Maninjau
Danau Maninjau bukan hanya panorama indah, tetapi juga saksi sejarah dan sumber inspirasi. Di pinggir Danau Maninjau, Buya Hamka tumbuh, menulis, dan meninggalkan warisan pemikiran yang abadi.

Oleh Muhammad Subhan
SAYA masih ingat hari itu. Tahun 2008. Langit bersih. Angin lembut mengiringi perjalanan.
Saya menuruni Kelok Ampek Puluah Ampek. Dengan sepeda motor tua. Dari Bukittinggi menuju Maninjau. Menuju tanah yang menyimpan sejarah. Menuju rumah kelahiran Buya Hamka.
Jalan itu berkelok-kelok. Tajam. Menurun. Menantang. Namun, pemandangannya memukau.
Danau biru membentang di bawah sana. Bukit-bukit hijau berdiri anggun. Seperti doa yang menjelma lukisan.
Danau Maninjau. Permata di Ranah Minang.
Di kelok ke-27, saya terdiam lama. Memandang jauh ke bawah. Ke arah danau yang tenang. Di sanalah Tanah Sirah, Sungai Batang. Kampung Buya Hamka dilahirkan.
Beliau adalah sastrawan. Ulama. Pejuang pemikiran. Yang datang dari pinggir danau itu. Dari rumah kayu yang sederhana. Rumah itu kini museum.
Saya masuk ke dalamnya. Aroma kayu tua menyambut. Sunyi. Teduh. Seolah Buya masih di situ. Membaca. Menulis. Atau merenung.
Di dinding tergantung potret Buya Hamka kecil. Buya muda. Buya yang telah menua. Matanya tajam, tapi teduh. Pandangannya dalam, tapi berwibawa.
Di sudut museum itu, ada tongkat Buya. Ada koper tua. Ada jubah wisuda. Ada tempat tidur kecil dengan kelambu putih. Dibatasi tali. Dijaga papan kecil: Dilarang melewati lintasan.
Pengunjung ramai berdatangan. Dari dalam negeri. Dari seberang laut. Tamu-tamu Malaysia banyak berziarah ke sana.
Mereka datang untuk mengenang. Untuk belajar dari jejak Buya.
Penjaga museum menyambut saya. Ramah. Di sela obrolan, ia menyampaikan pesan Buya.
Empat pesan yang membekas di hati saya: Pintar adalah merasa bodoh. Bahagia adalah tahu kampung halaman. Suci adalah menyucikan diri. Dan ketika kemiskinan datang: Bukalah jendela, lompatlah ke luar.
Di luar rumah, kampung masih tenang. Rumah-rumah berdiri kokoh. Kayu dan beton berdampingan. Pintu tinggi. Jendela lebar. Ukiran kayu masih bertahan.
Modernisasi menjamah pelan-pelan. Jalan beraspal. Listrik menyala. Sinyal telepon masuk. Tapi ruh kampung tetap terjaga.
Sungai Batang bukan nama sungai. Tidak ada sungai besar di sana. Yang ada hanya danau. Danau dari kawah letusan purba. Gunung Sitinjau, kata orang tua. Meletus tujuh abad silam. Tersisalah danau biru yang memikat.
Danau itu kadang berubah warna. Kadang berbau belerang. Angin membawa aroma dari perut bumi.
Penduduk hidup sederhana. Umumnya bertani. Berdagang. Mengelola keramba. Beternak ikan nila dan gurami. Juga bada, ikan kecil khas danau ini. Tiga bulan sekali, panen tiba.
Maninjau bukan sekadar pemandangan. Ia adalah kenangan. Ia adalah sumber inspirasi. Ia adalah rumah bagi jiwa-jiwa yang peka.
Buya Hamka pernah berkata, “Aku telah keliling dunia. Namun, tiada yang seindah Maninjau.”
Bung Karno pun jatuh hati. Ia menulis pantun:
Jika adik memakan pinang,
Makanlah dengan sirih hijau.
Jika adik datang ke Minang,
Jangan lupa singgah ke Maninjau.
Pantun itu terbingkai di dinding museum. Bersama tulisan tangannya: Maninjau yang indah permai.
Danau. Sawah. Bukit. Jalan yang berkelok. Menjadi kenangan dalam benak presiden.
Museum kecil itu membawa dampak besar. Warga bersemangat. Ada yang membuka warung. Ada yang menjual suvenir. Ada yang menjual buku-buku Hamka: Di Bawah Lindungan Ka’bah. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Tafsir Al-Azhar. Tasawuf Modern. Dan banyak lainnya.
Buku menjadi napas ekonomi baru. Buku menjadi denyut hidup kampung kecil ini.
Buya Hamka bukan hanya milik Maninjau. Ia milik bangsa. Milik dunia. Tapi akarnya tumbuh di sini. Di tanah basah Sungai Batang. Di tengah semilir danau. Di antara desir angin dan suara ayam pagi.
Ia menulis ratusan buku. Ribuan artikel. Ia wartawan. Ia editor. Ia penyair. Ia sastrawan.
Ia bukan berasal dari sekolah sastra. Tapi ia banyak menulis karya sastra, dengan hati. Dan hatinya sampai ke hati pembaca.
Seperti kata kritikus Prof. A. Teeuw, Buya Hamka berada di luar arus sastra resmi. Namun, tulisannya menembus zaman. Menembus batin.
Hari itu, saya berdiri di depan rumahnya. Angin danau membelai wajah. Saya teringat masa kecil. Teringat kampung sendiri.
Betapa benar pesan Buya Hamka: Bahagia adalah tahu kampung halaman.
Maninjau adalah kampung Buya. Tapi juga kampung kita. Kampung sejarah. Kampung ilmu. Kampung yang tak lelah memberi.
Ketika saya kembali ke Bukittinggi, Danau Maninjau masih terlihat dari kejauhan. Biru. Tenang. Seperti sepasang mata yang menyimpan cerita.
Maninjau tidak sekadar panorama. Ia adalah napas sejarah. Setiap batu. Setiap sawah. Setiap rumah. Setiap lekuk danau adalah kisah.
Di sinilah Hamka memulai langkahnya. Di tengah sunyi. Di pinggir danau. Dengan buku. Dengan doa.
Saya percaya, dari tempat seperti inilah pemikir besar bisa lahir. Bukan karena gelar. Tapi karena cinta. Karena kejujuran pada hidup. Dan ketekunan pada ilmu.
Danau Maninjau tak pernah bersuara, tapi setiap riaknya menyimpan pesan. Dalam tenangnya, terpantul keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tak henti mengalir. Seorang anak kampung pernah lahir dan menulis dari sini, dan tulisannya menembus zaman. Dari sunyi yang dalam, lahirlah suara yang tak padam. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah