Mendesak, Reformasi Taman Budaya dan Birokrasi Kebudayaan, Seniman Sumbar Tuntut Perubahan
Seniman Sumatra Barat menuntut reformasi birokrasi kebudayaan yang responsif, dengan pendanaan berkelanjutan dan fasilitas memadai bagi ekosistem seni.

PADANG, Majalahelipsis.id — Diskusi budaya bertajuk “Reformasi Taman Budaya dan Peran Dinas Kebudayaan dalam Pemajuan Seni Budaya Sumatra Barat” menjadi ajang kritik tajam terhadap birokrasi kebudayaan di Sumatra Barat.
Forum Perjuangan Seniman Sumatra Barat menyoroti ketidakefektifan program kebudayaan, minimnya pemahaman pejabat terhadap seni, serta kurangnya respons pemerintah terhadap aspirasi komunitas seniman.
Acara yang berlangsung Kamis (20/3/2025) di Ruang Gallery Taman Budaya ini menghadirkan akademisi dan peneliti budaya Dr. Abdullah Khusairi serta seniman dan praktisi budaya Ery Mefri sebagai pemantik, dengan Syarifudin Arifin sebagai moderator.
Dalam penyampaiannya, Dr. Abdullah Khusairi mengkritik birokratisasi kebudayaan dengan pendekatan perspektif Gramsci. Menurutnya, kebijakan kebudayaan kerap menjadi alat hegemoni negara yang lebih bersifat administratif ketimbang fasilitatif.

Ia menilai pengelolaan kesenian dan kebudayaan di Sumatra Barat mengalami “salah urus” akibat kepentingan politik. Akibatnya, pejabat yang ditempatkan dalam institusi kebudayaan sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang seni dan budaya.
“Taman Budaya sebelumnya cukup baik, tetapi belakangan mengalami kemunduran. Program-programnya belum cukup mengakomodasi kepentingan seniman,” ujar Abdullah.
Ia juga membandingkan dengan Korea Selatan yang mampu mengembangkan seni K-Pop ke tingkat global, namun tetap menjaga akar budayanya.
Abdullah menuntut adanya kebijakan kebudayaan dengan visi jangka panjang, bukan sekadar program tahunan tanpa keberlanjutan.
Ia juga mendesak adanya mekanisme konsultasi berkala antara Dinas Kebudayaan, Taman Budaya, dan komunitas seni agar kebijakan yang dibuat relevan dengan kebutuhan di lapangan.
Seniman senior yang juga koreografer Ery Mefri menambahkan bahwa birokrasi yang kaku telah menjadi hambatan besar bagi kreativitas seniman.
Taman Budaya, katanya, tidak boleh sekadar menjadi tempat pameran atau pertunjukan formal, tetapi harus berkembang menjadi ruang eksperimentasi dan interaksi aktif antara seniman dan masyarakat.
“Forum Perjuangan Seniman Sumatra Barat telah berulang kali mengundang pejabat penting seperti gubernur, wali kota, dan DPRD untuk berdiskusi mengenai kondisi kebudayaan, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan,” kata Ery.
Ia mengusulkan agar seniman dan komunitas budaya lebih proaktif dengan melakukan audiensi langsung ke pejabat terkait.
Ery juga menekankan pentingnya kolaborasi antara Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata, dan komunitas seni agar kebijakan budaya lebih strategis dan berdampak luas.
Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pembentukan Dewan Kebudayaan yang terdiri dari perwakilan seniman, akademisi, dan pemerintah.
Abdullah Khusairi dan Ery Mefri sepakat bahwa birokrasi kebudayaan harus direformasi agar lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan komunitas seni. Selain itu, Taman Budaya harus lebih dari sekadar institusi formal, melainkan menjadi pusat kreativitas yang mendukung kebebasan berekspresi.
Forum juga merekomendasikan pembentukan pertemuan rutin antara komunitas seni dan Dinas Kebudayaan untuk memastikan kesinambungan program serta mekanisme pendanaan yang lebih terstruktur untuk mendukung keberlanjutan ekosistem seni di Sumatra Barat.
Sementara Sekretaris Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, Yayat Wahyudi A., S.T., M.Si., dalam tanggapannya mengatakan bahwa pemajuan kebudayaan sejatinya harus berlandaskan pada empat elemen utama, yaitu Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan.
Namun, ia mengakui bahwa kebijakan kebudayaan memang membutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar program-programnya tepat sasaran.
Sementara itu, seniman senior Sumatra Barat, Mak Etek B. Andoeska, mengenang kejayaan kesenian Minangkabau pada era 1950-an, saat Orkes Gumarang berjaya di pentas internasional.
“Pada saat 400 etnis di Indonesia masih tertidur, Orkes Gumarang sudah melanglang buana membawa nama Sumatra Barat ke dunia internasional, mengalahkan K-Pop hari ini,” ujarnya.
Mak Etek menyarankan agar hasil diskusi tersebut disampaikan langsung kepada gubernur, wakil gubernur, serta Komisi V DPRD Sumatra Barat agar ada tindak lanjut yang nyata.
Menutup diskusi, Abdullah Khusairi menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah daerah telah banyak dilontarkan, tetapi belum mendapat respons yang diharapkan.
“Tinggallah kita bersipongang dengan protes-protes kita, tetapi kita tidak boleh berhenti,” tegasnya.
Rekomendasi
Diskusi Forum Perjuangan Seniman Sumatra Barat itu menjadi momentum bagi seniman dan komunitas budaya merumuskan langkah-langkah strategis menuju kebijakan kebudayaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Harapannya, reformasi Taman Budaya dan kebijakan kebudayaan di Sumatra Barat tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar terealisasi.
Salah satu aspek krusial yang disampaikan dalam rekomendasi adalah pendanaan bagi ekosistem seni di Sumatera Barat.
Para seniman mendesak adanya mekanisme pendanaan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan untuk mendukung kegiatan seni.
Selain itu, mereka meminta agar pemerintah menyediakan fasilitas yang lebih memadai, baik dalam bentuk infrastruktur, akses ke ruang berkarya, maupun bantuan produksi seni.
“Alokasi anggaran kebudayaan harus dilakukan secara proporsional guna mendukung program seni yang berorientasi pada pengembangan jangka panjang,” tambah Bagindo M. Ishak Fahmi, salah seorang peserta diskusi.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Ayu K. Ardi