Memanusiakan Manusia

Manusia harus diperlakukan sebagai makhluk bermartabat, bukan sekadar alat produksi.

Oleh Riri Satria

DALAM ilmu manajemen klasik, terutama sisa-sisa peninggalan era ekonomi industri, manusia dianggap sebagai salah satu faktor produksi di dalam perusahaan. Posisinya sama dengan mesin, bahan baku, dan sejenisnya. Ini dikenal dengan istilah 5M, yaitu man, money, machine, materials, method. Intinya, manusia dianggap sebagai “robot” yang hanya mengenal perintah dan kerja demi efektivitas serta efisiensi perusahaan.

Posisi kaum buruh adalah mereka yang paling masuk ke dalam kategori ini. Buruh, yang memang posisinya dekat dengan mesin-mesin di dalam pabrik, dianggap tak ada bedanya dengan mesin-mesin di sekitar mereka. Padahal manusia itu ya manusia—punya hati, punya kehidupan, punya harapan, dan sebagainya.

Memang terdapat pergeseran paradigma mengenai manusia di dalam organisasi. Buku Douglas McGregor yang berjudul The Human Side of Enterprise, diterbitkan pada tahun 1960, membuka paradigma baru mengenai manajemen manusia atau manajemen SDM di dalam perusahaan.

Pada abad ke-20, paradigma Teori X sangat mendominasi praktik manajemen SDM di dunia. Paradigma ini mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya hanya mau bekerja sedikit untuk mendapatkan hasil yang banyak sehingga cenderung malas dan culas. Oleh karena itu, manusia perlu diawasi dan dikendalikan dengan serius.

Namun pada abad ke-21, Teori Y mulai mendapatkan tempat. Paradigma ini mengatakan bahwa manusia adalah manusia, dan ia akan memberikan yang terbaik apabila diperlakukan sebagai manusia yang punya martabat.

Dalam ilmu ekonomi terdapat berbagai aliran pemikiran. Sistem ekonomi kapitalis menjadi basis sistem ekonomi zaman Orde Baru, yang membesarkan kaum elite tertentu secara ekonomi, kemudian berharap terjadinya trickle-down effect kepada rakyat banyak. Sesungguhnya ini sangat tidak sejalan dengan filosofi Pancasila. Pertumbuhan (economic growth) memang terjadi, tetapi kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin (indeks Gini) semakin melebar.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, aksi untuk peringatan Hari Buruh atau May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis—padahal tidaklah demikian. Ini terjadi karena ideologi ekonomi Orde Baru memang lebih cenderung kapitalistik, memihak pada pemilik modal.

Dalam sebuah diskusi, pakar ekonomi kerakyatan Prof. Sri Edi Swasono dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa: “…apa yang oleh ekonomi dikenal sebagai trickle-down mechanism, yang oleh kaum ekonomi neoclassical mainstream diterima dan diwajarkan, sementara ekonom kelompok strukturalis menolaknya karena ketidakadilannya secara partisipatif dan emansipatif terhadap rakyat banyak, sekaligus mendorong terbentuknya dependensi statis dari pihak yang lemah ke pihak yang kuat.”

Debat mengenai hal ini sudah terjadi lebih dari seabad yang lalu. Siapakah yang menciptakan nilai tambah ekonomi? Apakah buruh atau pemilik modal? Lalu siapakah yang secara etis boleh menikmati nilai tambah ekonomi lebih besar? Apa yang disebut dengan keadilan dalam menikmati nilai tambah ekonomi?

Saat ini, di negara sumber kapitalisme seperti AS dan Australia, berkembang prinsip greed is good, bahkan menjadi greed is god. Ini juga menjadi suatu landasan filosofis yang membahayakan kehidupan ekonomi secara global, karena negara-negara maju akan menguras sumber daya negara berkembang—apalagi negara miskin—baik dengan cara yang elegan (berkedok bantuan) maupun kekerasan (perang). Inilah yang disebut dengan greedy economy, suatu sistem ekonomi tanpa budaya.

Sejatinya, suatu sistem ekonomi itu memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyat, yang dikenal dengan istilah ekonomi partisipatif, dan memiliki empat ciri khas:

  1. Masyarakat terlibat dalam praktik ekonomi.
  2. Masyarakat ikut serta menentukan arah sistem ekonomi.
  3. Masyarakat mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari sistem ekonomi.
  4. Tidak ada masyarakat adat yang terpinggirkan karena sistem ekonomi.

Menyambut Hari Buruh, bagaimanakah berbagai pihak menempatkan posisi buruh? Jika pemilik modal dan para pekerja sama-sama memahami hal ini, bukankah dunia industri dan profesional menjadi semakin indah?

Perjuangan masih panjang untuk mencapai kesejahteraan bersama. Persoalan yang dihadapi kaum buruh bukan hanya masalah teknis seperti upah minimum, melainkan paradigma ekonomi yang sedang berjalan di dunia dan menjadi arus utama (mainstream).

Saya yakin kita semua memahami hal ini—seperti penciptaan nilai tambah ekonomi, sisi humanis manajemen SDM, bahwa buruh bukan hanya sekadar faktor produksi, dan sebagainya. Tetapi sifat-sifat negatif seperti kerakusan dan ketamakan dalam paradigma greedy economy memang akan membutakan kita semua, terutama para pemilik modal.

Dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu di rumah tangga, apakah kita sudah memandang asisten rumah tangga atau pengemudi yang bekerja kepada kita sebagai manusia? Mereka bukanlah mesin atau robot yang bisa bekerja dari subuh sampai tengah malam tanpa apresiasi yang sepadan. Mereka adalah manusia.

Bagaimana kita memaknai Hari Buruh ini? Menurut saya, kita bisa mulai dengan melihat dari lingkungan terkecil di rumah tangga kita.

Manusia itu adalah manusia dan wajib diperlakukan selayaknya manusia. []

Riri Satria, pakar transformasi teknologi digital, menetap di Jakarta. Tulisan menyambut Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei ini ditulis 15 tahun lalu, yaitu pada 2010.

Penulis: Riri Satria

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan