Menahan Lapar dan Menundukkan Nafsu Melalui Puasa
Dalam dimensi spiritual, lapar bukan sekadar menahan makan dan minum, melainkan latihan batin untuk menjaga diri dari perilaku berlebihan.

Oleh Fatatik Maulidiyah
DALAM kitab karya Usman bin Hasan bin Ahmad Asyakir Al Khauwbawiyi, seorang ulama abad ke-8 H, dijelaskan bahwa Allah Swt. menciptakan akal dan melakukan dialog dengannya. Allah memerintahkan akal untuk menghadap, lalu berbalik, dan akal patuh terhadap perintah tersebut. Saat Allah bertanya, “Siapakah Aku?”, akal menjawab dengan penuh kesadaran, “Engkau adalah Tuhanku, dan aku hanyalah hamba-Mu yang lemah.” Allah pun memuliakan akal karena kepatuhannya.
Setelah itu, Allah menciptakan nafsu dan memberinya perintah yang sama. Berbeda dengan akal, nafsu menolak tunduk dan menjawab dengan kesombongan, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau!” Sebagai hukuman, Allah menghukumnya di neraka Ju’ selama seratus tahun. Setelah siksaan itu, nafsu akhirnya mengakui ketuhanannya Allah dan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba. Dari kisah ini, Allah kemudian mewajibkan puasa sebagai sarana menundukkan nafsu.
Bulan Ramadan segera tiba, menghadirkan suasana khas dengan aneka hidangan yang menggoda selera. Berbagai resep dan menu berbuka berseliweran di media sosial, menginspirasi banyak orang untuk berkreasi dengan sajian khas Ramadan. Kuliner memang menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi berpuasa. Namun, inti dari ibadah ini bukanlah sekadar menahan lapar dan haus, melainkan bagaimana seseorang dapat mengendalikan hawa nafsu.
Dari kisah dialog Allah dengan akal dan nafsu, kita memahami bahwa rasa lapar dapat melemahkan kesombongan nafsu dan meningkatkan ketaatan. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 155, disebutkan bahwa lapar merupakan ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya:
“Sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan suatu cobaan, yaitu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, serta buah-buahan. Maka berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.”
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka yang bersabar dalam menghadapi rasa lapar akan memperoleh pahala yang besar. Hal ini sejalan dengan QS. Al-Hasyr ayat 9 yang menekankan pentingnya mendahulukan kepentingan orang lain meskipun dalam kondisi kekurangan.
Dikisahkan bahwa Fatimah, putri Rasulullah SAW, pernah memberikan sepotong roti kepada ayahnya. Ketika Rasulullah bertanya tentang roti itu, Fatimah menjawab bahwa ia tidak tenang sebelum memberikannya kepada ayahnya. Rasulullah pun berkata bahwa pecahan roti tersebut adalah makanan pertamanya setelah tiga hari.
Kisah para Nabi, orang-orang saleh, dan wali Allah menunjukkan bahwa mereka mendekatkan diri kepada-Nya dalam keadaan lapar. Puasa dan menahan lapar adalah bagian dari perjalanan spiritual yang membawa seseorang pada ketakwaan. Dengan menahan lapar, seseorang dapat menjernihkan pikiran, menumbuhkan kebijaksanaan, serta meningkatkan kedekatan dengan Allah.
Sahal bin Abdullah pernah berkata, “Allah menciptakan kenyang untuk kemaksiatan dan kebodohan, serta menciptakan lapar untuk ilmu dan kebijaksanaan.” Senada dengan itu, Yahya bin Muadz berpendapat bahwa rasa lapar bagi pencari ilmu adalah bentuk latihan, bagi orang yang bertaubat adalah ujian, bagi orang zuhud adalah pengendalian diri, dan bagi orang makrifat adalah kemuliaan.
Lagu religi dari Bimbo mengingatkan kita akan makna puasa melalui dialog seorang anak dan ayahnya: “Untuk apa berlapar-lapar puasa?” Sang ayah menjawab, “Lapar mengajarmu rendah hati selalu.” Puasa mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap penderitaan orang lain, membatasi nafsu, serta melatih pengendalian emosi. Dengan lapar, kita belajar tidak berlebihan dalam urusan dunia dan lebih fokus pada ibadah.
Dalam dimensi spiritual, lapar bukan sekadar menahan makan dan minum, melainkan latihan batin untuk menjaga diri dari perilaku berlebihan. Ramadan seharusnya menjadi momen untuk menata ulang pola konsumsi, bukan justru menjadikannya ajang berfoya-foya dengan makanan berlimpah.
Mari kita sambut Ramadan dengan kesadaran bahwa esensi puasa adalah menahan diri, bukan sekadar mengubah jadwal makan. Dengan demikian, ibadah ini benar-benar menjadi sarana pengendalian hawa nafsu dan mendekatkan kita kepada Allah. Semoga kita semua mendapat keberkahan dalam menjalankan ibadah Ramadan. Amin ya Rabbal Alamin.
Penulis: Fatatik Maulidiyah
Editor: Neneng J.K.