Menonton Tari Bukan Sekadar Menikmati, Frans Sartono: “Jangan Tulis Buruk Jika Tak Mengerti”
Dalam menyaksikan pertunjukan tari, Frans Sartono menekankan pentingnya sikap obyektif. Penulis harus berusaha membersihkan diri dari prasangka-prasangka tentang pertunjukan yang akan disuguhkan.

PADANG, MAJALAHELIPSIS.ID — Menyaksikan sebuah pertunjukan tari bukan sekadar menikmati gerakan indah di atas panggung. Ada banyak hal yang terjadi dalam pikiran seorang penulis apresiasi seni pertunjukan saat duduk di antara penonton.
“Kalau nonton konser musik itu kepala saya bekerja,” ujar Frans Sartono, kurator Bentara Budaya sekaligus mantan wartawan Harian Kompas, mengutip ucapan mendiang musisi Harry Roesli (1951—2004) di hadapan peserta workshop “Penulisan Pertunjukan Seni Tari” yang diselenggarakan Nan Jombang Dance Company pimpinan maestro Ery Mefri dalam rangkaian kegiatan Kaba Festival X, Rabu—Jumat (19—21 Februari 2025), di Hotel Daima Padang.
Kalimat yang dikutip Frans itu mencerminkan bagaimana seorang intelektual (wartawan/penulis) dalam menganalisis sekaligus menikmati sebuah pertunjukan seni.
Kepada peserta yang mayoritas wartawan dan penulis lepas di Kota Padang, Frans membagikan wawasan tentang bagaimana seorang penulis seni pertunjukan bisa tetap menikmati pertunjukan tari sambil melakukan tugasnya. Selain Frans, narasumber lainnya Khairul Jasmi, wartawan senior dan Pemimpin Redaksi Harian Singgalang.
Baca juga: Simbol-Simbol di Balik Meja: Mengapresiasi Ulang Pertunjukan Tari “Rantau Berbisik” Karya Ery Mefri
Menurut Frans, menulis tentang seni pertunjukan tari memerlukan keseimbangan antara menikmati dan menganalisis. Saat menyaksikan tari, seorang wartawan/penulis tidak hanya melihat gerak para penari, tetapi juga mendengarkan musik, mengamati tata panggung, hingga mencatat hal-hal penting yang muncul selama pertunjukan.
Frans juga memungut ingatannya pada pengalaman fotografer jazz, Perry Pieter. Saat ditanya bagaimana ia bisa menikmati musik jika terus memotret, ia menjawab bahwa justru menikmati jazz-lah yang memberinya hasrat untuk memotret.
“Begitu pula dengan penulis pertunjukan tari—mereka bisa tetap menikmati sambil merekam momen dengan tulisan,” ujarnya.
Sikap Objektif dalam Menilai Pertunjukan
Dalam menyaksikan pertunjukan tari, Frans Sartono menekankan pentingnya sikap objektif. Penulis harus berusaha membersihkan diri dari prasangka-prasangka tentang pertunjukan yang akan disuguhkan.
Baca juga: Menonton Ulang Kegelisahan Ery Mefri dalam “Rantau Berbisik”
“Sikap ini perlu dimiliki agar tidak terjebak dalam ekspektasi yang terlalu tinggi ataupun meremehkan pertunjukan hanya karena nama besar koreografer atau penari,” ujarnya.
Menurut Frans, harapan yang berlebihan dapat berujung pada kekecewaan, sementara sikap meremehkan justru akan menutup kemungkinan untuk menemukan hal-hal menarik dalam pertunjukan.
“Dengan tetap netral dan terbuka, seorang penulis seni bisa menuliskan pendapat yang lebih personal tanpa terpengaruh oleh opini orang lain,” katanya.
Lebih lanjut Frans memaparkan, salah satu hal yang sering dilupakan penonton adalah bahwa sebuah karya tari tidak lahir dalam semalam. Pertunjukan yang mereka saksikan merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan latihan intensif berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan berbilang tahun.
Baca juga: KABA Festival X 2025, Merayakan Empat Dekade Perjalanan Seni Maestro Ery Mefri
“Jika Anda tidak tertarik, jangan katakan pertunjukan itu buruk. Jika Anda tidak memahami, jangan katakan (tulis) pertunjukan itu buruk dan membingungkan,” Frans mengingatkan.

Diungkapkan Frans, sebuah pertunjukan tari harus dinilai dengan memahami bahwa ada gagasan yang telah diolah, ditata, dan dipentaskan dengan penuh dedikasi.
“Seorang penulis seni pertunjukan perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras tersebut, meskipun tetap bisa mengkritik dengan cara yang bijak dan argumentatif,” sebutnya.
Untuk dapat menulis tentang tari dengan baik, ungkap Frans, diperlukan pengalaman berapresiasi terhadap kesenian. Ini berarti seorang penulis harus sering menyaksikan berbagai pertunjukan tari agar terbiasa mengamati dan memahami setiap elemen dalam pementasan.
“Selain itu, membaca buku tentang tari dan bergaul dengan komunitas tari juga akan memperkaya wawasan seorang penulis. Lingkungan yang mendukung dapat menjadi “sekolah” yang baik bagi mereka yang ingin serius menekuni bidang ini,” jelasnya.
Untuk Siapa Menulis Apresiasi Seni Pertunjukan?
Frans Sartono menekankan bahwa tulisan tentang pertunjukan tari tidak hanya untuk mereka yang menyukai atau memahami seni tari.
“Kita juga menulis untuk orang yang tidak mengenal tari, bahkan yang tidak berminat pada kesenian secara umum,” katanya.
Oleh karena itu, seorang penulis seni pertunjukan perlu menyajikan tulisan yang informatif dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.
Selain itu, penulis juga harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk dari koreografer, penari, musisi pengiring, hingga penonton lain. Dengan menggali berbagai perspektif, tulisan akan menjadi lebih kaya dan bermanfaat bagi pembaca.
Frans menambahkan, menulis tentang pertunjukan tari tidak hanya dimulai saat pertunjukan berlangsung. Sebelum menyaksikan, seorang penulis harus mengumpulkan informasi terlebih dahulu, seperti latar belakang koreografer, sinopsis pertunjukan, serta konsep yang ingin disampaikan dalam karya tersebut.
“Hal ini akan membantu dalam memahami konteks pertunjukan dan menuliskannya dengan lebih baik,” katanya.
Selain itu, Frans juga menyarankan agar seorang penulis seni menyaksikan tahapan latihan, seperti gladi kotor dan gladi resik.
“Dari gladi kotor, kita sudah mempunyai gambaran kasar tentang pertunjukan,” ujarnya.
Gladi resik yang lebih mendekati pertunjukan sebenarnya juga penting untuk diamati, karena di tahap ini biasanya kostum, tata cahaya, dan tata panggung sudah lebih matang.
Frans Sartino lahir di Solo, 3 Juli 1959. Dia menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1987. Bekerja di kelompok Kompas Gramedia sejak tahun 1989 sampai 2019. Frans pernah bertugas sebagai wartawan di majalah Jakarta Jakarta, wartawan harian Warta Kota, dan wartawan Harian Kompas.
Sejak 2015 juga menjadi Direktur Program Bentara Budaya, sebuah lembaga kebudayaan di bawah Kompas Gramedia. Sampai hari ini ia menjadi wartawan lepas, dan menulis kolom budaya untuk Kompas.id selain menjadi kurator Bentara Budaya.
Beberapa buku karyanya berjudul Di Sini Matahariku Terbit: 150 Tahun Perhimpunan Vincentius (Penerbit PVJ 2005 ditulis bersama Anya dan Ludi Hasibuan), Jiwa-Jiwa Yang Mencipta: buku tentang tiga seniman Rudolf Puspa, Sitras Anjilin, Ni Luh Menek (Penerbit Buku Kompas, 2021), dan Jan Djuhana: Di Balik Bintang (akan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 2021.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah
-
Ping-balik: Khairul Jasmi: Bahasa Jurnalis Ibarat Pedang di Tangan Pesilat, Menyatu dan Tajam - Majalahelipsis.id