Oleh Nurlelawati

PRATAMA duduk termenung di tepi jendela kamarnya, di malam gelap hanya gemintang yang terlihat. Langit memberikan pencahayaan yang samar, menciptakan rekahan cahaya kegelapan hatinya.

Di sudut ruang sidang, jeruji-jeruji keputusan hakim menunggu ketetapan atas nasibnya. Cahaya keadilan yang membara mulai redup di balik bayangan jeruji, menciptakan ketakutan tidak tertandingi dalam dirinya.

Dalam detik-detik genting itu, Pratama sadar kehidupannya tak lagi menjadi miliknya. Namun, hanya sebagai boneka dalam sistem keadilan yang tak bergeming. Jeruji keputusan hakim yang menunggunya di ruang sidang tercermin dalam pikirannya, menciptakan bayangan yang mengancam dalam hatinya yang gelap.

Keputusan hakim akan menentukan nasibnya, menimbulkan rasa takut dan ketidakpastian yang membebani batinnya.

Pratama berusaha memutar otak, mencoba mencari jalan keluar dari labirin konflik yang membelitnya. Jeruji keputusan itu terasa semakin mengencangkan ikat pinggangnya, membatasi gerak langkahnya menuju masa depan yang tidak pasti.

Terbayang raut wajah ibu dan kedua adiknya yang mengharapkan kepulangannya membawa rezeki, membawa uang untuk membantu berobat ayahnya yang sudah dua tahun terbaring di tempat tidur karena serangan otak yang disertai kelumpuhan.

Ibunya mengharapkan, Pratama sebagai tulang punggung keluarga karena kedua adiknya masih sekolah di SMP dan belum bisa mencari nafkah. Ia harapan keluarga untuk bisa membantu Ibunya mencari uang agar hidup tetap bertahan.

Ayahnya hanya mampu melihat dan berbicara lemah tanpa bisa bergerak dari tempat tidur. Sementara ibunya hanyalah ibu rumah tangga yang kadang menjadi pedagang makanan kecil atau membantu tetanga yang membutuhkan tenaganya.

Walaupun hanya lulus SMA, karena postur tubuhnya besar dan kuat, membuatnya bisa bekerja serabutan, kadang membantu mengangkut dagangan orang ke pasar, menjadi kuli panggul bahkan membantu mencangkul lahan kebun tetangga.

Upah yang diterima itulah yang bisa membantu ibu dan adiknya makan. Disisihkan pula lima ribu rupiah setiap mendapatkan upah, atau kadang sepuluh ribu rupiah sesuai dengan pemasukan waktu itu, untuk sekedar menabung demi pengobatan Ayahnya.

Setiap hari, ia selalu mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Tidak menentu pekerjaan yang didapatinya.

Sesekali ada yang mengajak menjadi kuli bangunan, bahkan pekerjaan kasar sekali pun dilakukannya. bermodalkan kemauan dan tenaga. Pratama bisa mengerjakan semuanya.

Pada hari itu, malang baginya, ketika lelah dan ingin beristirahat bersama teman-teman sekolah dulu, ia bergembira bercerita akan masa-masa indahnya. Di ujung rumah dekat lapangan, ada gardu kecil tempat ronda warga pada malam hari. Ia dan temannya biasa berkumpul bersama sambil menikmati kopi, bercerita tentang guru favoritnya, tentang pekerjaan rumah yang diberikan gurunya, tentang teman yang dihukum gurunya, tentang ibu kantin yang berjualan soto, dan lainnya.

Tiba-tiba datang pria berbaju cokelat menghampiri dan menangkapnya beserta teman-temannya. Ia digiring ke mobil dan dibawa ke kantor polisi.

“Anda tahu mengapa Anda ditangkap?” Kata lelaki berbaju cokelat. “

“Tidak tahu, Pak!”

“Anda telah mengkonsumsi dan mengedarkan barang haram, narkoba!”

“Apa? Narkoba!” kami tidak melakukan itu. Kami hanya berkumpul bersama teman-teman. Kami reuni di sana sambil minum kopi, bukan narkoba. Jangankan narkoba, minuman keras pun kami tidak ada.”

“Anda, adalah geng yang berkumpul meresahkan warga!”

“Tidak, kami bukan geng yang meresahkan warga. Kami punya pekerjaan walaupun kami bukan pegawai pemerintah, tapi kami punya pekerjaan.”

Namun, pria berbaju cokelat abdi negara itu tidak percaya begitu saja. Atas dasar laporan seseorang, Pratama dan teman-teman menjadi geng yang meresahkan warga, pengedar dan pemakai narkoba sehingga, membuat kegaduhan di lingkungan sekitar.

Pratama terpisah dengan teman-temannya, ia di interogasi atas tuduhan itu, demikian pula dengan teman-temannya.

Namun, ia tidak melakukannya sehingga, ia berkata apa adanya.

Pria berbaju cokelat itu tak percaya atas pengakuannya, bahkan dicoba dengan pertanyaan yang lebih keras, digertak, agar mau mengakuinya. Pratama tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan karena tidak melakukan. Entah mengapa pria berbaju cokelat semakin geram dan tetap bersikeras bahwa ia harus mengakuinya.

Pria berbaju cokelat mengintensifkan tekanannya, matanya menyala, memberitahu kekesalannya. Dengan suara kuat dan intimidasi yang memenuhi ruangan, ia mulai mengertak Pratama dengan pertanyaan yang semakin tajam.

“Percayalah, Pratama, kebohonganmu tidak akan membuatmu lolos dari jerat hukum! Kami memiliki bukti yang jelas dan tidak terbantahkan tentang keterlibatanmu dalam kasus ini. Mengapa terus membiarkan kebohongan merusak masa depanmu?”

“Saya tidak melakukan apa-apa, saya tidak bersalah! Saya tidak akan mengakui sesuatu yang tidak benar, meskipun Bapak mengancam saya.”

“Lepaskan saya, lepaskan saya!” Tetapi pria berbaju cokelat itu tetap membawa Pratama ke dalam mobil untuk diangkut ke kantor polisi.

*

KETEGANGAN di ruangan semakin terasa, konflik antara kenyataan dan keyakinan membara di dalamnya.

Pria berbaju cokelat mengangkat teleponnya, tampak berkomunikasi dengan pihak lain. Setelah sejenak, meletakan telepon itu dan dengan suara keras menatap tajam kearah Pratama.

“Dia akan datang, sumber terpercaya kami telah memberitahu bahwa keterlibatanmu dalam kasus ini sudah tidak dapat disembunyikan lagi. Jangan coba lagi mengelak. Saksi akan memberikan keterangan yang akan membuktikan segalanya.”

Ketika itu, pintu ruangan terbuka, nampak wanita degan pandangan tegas memasuki ruangan. Tatapannya tajam lalu berbicara dengan pria berbaju cokelat, mengungkapkan sesuatu dan membuat wajahnya berubah serius.

Wanita itu memegang ponsel yang berisi bukti penting, kebenaran akan segera terungkap dan konflik antara Pratama dan pria berbaju cokelat akan mencapai puncaknya.

Konfrontasi terakhir antara kebenaran dan kebohongan akan menentukan nasib Pratama dalam cerita yang semakin dramastis. Konfrontasi antara kebenaran dan kebohongan bisa semakin rumit degan munculnya keterlibatan pihak ketiga yang memiliki motif tersembunyi.

“Bukti bahwa Pratama sudah sangat kuat, dia minum-minuman keras, mengkonsumsi narkoba. Besok Pratama bersama teman-teman akan diadili di pengadilan.” Pria berbaju cokelat itu menatap tajam.

Pegacara yang dipersiapkan untuk pratama semakain gencar untuk mempertaruhkan kebenaran yang dialaminya. Ibunya diajak sebagai saksi bahwa Pratama selama ini adalah tulang pungung keluarga dan tidak pernah mengikuti geng motor, bahkan tetangga yang berdekatan pun menjadi saksi atas perilaku Pratama sehari-hari.

Awalnya berjalan dengan mulus bahkan nyaris semua mendukung kebenaran yang dirasakan olehnya.

“Pratama, jangan khawatir! Engkau tidak bersalah dan bukti kuat lainnya ada bersama kami.” Pengacara muda itu membesarkan hati Pratama.

Hari persidangan dimulai, ruang sidang dipenuhi dengan ketegangan yang memuncak, telah hadir hakim, pengacara yang siap siaga dan juri dengan tatapan yang tajam.

Pratama, sebagai terdakwa sudah duduk dengan lesu, penuh dengan ketegangan, seakan telah siap menerima segala tuduhan atas dirinya.

Pengacara Pratama, sudah hadir memangil saksi. Saksi yang suggguh di luar perkiraan dengan ekspresi ketidakpercayaan di wajahnya menarik perhatian pengunjung yang hadir.

Pertanyaan tajam pengacara untuk mengali kebenaran mulai bergema dalam ruangan. Saksi mulai dihadirkan untuk berbicara.

Sayang, ketika saksi mulai ditanyai menunjukan sikap yang tidak kooperatif atau menolak memberikan kebenaran, jawaban berbelit-belit, dan tidak jelas.

Bahkan, pengacara memaksa saksi agar memberikan fakta yang jelas. Teapi Pria berbaju cokelat itu seolah-olah menyembunyikan sesuatu menghalangi saksi untuk berbicara dengan jujur.

Saksi yang semula akan memberikan keterangan yang sesungguhnya seakaan tertekan dan mulai kebingungnan. Nampak dari raut wajahnya yang semakin berbinar.

Pria berbaju cokelat itu semakin memaksa agar Pratama mengakui kebenaran yang terang dikatakan olehnya.

Ini yang membuat hakim semakin sulit menentukan yang sebenarnya.

Namun, hal itu terjadi. Pertarungan semakin menegangkan dihadapan juri dan hakim. Mereka beradu argumen.

Di tengah ketegangan yang melelahkan hakim, tiba-tiba Pratama mengangkat jari telunjuknya untuk mengungkapkan sesuatu yang menurutnya tidak masuk akal. Pratama mengungkapkan bahwa ia dipaksa untuk mengakuinya.

“Saya dipaksa oleh pria berbaju cokelat agar mengakui mengkonsumsi narkoba dan minum minuman keras dengan teman-teman. Jika tidak mau mengaku saya akan dipenjara dan disiksa.”

“Saya tidak melakukan. Saya tidak melakukan!”

“Saya jujur. Saya berkata jujur!”

“Tidak! Saya melihatnya,!” Kata pria berbaju cokelat, geram.

“Bohong, Bapak berkata bohong! Itu fitnah.”

Dia yakin pengakuannya yang jujur akan membawa perubahan dan mengubah segalanya. Dengan percaya diri tanpa takut diungkapkan semuanya di persidangan. Tanpa ditutupi semua jelas dibeberkan di depan hakim, yang membuat pria berbaju cokelat dan saksi terpojok.

*

SIDANG selanjutnya, suasana di pengadilan dikejutkan oleh ucapan hakim.

“Maaf, pengadilan harus ditunda karena keadaan mendadak dan darurat maka sidang ini dihentikan hingga pemberitahuan lebih lanjut.”

Hakim berkata dengan serius memerintahkan agar semua meninggalkan ruang sidang.

Dalam sekejap, saksi, pengacara, terdakwa, dan lainnya yang terlibat menjadi terkejut dan bingung. Kegaduhan semakin melanda ruang sidang yang dari tadi menuggu kebenaran yang akan terungkap namun, terputus.

Keputusan hakim secara tiba-tiba yang sudah semakin dekat dan jelas mengungkap kebenaran harus terselip kekosongan dan ketidakpastian atau tanpa keputusan akhir. []

Nurlelawati. Guru yang diberi tugas menjadi Kepala UPT SDN 01 Beringin Jaya, Kecamatan Way Tuba, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Pegiat literasi di Kabupaten Way Kanan dan mendirikan Taman Baca Mandiri SN sejak tahun 2018 dan Perpusdes Way Pisang. Menulis opini populer guru “3 Strategi Tepat Budaya Literasi” (2018); antologi esai Laskar Covid-19 (2022) dengan judul “Kisah Pelatihan Literasi Dasar Bagi Instruktur Internal dan Komunitas Baca se-Provinsi Lampung”; antologi cerpen bersama Bunda Literasi Lampung dengan judul “Biru”. Ia bergiat di Komunitas Sekolah Menulis elipsis.

Penulis: Nurlelawati

Editor: Ayu K. Ardi

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan