“Mengeroyok” Komunitas Baca

Komunitas baca perlu didukung secara kolaboratif agar tetap hidup dan berdampak luas di masyarakat. Dukungan program dari berbagai instansi dan pihak akan memperkuat gerakan literasi di akar rumput.

Oleh Muhammad Subhan

“Mengeroyok” komunitas-komunitas baca sudah menjadi sebuah keharusan. Apa yang harus “dikeroyok”? Tentu saja, programnya. Harus “dikeroyok” beramai-ramai, agar komunitas baca hidup, terus tumbuh, dan kebermanfaatannya kian terasa di masyarakat.

Banyak jenis komunitas baca, seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Komunitas Baca Keluarga, Klub Baca Sekolah, Komunitas Baca Alam Terbuka, Klub Baca Khusus Genre, Komunitas Literasi Online, Reading Group di Perpustakaan, Komunitas Baca Kreatif, Pojok Baca di Warung/Kopi Literasi, Perpustakaan Keliling, Perpustakaan Apung, Komunitas Baca Berbasis Profesi, Komunitas Baca untuk Isu Sosial, Komunitas Baca Mahasiswa/Akademik, Komunitas Baca Wisata Literasi, Komunitas Baca Lansia, Komunitas Baca Inklusif, dan lainnya.

Komunitas-komunitas itu hadir di sudut-sudut kampung dan kota. Berdiri dan bergerak secara swadaya. Eksistensinya sejajar dengan perpustakaan-perpustakaan umum, baik milik pemerintah maupun swasta, yang sama-sama memikul tanggung jawab meningkatkan minat baca masyarakat melalui buku-buku dan program-program literasi.

Diakui, tidak banyak komunitas baca yang bertahan dengan napas panjang. Bermacam faktor membebani, seperti keterbatasan dana. Banyak penggeraknya merogoh kocek pribadi untuk membeli buku, rak, atau perlengkapan sederhana. Tanpa dukungan sponsor, CSR, atau mitra yang peduli, beban biaya ini perlahan membuat napas relawan terengah.

Di sisi lain, komitmen anggota yang naik-turun juga memengaruhi daya tahan komunitas. Tak jarang, semangat yang menggebu di awal memudar seiring kesibukan pribadi. Ketika penggerak utamanya undur diri, jarang ada regenerasi yang siap melanjutkan. Komunitas pun mudah vakum karena bergantung pada satu-dua orang saja.

Fasilitas yang terbatas juga menjadi hambatan. Banyak komunitas baca berdiri di ruang seadanya: rumah warga, pos ronda, atau balai desa dengan koleksi buku yang minim. Ketiadaan buku baru membuat pengunjung cepat bosan. Padahal, tantangan terbesar adalah membangkitkan minat baca masyarakat yang kini lebih tertarik pada gawai atau hiburan instan ketimbang membuka halaman buku.

Kurangnya variasi kegiatan pun membuat orang enggan datang lagi. Beberapa komunitas hanya meminjamkan buku tanpa program pendukung yang lebih variative, seperti kursus singkat, mendongeng, diskusi inspiratif, produksi kerajinan tangan, pelatihan menulis, dan lainnya. Ditambah lagi, sebagian besar komunitas belum memiliki jejaring kuat dengan sekolah, pemerintah, atau lembaga lain yang bisa diajak berkolaborasi. Padahal, kerja sama lintas pihak sangat membantu untuk bertahan.

Selain itu, banyak komunitas baca belum memanfaatkan media sosial secara maksimal. Dokumentasi kegiatan yang jarang diunggah membuat gerakan literasi sepi sorotan. Akibatnya, potensi dukungan moral, materi, bahkan relawan baru pun ikut surut. Semua tantangan ini seolah menegaskan, bahwa menjaga komunitas baca tetap hidup bukan hanya soal menyediakan buku, tetapi juga soal menyalakan semangat bersama agar terus tumbuh, berkelanjutan, dan bermanfaat.

Semua tantangan itu sebenarnya adalah peluang, asalkan pengelola komunitas baca tetap kreatif, dan meluruskan niat untuk apa membangun komunitas baca. Yang niatnya benar, apa pun keadaannya, ia akan bertahan. Ada dana atau tidak ada dana, tetap bergerak. Dampaknya pun meluas, baik di lingkungan komunitas baca, bagi para pegiat/relawannya, maupun bermuara pada berbagai macam apresiasi serta penghargaan yang diterima.

Kondisi banyaknya komunitas baca yang redup aktivitasnya, mati suri, atau berada di detik-detik kematian permanen, perlu mendapat perhatian bersama. Pemerintah pusat dan daerah melalui instansi-instansi terkait penting untuk membawa program kolaboratifnya ke komunitas baca, termasuk perusahaan-perusahaan yang memiliki Corporate Social Responsibility (CSR). Dinas-dinas juga perlu membawa program literasinya ke komunitas-komunitas baca, sehingga persoalan literasi tidak terbatas pada kerja dua dinas: Dinas Pendidikan dan Dinas Perpustakaan saja.

Padahal, jika dinas-dinas lainnya membawa program mereka ke komunitas-komunitas baca, dampaknya akan sangat terasa. Misalnya, dinas kesehatan melakukan penyuluhan penyakit demam berdarah di TBM, dinas Kominfo memberikan sosialisasi cara bijak menggunakan media digital, dinas pendidikan menyurati sekolah-sekolah agar melakukan tur literasi siswa ke taman bacaan, dinas Koperindag memberikan workshop untuk UMKM, dinas pariwisata mengadakan pelatihan pengelola homestay, Bunda Literasi membawa program Posyandu, PKK, dan lainnya—semua dibawa ke komunitas baca. Tagline-nya tetap membawa kata “literasi” sehingga gerakan kolaboratif tersebut bergaung bersama dan berdampak lebih luas.

Program-program dinas yang diselenggarakan di hotel-hotel itu sudah terlalu biasa, tetapi akan sangat luar biasa jika kegiatan-kegiatan tersebut dibawa ke kantong-kantong literasi yang tumbuh di masyarakat. Apalagi jika di suatu daerah telah berkomitmen menjadikan literasi sebagai gerakan bersama, bukan sekadar seremonial belaka.

Kegiatan kolaboratif lintas instansi dan lintas dinas pemerintah yang dibawa langsung ke kantong-kantong literasi akan berdampak besar pada tumbuhnya ekosistem literasi yang lebih hidup. Keterlibatan berbagai pihak—mulai dari dinas pendidikan, perpustakaan daerah, dinas sosial, dinas kominfo, hingga lembaga swasta—akan membuka akses lebih luas, terutama bagi warga yang selama ini minim fasilitas baca.

Dengan kolaborasi ini, taman bacaan, komunitas baca, atau perpustakaan desa bisa mendapatkan dukungan program dan buku yang lebih beragam dan terkini. Koleksi yang relevan dengan minat pembaca membuat anak-anak, remaja, hingga orang tua lebih betah singgah. Fasilitas pun dapat diperbaiki atau dilengkapi melalui program CSR, hibah, atau dana desa, sehingga ruang baca makin nyaman dan representatif.

Dampak lainnya, program literasi tidak hanya terpusat di satu titik, melainkan menyebar ke pelosok-pelosok yang sulit dijangkau. Perpustakaan keliling, motor pustaka, atau gerobak baca bisa lebih rutin mendatangi kampung, sekolah terpencil, atau pinggiran kota. Kegiatan semacam ini menumbuhkan rasa keadilan, bahwa semua orang punya hak setara untuk menikmati bacaan.

Kolaborasi juga memicu lahirnya kegiatan literasi yang lebih variatif. Tidak hanya pinjam-meminjam buku, tetapi juga pelatihan menulis, lomba mendongeng, bedah buku, kelas literasi digital, sampai ke festival literasi. Kegiatan yang kreatif akan membuat warga merasa terlibat aktif, bukan sekadar penerima manfaat. Ini penting agar kebiasaan membaca benar-benar tumbuh dari minat, bukan paksaan.

Dari sisi relawan, sinergi lintas instansi akan memperkuat kapasitas pengelola komunitas baca. Pelatihan manajemen taman bacaan, cara menarik relawan muda, hingga strategi publikasi di media sosial bisa dihadirkan oleh dinas terkait. Dengan demikian, gerakan literasi tidak lagi bergantung pada segelintir orang, tetapi punya daya hidup lebih panjang melalui regenerasi.

Pada akhirnya, “mengeroyok” komunitas baca dengan program-program kolaboratif adalah cara merawat napas panjang gerakan literasi. Komunitas baca yang disokong bersama akan tumbuh lebih kokoh, berdampak lebih luas, dan menjelma kantong-kantong pengetahuan yang hidup di tengah masyarakat. Inilah wajah literasi yang sejatinya kita impikan: hidup, berdaya, dan memanusiakan manusia. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan