Menang
Menang bukan sekadar angka di papan skor, tetapi perjuangan yang ditempa oleh keringat, usaha, dan ketekunan.

Oleh Muhammad Subhan
TADI malam, di sebuah kafe di sudut Padang Panjang, saya menonton laga Timnas Indonesia lawan Timnas Bahrain.
Mulanya saya pesimis Timnas Indonesia menang. Laga sebelumnya lawan Australia, Garuda Muda bertekuk lutut. Babak belur 5-1 dibantai Timnas Australia.
Tapi tadi malam, Timnas Garuda di bawah asuhan pelatih Patrick Kluivert pada grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Stadion Gelora Bung Karno menunjukkan performa bagus.
Meski 1-0, Timnas Garuda telah memberikan harapan kepada publik Indonesia. Garuda Muda berpeluang menembus Piala Dunia, cita-cita yang diimpikan selama ini.
Menang tidak sombong, tidak tinggi hati, tapi makin introspeksi bahwa lawan-lawan berikutnya bukan perkara mudah ditaklukkan.
Menang adalah kebalikan dari kalah. Dalam perlombaan, menang berarti lebih unggul.
Dalam pertandingan sepak bola, menang berarti mencetak lebih banyak gol.
Dalam ujian, menang berarti lulus dengan nilai terbaik.
Tapi apakah hanya itu arti menang?
Menang hakiki bukan sekadar angka atau trofi. Menang adalah proses. Menang adalah perjuangan, bukan hanya hasil akhir.
Ada keringat, air mata, dan usaha panjang di baliknya.
Seorang atlet tidak menang karena keberuntungan. Ia menang karena latihan keras. Ia menang karena disiplin dan kerja kerasnya lebih besar dari yang lain.
Filosofisnya, menang adalah bentuk pencapaian. Seorang ilmuwan menang ketika berhasil menemukan teori baru. Seorang guru menang ketika anak didiknya berhasil memahami pelajaran. Seorang petani menang ketika panennya berlimpah.
Kemenangan bukan hanya soal kompetisi, tapi soal pencapaian atas usaha yang sungguh-sungguh.
Dalam sudut pandang sufisme, menang adalah ketika manusia bisa mengalahkan dirinya sendiri.
Ego adalah lawan terbesar.
Seseorang yang mampu menahan amarah, itulah kemenangan sejati. Seseorang yang bisa menekan hawa nafsu, itulah kemenangan hakiki.
Kemenangan dalam dunia sufi bukan soal menaklukkan orang lain, tapi menaklukkan diri sendiri.
Dalam kehidupan, menang bisa bermakna luas.
Menang bukan hanya soal harta dan jabatan. Menang bisa berarti tetap bertahan di tengah badai.
Seorang ibu yang berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri, dia menang.
Seorang murid yang tidak menyerah meski gagal berkali-kali, dia menang.
Menang bukan hanya tentang tepuk tangan orang lain, tapi tentang rasa bangga dan syukur pada diri sendiri.
Dalam pertandingan olahraga, menang adalah bukti keunggulan. Tetapi kemenangan sejati adalah saat seseorang tidak jumawa.
Menang harus tetap rendah hati. Tidak merendahkan lawan. Karena di atas langit masih ada langit.
Hari ini menang, besok bisa kalah. Tidak ada kemenangan yang abadi.
Dalam perlombaan lain, menang adalah simbol kerja keras.
Seorang pelari yang mencapai garis finis lebih dulu, menang.
Seorang penulis yang karyanya diterbitkan dan dibaca banyak orang, menang.
Tetapi menang tidak selalu berarti lebih baik dari yang lain.
Kadang, menang berarti lebih baik dari diri sendiri versi kemarin.
Meningkatkan kualitas diri setiap hari adalah kemenangan sejati.
Menang dalam arti sesungguhnya adalah kemenangan yang dirayakan pada Idulfitri. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan, menahan lapar, haus, dan hawa nafsu, umat Islam merayakan kemenangan.
Ini bukan kemenangan fisik, tapi kemenangan spiritual. Puasa mengajarkan kesabaran. Puasa mengajarkan keikhlasan. Puasa mengajarkan kemenangan atas diri sendiri.
Menang di hari Idulfitri bukan berarti menang dari orang lain. Bukan pula tentang makan besar atau pakaian baru.
Menang di hari itu adalah kembali menjadi manusia yang bersih. Kemenangan hati yang penuh maaf. Kemenangan jiwa yang kembali suci.
Idulfitri adalah puncak kemenangan bagi jiwa yang telah ditempa selama Ramadan. Seorang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh telah menaklukkan hawa nafsunya, menundukkan kesombongan, dan menguatkan kesabaran.
Inilah kemenangan sejati yang tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan.
Idulfitri bukan sekadar perayaan, tetapi simbol keberhasilan dalam perjuangan melawan diri sendiri.
Menang di hari Idulfitri bukan hanya sekadar kembali suci, tetapi juga kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi.
Kemenangan sejati adalah saat seseorang mampu mempertahankan kesucian hati dan terus menjalani kehidupan dengan penuh keikhlasan, kasih sayang, dan kebaikan.
Karena sejatinya, menang bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang bagaimana kita terus berusaha menjadi lebih baik di hari-hari berikutnya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah