Oleh S. Prasetyo Utomo

SEMANGKUK teh hijau pucuk daun yang dihidangkan istri Eyang Damar Sasongko malam purnama itu meredakan perasaan gusar komandan regu tembak. Daun teh itu dipetik dari kebun belakang rumah joglo, direbus, dituang dalam mangkuk, dan dihidangkan bersama kepingan gula aren di atas lapik. Komandan regu tembak bimbang untuk menenggaknya.

“Minumlah semangkuk teh trasan ini! Kau akan menemukan keteguhan hati,” kata istri Eyang Damar Sasongko pada komandan regu tembak saat duduk di hamparan tikar pandan. Lelaki setengah baya itu menggigit gula aren, mengunyahnya, dan meneguk teh hijau hangat dari mangkuk. Ia merasa tenang. Istri Eyang Damar Sasongko memandanginya, tersenyum.

Komandan regu tembak menuntaskan meneguk teh hijau, menyisakan daun-daun di dasar mangkuk. Ia masih menanti di pendapa rumah jonglo, pada senyap purnama di lereng Bukit Kahyangan. Ia meredakan kegugupan menjelang bertemu Eyang Damar Sasongko.

“Apa keperluanmu datang kemari?” tanya istri Eyang Damar Sasongko, dengan sepasang mata penuh selidik.

“Memohon Eyang berkenan menyepuh mantra pada peluru yang akan digunakan menembak mati seorang perampok.”

“Apa memang perampok itu kebal peluru?” tanya perempuan tua itu.

“Ia tak dapat dilukai senjata apa pun,” balas komandan regu tembak. Ia gentar menghadapi hukuman mati Samsul. Ia tak pernah berhadapan dengan seorang terpidana mati yang kebal, tak mengenal rasa takut akan kematian.

“Tiap peluru yang disepuh mantra suamiku akan menembus tubuh siapa pun yang dikehendaki,” kata perempuan tua itu. Kini komandan regu tembak lebih tenang. Ia tak lagi takut memikirkan kegagalan hukuman mati terhadap seorang perampok yang kebal. Akan tersiar kabar buruk bila sampai terjadi hukuman mati itu gagal dilaksanakan karena tubuh Samsul tak dapat ditembus peluru.

*

MANGKUK kedua teh hijau pucuk daun dan gula aren disajikan istri Eyang Damar Sasongko ke hadapan komandan regu tembak. Lelaki setengah baya itu menenteramkan perasaannya yang tergoncang. Ia bertahan untuk tenang, tegar, dan merasakan angin tengah malam Bukit Kahyangan.

Komandan regu tembak masih menanti Eyang Damar Sasongko menyepuh peluru-peluru itu dengan mantra yang bakal menembus kulit daging Samsul. Ia pernah berhadapan dengan Samsul di penjara setelah hukuman mati dijatuhkan padanya. Tak tampak ketakutan dan penyesalan memancar pada sepasang matanya.

“Kau begitu tenang menghadapi hukuman matimu,” kata komandan regu tembak.

“Kau sangat bernapsu membunuhku!”

“Aku hanya menjalankan tugas sebagai komandan regu tembak!” balas lelaki setengah baya itu. Ia melihat api kemarahan dalam sepasang mata Samsul. Sepasang mata yang tak pernah takut pada siapa pun. Sepasang mata anak muda yang tak sungkan membunuh lawan-lawannya. Komandan regu tembak tak pernah melihat sepasang mata yang tajam, dingin, dan menerkam serupa ini. Mata binatang pemangsa, yang ganas mengoyak daging lawan.

Komandan regu tembak biasa melihat sepasang mata seseorang yang menjelang hukuman mati dengan tatapan hampa, kosong, dan penuh rasa iba. Mata seseorang yang ngeri melihat sebuah dunia penuh dengan siksa, mata yang melihat ketakutan-ketakutan, berharap menerima pengampunan. Tetapi Samsul tak mengenal rasa takut.

Dengan gugup komandan regu tembak mengangkat semangkuk teh hijau pucuk daun, meminumnya. Ia menemukan ketenangan. Semua kenangan seram tentang sepasang mata Samsul yang menerkam seganas singa, terasa biasa. Teh hijau pucuk daun itu telah memberinya kekuatan seorang pawang binatang buas. Mangkuk teh itu kosong.

*

MANGKUK ketiga teh trasan disajikan istri Eyang Damar Sasongko. Uap panas tipis mengapung dari permukaan mangkuk. Komandan regu tembak menenteramkan hatinya, menanti air teh hijau sedikit dingin agar bisa diteguknya. Ia masih sering gugup memikirkan Surti, yang selalu diantarkannya dari panggung ke panggung, untuk menyanyi. Sejak pertama kali bertemu Surti, ia terpikat dengan perempuan yang tak pernah merasa menyesal menikah dengan Samsul.

Sore hari menjelang mendaki Bukit Kahyangan, komandan regu tembak sempat singgah di rumah Surti.

“Boleh kutemani kau mendaki Bukit Kahyangan?” pinta Surti. “Aku belum pernah mencapai rumah Eyang Damar Sasongko. Suamiku beberapa kali ke sana, berguru, dan merasakan suasana yang sangat hening.”

“Aku tak bisa melibatkanmu dalam perjalanan ini. Biar aku seorang diri mendaki Bukit Kahyangan.”

“Aku takut kau tersesat.”

Komandan regu tembak menggeleng. Ia tak ingin membawa serta Surti dalam perjalanannya mencapai rumah Eyang Damar Sasongko untuk menyepuh peluru-peluru dengan mantra. Dengan peluru-peluru itu, ia akan memimpin regu tembak untuk menghukum mati Samsul besok malam.

“Tunggu aku sampai turun dari lereng gunung,” kata komandan regu tembak. “Semoga perjalananku berhasil. Aku akan sangat malu, bila hukuman mati pada Samsul gagal gara-gara peluru yang ditembakkan tak melukai tubuhnya.”

“Dulu suamiku memperoleh ilmu kebal dari Eyang Damar Sasongko. Tentu kini lelaki tua itu akan bisa melumpuhkan suamiku.”

Tergagap, komandan regu tembak menenggak semangkuk teh trasan hijau pucuk daun, mencari ketenangan. Ia ingin melupakan Surti yang tak sepenuhnya dipahami: mungkin saja ia menyembunyikan kegundahan, suaminya akan ditembak mati.

*

MANGKUK keempat teh trasan dihidangkan istri Eyang Damar Sasongko. Menjelang pagi, cahaya bulan purnama memudar di pelataran. Komandan regu tembak seorang diri duduk di hamparan tikar pandan, menanti Eyang Damar Sasongko mengakhiri samadinya mengembuskan mantra pada beberapa butir peluru yang akan menembus jantung Samsul. Ia menemukan ketenangan sebagai komandan regu tembak bagi kematian perampok itu.

“Sudah kusepuh mantra peluru ini,” kata Eyang Damar Sasongko setelah keluar dari kamar, duduk di hadapan komandan regu tembak. “Tubuh Samsul akan tertembus peluru.”

“Ia tak akan kebal lagi?”

“Tentu. Malaikat Izrail sudah menunggu di ubun-ubunnya.”

Menuruni lereng Bukit Kahyangan menjelang pagi, masih dalam bayang-bayang purnama, perasaan komandan regu tembak diliputi kebimbangan. Sepanjang jalan setapak ia merasakan dingin embun pada rerumputan dan perdu. Ia memasuki pelataran rumah Surti yang teduh dinaungi pohon jambu air, mangga, jati, dan sonokeling.

Surti menyambut komandan regu tembak di ambang pintu ruang tamu.

“Aku sudah mendapatkan peluru-peluru yang disepuh mantra,” kata komandan regu tembak.

Tenang, penuh kesabaran, Surti meraih tangan komandan regu tembak. Diajaknya duduk di ruang tamu. Ia menyuguhkan semangkuk teh trasan hijau pucuk daun dengan kepingan gula aren di lapik. Bersimpuh di sisi komandan regu tembak. “Minumlah! Kau akan menemukan ketetapan hati untuk melaksanakan tugasmu sebagai komandan regu tembak!”

Terjulur pelan, tangan komandan regu tembak meraih kepingan gula aren di atas lapik, menggigit, mengunyahnya pelan. Kedua telapak tangannya meraih semangkuk teh trasan hijau pucuk daun, meminumnya, dan memandangi Surti dengan birahi, menjalar pada tubuhnya yang kekar. []

Pandana Mereka, Januari 2025

Catatan:
teh trasan : teh pucuk daun segar yang direbus tanpa dikeringkan

S. Prasetyo Utomo. Lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes (2018). Sejak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di media massa seperti: Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, majalah Noor, majalah Esquire, Basabasi, dll. Menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa” (2017); penghargaan Acarya Sastra dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2015); penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah (2017). Kumpulan cerpen “Bidadari Meniti Pelangi” (Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” (Cerpen Pilihan Kompas, 2008). Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (Cerpen Pilihan Kompas, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Midnight Intruder (Dalang Publishing, Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret (Cerpen Pilihan Kompas, 2010).

Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: S. Prasetyo Utomo

Editor: Neneng J.K.

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan