––Buat F.X. Harsono

Oleh Krisnaldo Triguswinri

Alena bersiteguh menuturkan lukisan kain perca merah saga kepada kritikus, tamu undangan, calon pembeli, serta warga “kampung kumuh” yang turut ia hadir-libatkan dalam pameran ini. Kain perca merah saga itu, menurut Alena, adalah bercak darah dari batuk kronis yang bertalu-talu. Seakan tangan Alena adalah jarum seismograf dari rasa sakit.

Alena kemudian berpaling menjelaskan instalasi Leviathan dalam wujud burung garuda terbenam dalam kaleng kerupuk. Lalu gemetar mendongak lukisan kemiskinan pada tubuh lencir seorang pria: keringatnya berkilau-kilau, rahang cekung tiada berdaging, tangan kiri mencangking ukulele, sementara tangan kanan lentur merogoh kantong celana.

Jengki tiba tak terduga. Mengalungkan kain tenun Toraja pada lingkar leher Alena. Jengki merangkul, menggayut setengah memeluk. Memadu, merengkuh lembut dagu. Dan dengan senyum terbaiknya ia berkata, “Enggak terlalu terlambat, kan?” sambil menggoyang-goyang flower bucket dengan menjulangkan kedua genggam, gandrung, lalu menyerahkannya pada Alena.

Betapa Alena kegirangan, memanjat lengan Jengki, dan berjingkrak cekikikan. “Astaga, Sayang. Kamu manis sekali.” Alena lalu mendaki, mendaratkan kecup pada bidang pipi Jengki. “Terima kasih, ya. Sebentar lagi aku akan perform.”

Di dalam performance art, Alena menggores nama-nama warga yang menjadi korban penggusuran pada medium etalase kaca menggunakan kuas dan tinta cina. Luncur air serupa deras hujan seketika mengucur, menggelincir meluberkan nama-nama.

Hamparan noda hitam menggenang, membalut penuh seluruh putih lantai pertunjukan. Noktah hitam memercik. Membercaki putih sepatu, muka, dan celana. Sementara Alena giat mengayun kuas menisbikan nama-nama. Luncur air tetap menghapusnya. Membuat jejaknya raib terlupakan.

Segugus warga penyintas kemudian bergerak menyelinap masuk ke dalam etalase menenteng benda-benda rusak sisa gusuran. Meletakkannya pada hitam lantai pertunjukan yang sekarang lebih menyerupai jelaga. Meletakkan, bukan membanting atau mengempas:

1. Sepasang suami-istri membawa satu-satunya foto pernikahan mereka dalam pigura yang meretak.

2. Seorang bocah menahan tangis dan menampik permintaan merebahkan mainan Power Rangers berkepala potel pada datar bidang pertunjukan.

3. Kakek itu menjinjing pepatahan kursi, surat cinta bercap injakan sepatu boots, dan bangkai peluit berwarna biru terpampang remuk.

4. Tiga remaja, yang sepertinya satu keluarga, terlunta-lunta menggotong almari tanpa pintu di mana menjuntai pakaian bercecer berserakan di lantai.

Menyaksikan pertunjukan tersebut, Jengki temaram terpanggang bara. Berlipat-lipat sesal sebab gagal mengadvokasi warga mempertahankan ruang hidup mereka dari keangkuhan bulldozer dan aparat. Jengki membisu. Susut menyelami dasar kekaguman sebagai saksi perjalanan riset Alena di Manggarai.

Jengki mengerti, kekasihnya ingin menghadirkan ruang konkret yang tak berjarak dari realitas di dalam karya-karya eksperimentalnya. Sebab perupa itu, dahulu sekali pada Jengki Alena berkata, adalah subjek yang harus bekerja sama dengan masyarakat.

*

Jelang tengah malam, seusai acara pembukaan pameran, mereka menyisir Jalan Cikini Raya. Memacu langkah bertandang makan malam ke Kedai Tjikini: merayakan perhelatan pameran menakjubkan Alena. Barangkali bersanding rangkap selamatan hari jadi. Sekaligus pula pesta Valentine. Sebab, Selasa telah terpahat nukilan yang menandai dua tahun mereka merajut pertalian asmara. Sementara Rabu adalah Hari Kasih Sayang—mesti jua memperingati dan memuliakan kematian seorang martir.

Mereka duduk di meja bundar samping kaca. Alena sibuk mereka-reka daftar menu. Sedang Jengki melongok ke jalan menyaksikan kemacetan serupa barisan semut rangrang, melirik Menteng Huis yang lengang, dan sambil lalu mengagumi belahan dagu Alena yang merekah. Tersisip pula lesung pipi yang, kala Alena meringis, Jengki gemas ingin menyemai benih mawar pada celah lubang, “Aku cinta padamu, Alena!” Berlipat ganda wajah Alena meruam.

Jengki tak sanggup mengurai janji bahwa esok atau lusa mampu menemani Alena. Sebetulnya malam ini—malam yang puitik ini—Jengki mesti mengeksaminasi hasil temuan tentang persamaan diametral antara rezim Presiden Jokowi dengan otoritarianisme rezim militer Orde Baru. Sebab esok ia bertanggung jawab mempertunjukkan riset investigatif lembaganya dalam sebuah pertemuan akbar di Universitas Indonesia. Dan lusa adalah pemilu—mesti pula mengawasi gelagat kecurangan rezim yang sebenarnya sudah terendus membusuk sejak pekan lalu.

“Sayang, kamu tahu wajah Hitler?” tanya Jengki sambil berjalan di muka Bakmi Roxi, melewati Holland Bakery, dan tampak pula sepasang kekasih menyeberang menuju Phoenix Club.

“Aku tahu,” jawab Alena seraya menampik kepulan asap pekat menyembur dari knalpot bajaj yang menderum. “Wajah Hitler itu kekanakan, lugu, lucu.”

“Begitu pula presidenmu. Serupa Dewa Janus, mereka bermuka dua. Tersamar baik, namun bengis. Despot!”

“Tetapi mengapa melimpah ruah banjir dukungan yang buat approval rating Presiden tinggi sekali? Bergerombol pula di situ cendekiawan, aktivis, serta budayawan sebagai pemandu sorak Istana.”

“Hitler juga dipilih secara demokratis, Sayang. Begawan hukum sekaliber Carl Schmitt bahkan mengedarkan pembelaan teoretik terhadap tirani Nazi. Filsuf paling berpengaruh, sekaligus Rektor Universitas Freiburg, Martin Heidegger, juga memasung pembenaran akademis pada kelaliman si Führer. Instalasi Leviathan dalam pameran kamu itu, menurutku, adalah redefinisi paling kiwari buat Presiden Jokowi.”

Tepat di ambang pintu Taman Ismail Marzuki. Tatkala mereka mengantre giliran beli roti Tan Ek Tjoan. Menghambur berai sekerumun manusia serupa rayap. Seseorang menuturkan telah berlangsung pembubaran paksa terhadap pemutaran film dokumenter yang mengusung kritik terhadap politik dinasti dan keculasan pemilu. Tiga intelektual yang berperan dalam film mengalami persekusi. Tak berselang lama, mereka dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Mendengarnya sontak memengapkan dada Jengki. Mengingatkannya pula pada sebuah peristiwa serupa: 28 April 1978, kala rezim otoriter sedang buas-buasnya memberangus kebebasan. Di tempat yang sama, pembacaan puisi Rendra dilempari enam bungkus bom amonia. Tiga hari kemudian, Rendra digelandang ke penjara militer Guntur.

Menyaksikan hal tersebut mengonfirmasi temuan riset Jengki. Bahwa benar di masa senja kalanya presiden mengidap, meminjam istilah Theodor Adorno, authoritarian personality.

*

Pada jagat keheningan Alena Selasa ini, Jengki terjerembab kembara dalam lamunan erotis Alena. Ia lekas menyingkap seprai, menukarnya dengan yang berbunga-bunga. Bunga-bunga itu bermekaran, Alena juga mekar dan berbunga. Menanti Jengki yang mungkin datang atau mungkin tidak datang.

Alena melupakan perhelatan pamerannya. Lalu melukis Jengki serta Valentinus bertempur bermain catur pada bidang kanvas besar. Valentinus versi Bollandist. Sebab beredar beragam versi tentang Valentine yang sukar Alena percaya. Baik keterangan purba, maupun modern, akurasi sejarah tentang kisah itu tak lagi penting baginya. Jengki tetaplah Valentine Alena. Seperti juga drama Shakespeare, Ophelia yang sedang oleng cinta, mengukuhkan dirinya Valentine bagi Hamlet.

Alena melukis kerut wajah Jengki demikian terperinci. Sebuah mimik hura-hura yang, sekali waktu, mengingatkan Alena pada kecemerlangan John Keating dalam Dead Poets Society dan kali lain, saat Jengki menggerutu, misalnya, kepada moncong ikan koki. Seketika pula Alena mendekam gulana. Timpas dalam kanvas. Mendamba Jengki tiba mengisahkan hal-hal menyenangkan berhadap-hadap dengannya.

Latar belakang lukisan Alena adalah Istana Negara. Terpoles pula burung kedasih dan kamboja. Payung hitam dan epitaf. Ketelanjangan seorang raja. Orang-orang melarung kembang tujuh rupa. Serta berkibar bendera kuning yang meliuk menopang kesedihan tepat di altar Istana.

“Halo, Sayang di mana?” Alena menerima panggilan telepon Jengki. Suara Jengki samar, nyaris tak terdengar. Bergemerincing pula keriuhan yang mencuat dari sekitar. “Halo, Sayang. Di mana?”

“Di studio. Kamu di mana?”

“Depok.” Suara Jengki berdengung berat. Menggema jauh terdengar.

“Halo, Sayang? Sayang, halooo?” Alena bersahut-sahut. Tetapi yang terdengar hanya geremengan suara. Jengki tak menjawab.

Alena direguk senyap yang mengembang. Berlutut cemas di hadapan muka kanvas. Tersayat pula keresahan panjang yang membilurkan ulu hatinya. Alena sukar menebar kecemasannya pada Jengki. Sebab kecemasan itu selalu merentankan kekasihnya. Kelak Jengki akan mengerti, suatu hari Jengki pasti mengerti, bahwa Alena teramat mencemasi aktivismenya.

Setelah melukis, Alena putuskan menulis surat, melipat persegi, dan menyusupkannya ke dalam postcard bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco. Di pangkal surat, Alena menuliskan: Dear Jengki. Suatu hari nanti, di Taman Menteng, di antara musik jazz dan meja prasmanan, tamu-tamu yang menggenggam gelas minuman, gaun putih dan mentega, terpatri sebuah ungkapan: Semua tentangmu, Jengki. Selalu terdengar indah di telingaku.

Di buritan berakhir dengan kutipan puisi Sutardji Calzoum Bachri: …yang tertusuk padamu, Jengki, berdarah padaku. Happy Anniversary, Happy Valentine. From your beloved, who always willingly give her heart to you. Alena.

*

Rabu adalah hari terburuk dalam seminggu. Alena bangun kesiangan. Ia duduk tepekur di atas kasur. Ia gamang membuka kanal media sosial yang bercecer domba-domba mengurapi jari dengan tinta. Mereka, para domba yang diasuh oleh TikTok dan Instagram, hanyut ditenggelamkan sakramen kebohongan. Seolah pemilu adalah kekudusan.

Seperti Jengki, Alena tak sudi mengambil posisi yang sama dengan mereka. Menurutnya, demokrasi kotak suara adalah ilusi. Sekadar jeda bagi lipan dan lintah hisap lain berkuasa. Takkan ada jalan pembebasan. Pada akhirnya, para lipan dan lintah akan kembali menggerogoti segala yang bernyawa.
Siaran televisi seketika mewartakan kerusuhan depan Istana. Pekat langit yang sepekat aspal Medan Merdeka, dihitamkan ban yang terbakar. Panser-panser dan sepasukan pentungan-laras panjang, kesumat pitam terhadap orang-orang yang mengepalkan tangan ke angkasa. Tak berselang lama, seorang teman mengirim pesan bahwa Jengki kembali ke Pegangsaan. Ia diuber dan dituduh sebagai dalang keonaran. Alena disengat rasa takut. Ketakutan yang kian akrab memeluk badan.

Di jalan menuju Pegangsaan, di dalam Bluebird, jendela mobil memantulkan kegetiran Alena yang terperam. Matanya basah. Ia sambil lalu menyaksikan anak-anak masih memulung, pengamen masih menembangkan kesedihan. Ondel-ondel dan manusia silver tetap berkeliaran di tiap perempatan jalan.

Setibanya di Jalan Pangeran Diponegoro No. 74, di luar pagar, antara daun gugur dan rasa cemas tak berkesudahan. Alena menyimak keberangan suara menyentak-nyentak dari dalam ruangan. Bergema pula suara entakan meja, dan dengung keras teriakan: persetan dengan hukum, kami adalah hukum.…

Segerombol polisi keluar mencangking Jengki dengan tangan terborgol di belakang. Alena luluh lantak, menjerit histeris. Beberapa polisi datang menghentikannya, mengekangnya. Menyaksikan Alena, Jengki meronta-ronta. Mereka erat mencekik leher belakang Jengki, menyeretnya kasar keluar dari selasar.

Jengki tak melunak. Punggungnya terlalu kaku untuk dibungkukkan kekuasaan. Dan dengan segenap kobar yang terpelihara menyalak, Jengki melantangkan suara: “Kalau sengsara berdegup baka, kalau kuasa nancap leluka, maka kuharap cuma kecupmu, Alena. Kecupmu melupa segala cemas, memangsi kanvas, melukis aku.”

Mereka lalu mengayun gagang senjata tepat di muka. Jengki mengerang kesakitan. Terhuyung-huyung limbung. Selanjutnya adalah makian provokator dan radikal dan makar. Sebuah aforisme yang selalu digunakan rezim untuk menggebuk mereka yang tak seragam.

Begitu cepat pesakitan menyusupi Alena dalam-dalam. Bunga-bunga hatinya berguguran. Wajah yang menjadi segala alasan keriangannya itu, kini lengas diurapi darah. Leher jenjang sedap malam yang selalu ia hirup itu, kini semerbak amis darah.

Suara sirene meraung-raung. Jengki menolehkan kepala, melontarkan sayu senyum, memejamkan mata, dan bernazar, “Hingga titik api penghabisan, Alena! Aku tak takluk oleh moncong senjata, oleh kitab pidana, oleh terali besi. Aku akan kembali ke jalan, mencari batu, dan melempari keangkuhan Istana.”

2024.

Krisnaldo Triguswinri. Pengajar dan peneliti. Lahir 24 Oktober 1996. Menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Diponegoro. Bukunya yang telah terbit adalah Jazz untuk Nada (Puisi; 2016); Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta (Esai; 2021); dan Hari-Hari Berbagi Api: Gerakan Sosial, Wacana Alternatif dan Kritik Kapitalisme (Esai; 2022). Saat ini berdomisili di Kota Jambi. Email: Krisnaldo.triguswinri@gmail.com

Penulis: Krisnaldo Triguswinri

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan