Menghapus Air Mata Ibu yang Menanak Batu untuk Anaknya

Solidaritas, sekecil apa pun, merupakan wujud empati sosial yang membangkitkan kepedulian warga untuk saling membantu, menghapus derita, dan mengeringkan air mata sesamanya.

Oleh Muhammad Subhan

HARI ini mungkin tak lagi terdengar kisah seperti di zaman Khalifah Umar bin Khattab tentang seorang ibu yang menanak batu untuk mendiamkan anaknya yang menangis karena kelaparan.

Tetapi bukan berarti kisah serupa tak muncul dengan wajah lain yang lebih miris dan mengetuk dinding kepedulian para pemimpin serta orang-orang mampu yang seharusnya membantu.

Itulah yang saya renungkan ketika membaca berita pro dan kontra tentang kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), terkait program “Rerean Warga Sapoe Saribu” (Sumbangan Warga Seribu Sehari) yang digagas untuk menjawab berbagai masalah sosial di tengah masyarakatnya—dan, masalah serupa juga banyak terjadi di daerah lain.

Di pihak kontra, muncul tuduhan yang menyebut kebijakan itu sebagai pungutan liar (pungli) terselubung dengan agenda politik tertentu. Namun, pihak KDM menolak klaim itu dengan memaparkan bukti nyata bahwa program tersebut perlu dilakukan setelah melihat adanya masyarakat yang mengadu soal iuran BPJS tertunggak, biaya hidup karena anggota keluarga sakit, ongkos transportasi berobat, kasus sengketa tanah, hingga TKI yang ditahan dengan tuntutan ganti rugi. Masalah-masalah seperti itu sejatinya tidak perlu lagi menumpuk dan diselesaikan oleh gubernur, melainkan sudah harus selesai di tingkat pemerintahan terendah: kabupaten, kecamatan, atau desa.

Itulah konteks dari gerakan “Rerean Warga Sapoe Saribu” yang dimaksud bukan pungutan untuk gubernur, melainkan gerakan kolektif mengumpulkan dana sosial lokal yang dikelola dan digunakan di tempatnya masing-masing. Dengan begitu, kasus-kasus seperti tersebut dapat diselesaikan di tingkat desa tanpa harus mengadukannya ke gubernur.

Meski kontroversial, kalau diamati lebih tenang, kebijakan KDM memiliki aspek-aspek positif yang menarik. Jika berjalan baik, masalah sosial di masyarakat bisa diminimalkan atau bahkan terselesaikan.

Sebenarnya, kebijakan semacam itu tidak selalu diperlukan jika fungsi lembaga sosial—yang jumlahnya tak sedikit—berjalan dengan baik. Namun kenyataannya, data sosial Indonesia menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran terus berkembang, sehingga celah kebutuhan bantuan selalu terbuka.

Dalam tradisi Islam pepatah “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” mengandung makna bahwa memberi jauh lebih terhormat daripada meminta. Gerakan seperti “Rerean Warga Sapoe Saribu” dapat dibaca sebagai upaya agar masyarakat menjadi “pemberi” bagi sesama, bukan hanya “penerima” bantuan. Dengan demikian, warga turut menanggung tanggung jawab sosial terhadap tetangganya.

Namun, gerakan ini idealnya menjadi pelengkap, bukan pengganti fungsi lembaga sosial formal seperti zakat, infak, lembaga amil, yayasan, atau program pemerintah yang terstruktur. Jika lembaga-lembaga amal dan sosial sudah berjalan efektif, beban gerakan mikro seperti ini akan sangat minimal, bahkan mungkin tak diperlukan.

Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak desa atau kecamatan masih lemah dalam sistem bantu-membantu lokal.

Menengok ke Sumatera Barat, kita menemukan institusi yang memiliki kemiripan fundamental: “Gebu Minang”. Lembaga ini bermula dari akronim “Gerakan Seribu Rupiah Minang”, digagas pada 24 Desember 1989 atas saran Presiden Soeharto oleh tokoh-tokoh Minang seperti Azwar Anas, Hasan Basri Durin, dan lainnya. Gebu Minang mengumpulkan “seribu rupiah” dari perantau Minangkabau untuk pembangunan kampung halaman. Seiring waktu, Gebu Minang berevolusi menjadi “Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang”, memperluas visi menjadi embrio jaringan kebudayaan dan solidaritas dalam diaspora Minang.

Perbandingan ini relevan. Seperti KDM yang memakai konsep sumbangan kecil harian, Gebu Minang memanfaatkan konsep “seribu” dari diaspora sebagai mekanisme solidaritas.

Namun, Gebu Minang bekerja dalam lingkup komunitas budaya dan diaspora, dengan kerangka organisasi yang relatif mandiri dan berkelanjutan. Sedangkan “Rerean Warga” ditujukan untuk layanan sosial dasar di tingkat desa dan kecamatan dalam kerangka pemerintahan daerah. Bisa jadi, sehabis KDM menjabat, selesai pulalah kebijakan itu, atau tak menutup kemungkinan terus bertransformasi ke bentuk-bentuk lain.

Sejarah Gebu Minang menunjukkan bahwa gerakan solidaritas kecil bisa berkembang melampaui fungsi moneter: menguatkan identitas budaya, relasi antarmasyarakat, serta memfasilitasi sumbangan kolektif untuk pembangunan lokal. Gerakan semacam ini idealnya didasari oleh kepercayaan, transparansi, dan keterlibatan anggota komunitas, bukan paksaan atau pungutan elementer.

Sebelum menilai apakah program seperti “Rerean Warga” diperlukan atau tidak, perlu pula melihat realitas sosial: angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi.

Di Jawa Barat, menurut data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025 tercatat sebesar 6,74%. Dalam catatan media, Jawa Barat bahkan disebut sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi secara nasional (meskipun turun sedikit dari 6,91%). Dalam angka mutlak, jumlah pengangguran di Jawa Barat pada Februari 2025 mencapai 1,81 juta orang.

Sementara di Sumatera Barat, TPT Februari 2025 tercatat 5,69%. Pada Februari 2024, TPT Sumatera Barat sebesar 5,79%, dengan sekitar 178.838 orang tercatat sebagai pengangguran.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Barat dan Sumatera Barat menghadapi tekanan ekonomi yang tidak ringan. Kemiskinan dan pengangguran tidak bisa ditangani hanya lewat jalur bantuan besar dari pusat, tetapi akses lokal dan respons langsung amat penting.

Dalam kondisi seperti itu, gerakan mikro seperti “Rerean Warga” bisa menjadi saluran mitigasi cepat, terutama untuk kasus-kasus “sepele tapi menyiksa”, seperti tunggakan BPJS, biaya transportasi, atau bantuan hidup darurat. Jika lembaga amil, ormas sosial, dan sistem bantuan pemerintah bekerja lancar, gerakan ini bukanlah solusi utama.

Namun, di tengah kegagapan institusional, ia bisa menjadi jembatan sementara.

Selain menggerakkan solidaritas sosial masyarakat, keteladanan pemimpin juga menjadi hal penting, terutama dengan mencontohkan hidup sederhana dan dermawan. Kita bisa bercermin dari kisah dua Umar.

Umar bin Abdul Aziz pernah mematikan lampu di istananya ketika anaknya hendak membicarakan urusan keluarga, dengan alasan bahwa lampu itu milik negara dan tidak pantas digunakan untuk kepentingan pribadi. Ia kemudian memastikan lampu tersebut diganti agar tidak ada kebingungan antara fasilitas negara dan kepentingan pribadi.

Potret itu tindakan sederhana yang berbicara banyak tentang integritas dan pemisahan antara jabatan publik dan kehidupan pribadi.

Di masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika negeri dilanda kelaparan, Umar secara diam-diam keluar malam-malam untuk menyusuri kampung dan mendengar jeritan dan penderitaan rakyat. Di salah satu rumah, ia mendapati seorang ibu memasak batu demi menipu anaknya agar tidak terus menangis karena lapar. Umar kemudian membawa dan memikul karung gandum sendirian ke rumah tersebut, memberikan bantuan langsung tanpa pamrih. Ia berkata, “Aku adalah hamba Allah yang diamanahkan untuk mengurus rakyat.”

Dari kisah tersebut kita belajar bahwa pelayanan publik sejati mesti lahir dari empati langsung, kejujuran, dan kesederhanaan hidup pemimpin (pejabat). Gerakan sosial, meski tumbuh dari kalangan atas, harus merefleksikan kehidupan sederhana, transparansi, dan orientasi kepentingan rakyat banyak.

“Rerean Warga Sapoe Saribu” dapat dilihat sebagai eksperimen sosial: usaha agar masyarakat sendiri memiliki instrumen solidaritas lokal yang mampu merespons kebutuhan mendesak. Ia menghidupkan kembali etika tangan di atas, memberi ruang agar warga menjadi pemberi kecil bagi yang membutuhkan.

Namun idealnya, gerakan semacam ini tidak diperlukan bila lembaga amal, asosiasi sosial, pemerintah desa, dan kabupaten benar-benar berfungsi. Jika semua kepala desa, camat, bupati, dan lembaga sosial bekerja serius dan efektif, tidak akan ada aduan menumpuk ke gubernur. Tapi kenyataannya, banyak pemerintah lokal belum mampu menjalankan fungsi sosial dengan baik, dan warga kerap terlantar di antara celah antardaerah.

Dalam konteks tingginya pengangguran di Jawa Barat dan Sumatera Barat, beban sosial terus tumbuh. Gerakan mikro menawarkan solusi parsial, namun tidak boleh menggantikan tanggung jawab negara. Bila dilakukan dengan baik—transparan, akuntabel, dan partisipatif—”Rerean Warga” bisa menjadi pelengkap mitigasi sosial yang manusiawi.

Namun yang paling mendasar, para pejabat dan penggerak sosial harus meneladani Umar bin Abdul Aziz dan Umar bin Khattab. Dua pemimpin ini hidup sederhana, memisahkan fasilitas negara dan keperluan pribadi, turun langsung ke masyarakat tanpa selalu membuat konten viral di medsos, dan menjadikan kebijakan sebagai wujud pelayanan yang tulus kepada rakyat.

Bila gerakan sosial tumbuh dari atas (pemerintah), maka pejabat pun mesti menjaga jarak dari kemewahan dan korupsi agar setiap program benar-benar berpihak kepada mereka yang paling membutuhkan.

Sungguh, kita membutuhkan lebih banyak orang-orang baik dan dermawan untuk menghapus air mata orang-orang yang selayaknya dibantu dan membutuhkan.

Gerakan sosial, apa pun bentuk dan namanya, hanyalah jembatan menuju cita-cita besar: hadirnya pemimpin yang berempati, lembaga sosial yang berfungsi, dan masyarakat yang tidak diam ketika ada yang diam-diam menangis menahan derita dan air mata. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, pendiri Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan