti Jo Sutan, adalah seorang maestro tari Minangkabau yang sering melatih pemuda dan mengisi berbagai acara kesenian.
Sejak kecil, Ery Mefri telah akrab dengan seni tari, sering tertidur di pangkuan sang ayah yang bermain gendang mengiringi penari. Pengalaman masa kecil ini membentuk dasar kecintaannya terhadap seni tari dan tradisi Minangkabau.

Dalam Rantau Berbisik, Ery Mefri mengangkat tema merantau sebagai inti dari koreografinya. Tradisi merantau bagi masyarakat Minangkabau bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi sebuah proses pendewasaan dan pencarian jati diri.
Kematangan seorang laki-laki seringkali diukur dari pengalamannya di perantauan, di mana ia belajar beradaptasi, bekerja keras, dan membawa pulang ilmu serta pengalaman untuk kemajuan kampung halamannya.
Baca juga: “Sang Hawa”, Karya Maestro Tari Ery Mefri Pentas di Gedung Kebudayaan Sumbar
Salah satu simbol kuat dari keberhasilan perantau Minang adalah keberadaan rumah makan Padang yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Rumah makan ini bukan hanya tempat makan, tetapi juga representasi dari semangat, kerja keras, dan adaptasi budaya perantau Minang.
Dalam koreografinya, Ery Mefri menggambarkan bagaimana langkah awal sebagian perantau dimulai dengan membuka warung nasi Padang kecil-kecilan, yang kemudian berkembang menjadi usaha besar. Ini mencerminkan perjalanan budaya dan adaptasi yang dilalui para perantau dalam menghadapi tantangan di tanah asing.
Pertunjukan Rantau Berbisik yang diputar ulang sebagai materi workshop itu dibawakan dengan dinamis oleh enam penari Nan Jombang Dance Company. Gerakan mereka memadukan elemen tari tradisional Minangkabau dengan sentuhan kontemporer, menciptakan harmoni yang memukau. Gerakan tubuh penari di atas meja, misalnya, sangat detail dan emosional, menggambarkan dinamika kehidupan perantau yang penuh liku. Setiap gerakan menceritakan kisah; dari kegembiraan, kesedihan, hingga harapan yang menyertai perjalanan merantau.
Lighting dan musik pengiring yang tak lain adalah musik tubuh—bukan musik modern—dalam pertunjukan itu juga memainkan peran penting. Memukul meja, piring, gelas, yang dentingan itu sering terdengar pada kesibukan dan keriuhan di rumah makan Padang, mengalun seiring dengan gerakan penari, menciptakan atmosfer yang mendalam dan menyentuh.

Ritme yang dimainkan mencerminkan denyut nadi kehidupan perantau, kadang cepat dan penuh semangat, kadang lambat dan reflektif. Beberapa bagian tampak lambat, bukan sang koreografer hendak mengulur waktu, melainkan demikianlah cerminan hidup, terkadang manusia butuh jeda, atau dalam salat, perlu gerakan thuma’ninah, berhenti sejenak; tidak tergesa-gesa.
Sejak pertama kali dipentaskan, Rantau Berbisik telah menarik perhatian penonton di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2009, pertunjukan ini tampil di Brisbane Powerhouse, Australia, sebagai bagian dari Queensland Music Festival. Kehadirannya di kancah internasional tidak berhenti di situ; karya ini juga telah dipentaskan di Tokyo Performing Arts Market 2010 di Jepang, serta berbagai festival seni di Eropa dan Amerika Serikat. Pentas di Jepang, Nan Jombang membawa Yurnaldi, wartawan senior yang saat itu masih bekerja di harian Kompas. Itu juga sebagai bentuk kedekatan Ery Mefri dengan wartawan, sehingga ia mengatakan dirinya “dicetak” oleh media sejak pulahan tahun lampau. Kata “dicetak” tak lain sebagai bentuk kerendahhatian seorang Ery Mefri.
Di setiap penampilannya, Rantau Berbisik selalu berhasil memukau penonton dengan kedalaman pesan dan keindahan koreografinya. Bahkan, menurut Ery Mefri malam itu, ada penonton Rantau Berbisik di Filipina yang terharu dan menangis usai menonton.
Ery Mefri sendiri mengakui bahwa proses kreatif dalam menciptakan Rantau Berbisik tidak pernah berhenti. Meskipun telah dipentaskan berkali-kali, karya ini terus dilatih, dikembangkan, dan dieksplorasi lebih lanjut.
Bagi Ery Mefri, proses adalah esensi dari seni itu sendiri; sebuah perjalanan tanpa akhir untuk mencapai kesempurnaan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan budaya.
Usai penayangan malam itu, didampingi narasumber workshop, Khairul Jasmil (Pemred Harian Singgalang) dan Frans Sartono (kurator Bentara Budaya dan mantan wartawan harian Kompas), Ery Mefri bersama istrinya, Angga Mefri, berdiskusi dengan peserta workshop. Ery Mefri dan Angga menjawab pertanyaan dan berbagi cerita tentang proses kreatif di balik Rantau Berbisik, tantangan yang dihadapi, serta makna mendalam yang ingin disampaikan melalui karya tersebut, meski kemudian, setiap penonton karya seni punya tafsir sendiri. Diskusi yang memberikan wawasan berharga bagi para peserta dalam memahami dan mengapresiasi seni pertunjukan, khususnya tari kontemporer yang berakar pada tradisi.
Rantau Berbisik bukan sekadar pertunjukan tari; ia adalah refleksi mendalam tentang identitas, perjuangan, dan adaptasi masyarakat Minangkabau dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Melalui gerakan, musik, dan ekspresi, Ery Mefri berhasil menyampaikan pesan universal tentang manusia dan perjalanan hidupnya, menjadikan karya ini relevan dan menyentuh hati penonton di mana pun ia dipentaskan.
Dalam konteks budaya global, Rantau Berbisik juga menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi dengan modernitas, lokal dengan global. Karya ini menunjukkan akar budaya yang kuat dan dalam.
Ketika salah seorang peserta bertanya tentang latar belakang Rantau Berbisik, Ery Mefri serta istrinya, Angga, menjawab, bahwa tari itu punya hubungan emosional personal seorang Ery Mefri terhadap ibu kandungnya yang berangkat ke Jakarta melalui perjalanan laut, naik kapal laut, menemuinya dan menyuruh pulang karena lama di rantau dengan segala perasaiannya.
Di titik itu, Ery Mefri tak dapat membendung air matanya. Ada setumpuk air hangat yang menggantung dan hendak tumpah di kelopak matanya. Tiba-tiba ingatannya terlempar jauh ke belakang, kembali ke sebuah ruang yang menemukan dirinya dan sang ibu yang menyuruh pulang. Kemudian, pada akhirnya ia penuhi permintaan ibunya itu. Pulang. Lalu dari kampung halaman ia suarakan semua kegelisahan pikiran dan batinnya di panggung-panggung dunia. Meski, ia sering mengatakan, di kampung halamannya sendiri, Ranah Minang, ia sering merasa asing.
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Ayu K. Ardi
-
Ping-balik: Simbol-Simbol di Balik Meja: Mengapresiasi Ulang Pertunjukan Tari “Rantau Berbisik” Karya Ery Mefri - Majalahelipsis.id
-
Ping-balik: Khairul Jasmi: Bahasa Jurnalis Ibarat Pedang di Tangan Pesilat, Menyatu dan Tajam - Majalahelipsis.id
-
Ping-balik: Menonton Tari Bukan Sekadar Menikmati, Frans Sartono: “Jangan Tulis Buruk Jika Tak Mengerti” - Majalahelipsis.id