Membaca Proust, Sebuah Kajian Sastra Retna Ariastuti

Proust memiliki banyak ragam metafora dan ini membuktikan bahwa Proust adalah seorang penulis yang kreatif dan berani membuat terobosan.

Oleh Shantined

Hari Rabu, 15 Januari 2025 bertempat di Ruang Serbaguna lantai 14 gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Mardzuki, Jakarta Pusat, sebuah diskusi semi formal yang dikemas dengan santai, dihadiri oleh berbagai kalangan, namun mayoritas adalah penyair, penulis dan seniman.

Pembicaranya seorang perempuan pintar dan cantik lulusan Sarjana dan Magister di bidang Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) serta S-3 atau Ph.D di bidang Industrial Engineering dari Oregon State University ( OSU) Oregon, AS, serta saat ini ia bekerja dan berdomisili di Corvallis, Oregon. Retna Ariastuti namanya, atau lebih akrab dipanggil Mbak Tuti. Namun, juga sering dipanggil Uni Tuti, karena ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, meskipun sebenarnya ia juga berdarah Madura. Ia adalah seorang sahabat karib Riri Satria, ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) yang siang itu menjadi tuan rumah, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang dikemas dengan program Ruang Jabatangan, salah satu kanal agenda JSM. Acara ini diberi tema Diskusi Sastra Dunia: Berkenalan dengan Marcel Proust dan Pengaruhnya.

Acara yang dikawal oleh pewara Rissa Churria, dipandu oleh Bang Riri—sapaan akrab Riri Satria—sorang pakar teknologi digital, seorang Komisaris Utama sebuah BUMN, dan baru saja menjabat sebagai Staf Khusus Menteri bidang Siber, Digital, dan Ekonomi di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Acara ini juga diselingi pembacaan puisi para penyair, yaitu Nanang R Supriyatin, Erna Winarsih Wiyono, Dhe Sundayana, Romy Sastra, Rissa Churria, serta saya sendiri, Shantined. Tak ketinggalan, acara ini diwarnai juga dengan seremonial kecil peringatan ulang tahun untuk Mbak Tuti yang kebetulan belum lama berulang tahun (3 Januari), serta salah satu anggota JSM, yakni Sofyan RH Zaid (8 Januari).

Diskusi menarik ini membahas karya Marcel Proust yang dikenal sebagai seorang cendekiawan, novelis, eseis, dan kritikus asal negara Prancis, yang dikenal sebagai penulis Mencari Waktu yang Hilang (À la recherche du Temps Perdu, Perancis), sebuah karya monumental dalam fiksi abad ke-20 yang berisi tujuh buku yang diterbitkan dari 1913 sampai 1927. Karya yang dinobatkan sebagai novel terpanjang versi Guiness World Record karena menggunakan 1, 2 juta kata ini, rupanya memukau Mbak Tuti.

Ia menguraikan makalahnya dengan serius, menceritakan apa pengaruh Proust di dunia kepenulisan, dari dua sisi, yakni sebagai seorang scientist dan seorang penulis fiksi. Dua hal ini menjadikan sebuah keunikan tersendiri dalam sebuah pengkaryaan. Mbak Tuti telah menulis sebuah novel berbahasa Inggris berjudul Home Away. Sedangkan sebuah cerpennya berjudul “Selendang Bersulam Putih”, pernah dimuat di Sastra Media.

Dalam makalah yang dibagikan kepada seluruh peserta diskusi, Mbak Tuti menyuplik beberapa kalimat dari berbagai bab dari buku Proust, di antaranya adalah “In Search of Last Time” (ISOLT) yang menjelaskan tentang waktu dan ingatan. Tokoh utama dalam ISOLT adalah si Pencerita orang pertama yang menceritakan semua peristiwa dalam novel dari sudut pandangnya. Saat penceritaan tidak disebutkan dengan jelas, kecuali dari beberapa petunjuk dalam tuturan bisa diperkirakan umur si Pencerita saat itu adalah sekitar dewasa muda. Si Pencerita menjelaskan konsep pemikirannya tentang “Waktu dan Ingatan” dengan mengambil dan menceritakan pengalamannya sejak masa kecil dan dewasa, dan juga cerita mengenai tokoh tertentu yang didengarnya dari orang lain. Tetapi bukan berarti novel ini adalah sesederhana cerita kilas balik, karena pengalaman-pengalaman yang dipilih untuk diceritakan sejak pada buku jilid I akan membentuk sebuah premis dan hipotesa di mana kesimpulannya baru ditarik pada bagian akhir buku jilid 7. Bukan novel biasa,tapi novel filsafat yang menarik untuk disimak dan dipelajari.

Para pegiat sastra JSM usai mendiskusikan karya Proust. (Foto: Shantined)

Mbak Tuti dan Tantangannya

Di mata seorang Tuti, menulis dalam bahasa Inggris mempunyai tantangan tersendiri, terutama mengenai pemakaian kalimat yang notebene tidak sesederhana bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, banyak kata mempunyai arti berlapis. Harus diterangkan soal waktu (tenses), gender, dan lainnya. Ia berpendapat bahwa mengapa di luar negeri terutama dalam budaya Barat, terdapat perbedaan karakter dalam bercerita. Ini dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat setempat. Orang Indonesia cenderung tidak mengunggulkan dirinya sendiri, hidup secara komunal, sehingga bahasa yang digunakan lebih bersifat pasif. Ini berbeda dengan karya-karya barat yang memang masyarakatnya lebih berani mengungkapkan pendapat maka tak heran akan menghasilkan kalimat-kalimat aktif. Dan bahasa yang dipakai akan menentukan cerita. Namun menurut mbak Tuti yang memang menyukai tantangan, ia terus menulis meski banyak hal yang harus dilaluinya.

Hal lain yang membuat diskusi berjalan menarik adalah antusiasme peserta dalam mengajukan tanya jawab. Berbagai pertanyaan dijawab tuntas oleh Mbak Tuti. Di antaranya adalah seputar perbedaan kondisi komunitas sastra hingga dunia penerbitan antara Indonesia dan Amerika. Bagaimana perkembangan sastra Indonesia di belahan dunia nun jauh di sana. Peserta mendapat gambaran dari Mbak Tuti bahwa tantangan yang dihadapi penulis Indonesia yang hidup di Amerika tentu lebih besar. Pertaruhan kualitas dan persaingan jauh lebih ketat di sana. Begitu juga dengan minimnya pengetahuan tentang sastra Indonesia di sana. Hanya beberapa yang dikenal, di antaranya ialah Pramoedya Ananta Toer. Kedatangan Mbak Tuti di forum juga memantik keingintahuan peserta tentang segala hal tentang Amerika terutama yang berhubungan dengan sastra dan kepenulisan. Pertanyaan apakah di sana festival sastra semeriah di Indonesia misalnya, dijawab dengan tegas bahwa di sana ada namun lebih segmented dan tak seramai di negara kita.

Satu hal yang juga menarik, adalah cara bertutur Mbak Tuti yang gamblang, jelas, dan runut, layaknya dosen di hadapan para mahasiswanya. Gayanya mirip dengan Bang Riri Satria. Mungkin karena sama-sama berlatar belakang sains dan teknologi, meski juga berjiwa sastra. Ia beberapa kali tampak mengerutkan kening dalam memilih kata-kata dalam bahasa Indonesia. Maklum, selama hidup 25 tahun di Amerika membuat lidahnya telah terbiasa dengan logat dan bahasa Inggris. Tapi yang menarik lagi adalah kefasihannya dalam berdialog dengan beberapa kawan dalam bahasa Minang, masih sangat luwes dan kental. Rupanya untuk itu ia terus mengasahnya. Kedatangannya di Indonesia dimanfaatkannya untuk mengunjungi beberapa kota, bertemu dengan teman dan sanak saudara sekaligus menjaga rasa cinta tanah air meski ia telah berwarga negara Amerika mengikuti regulasi yang berlaku sejak ia berkarier di sana.

Pelajaran dari Proust

Satu pelajaran utama dari Proust, yaitu keberanian dan kreativitas memilih metafora. Proust memiliki banyak ragam metafora dan ini membuktikan bahwa Proust adalah seorang penulis yang kreatif dan berani membuat terobosan. Metafora itu bisa berupa dari dunia seni itu sendiri seperti musik dan lukisan, serta dunia sains dan teknologi. Bahkan pada buku ketiganya berjudul Du Côté De Chez Swann atau Swann’s Way: In Search of Lost Time, Proust menggunakan metafora yang diadopsi dari konsep mekanika kuantum. Bahkan Mbak Tuti dan Bang Riri terlibat percakapan tentang fisika kuantum dan Kucing Schrodinger yang tidak saya pahami.

Namun, intinya, berbicara mengenai sudut pandang dan kejelasan dan memaparkan cerita. Pesan utamanya adalah: jangan takut menggunakan metafora apa pun, bahkan seorang penulis harus berani dan mampu mengeksplorasi berbagai metafora dan menggunakannya dalam tulisannya.

Akhirnya, diskusi ditutup dengan pemberian cendera mata berupa puisi berbingkai yang diserahkan oleh Bang Riri selaku ketua JSM dan Bang Imam Maarif sebagai ketua Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta. []

Shantined

Shantined, penyair dan cerpenis, berdomisili di Depok, Jawa Barat, penulis buku kumpulan puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca serta buku kumpulan cerpen Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau.

Penulis: Shantined

Editor: Muhammad Subhan

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan