Makan
Islam tidak hanya mengatur kehalalan makanan, tetapi juga mendorong umatnya untuk memperhatikan kandungan gizi dan kesehatannya.

Oleh Fatatik Maulidiyah
MAKAN sering kali dianggap sebagai hal biasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, makanan bukan sekadar pemenuh kebutuhan fisik, tetapi juga memiliki nilai sosial, budaya, dan spiritual yang mendalam.
Di berbagai kesempatan, makanan selalu menjadi sorotan. Dalam acara seminar, meskipun topiknya berat, sesi coffee break justru sering kali lebih dinantikan. Makanan menjadi pemersatu, melintasi batas usia, profesi, bahkan budaya. Oleh karena itu, aneh rasanya jika ada yang menganggap pembahasan tentang makanan sebagai sesuatu yang remeh.
Sebagian orang masih memandang makan dengan sinis, seolah-olah itu hanya urusan duniawi yang jauh dari nilai-nilai spiritual. Ada yang mencibir, “Orang kok makan saja yang dibahas?” Atau bahkan menganggap seseorang yang membicarakan makanan sebagai pribadi yang terlalu materialistis. Pandangan seperti ini tidak lepas dari ajaran yang sering kali mengontraskan antara makan dan ibadah, terutama puasa.
Dalam sejarah, orang-orang yang dianggap suci sering digambarkan sebagai sosok yang kurus karena banyak berpuasa. Sebaliknya, orang yang gemuk sering kali diidentikkan dengan kerakusan.
Ini bisa dilihat dari bagaimana para raja dahulu dikenal dengan kebiasaannya yang berlebihan dalam makan, sementara para sufi, rahib, dan biksu lebih sering digambarkan sebagai sosok yang asketik. Bahkan dalam dunia anak-anak, tokoh seperti Paman Gembul diciptakan untuk menertawakan orang yang doyan makan.
Namun, jika kita melihat ajaran Islam, sebenarnya makan memiliki tempat yang penting dalam kehidupan beragama. Al-Qur’an menyebutkan hampir 30 ayat yang membahas makanan dalam bentuk perintah, jauh lebih banyak dibandingkan dengan perintah puasa yang hanya disebutkan beberapa kali. Ini menunjukkan bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan fisik, tetapi juga bagian dari ibadah.
Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah memastikan makanan yang dikonsumsi halal dan baik (thayyib). Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an: “Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Ayat ini menegaskan bahwa makanan yang baik akan mendukung seseorang dalam beramal saleh. Sebab, tubuh yang sehat berasal dari asupan yang baik, dan tubuh yang sehat akan lebih mudah melakukan ibadah dan kebaikan lainnya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menekankan bahwa seseorang tidak bisa mencapai ilmu dan amal yang sempurna tanpa tubuh yang sehat. Dan kesehatan tubuh sangat bergantung pada makanan yang cukup dan bergizi. Oleh karena itu, Islam tidak hanya mengatur kehalalan makanan, tetapi juga mendorong umatnya untuk memperhatikan kandungan gizi dan kesehatannya.
Selain itu, Islam juga mengajarkan keseimbangan dalam makan. Allah Ta’ala berfirman: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ayat ini mengajarkan agar kita tidak berlebihan dalam makan, karena makan berlebihan dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan dan juga bisa menimbulkan sifat boros.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa Islam mengajarkan prinsip keseimbangan dalam makan: halal, sehat, dan tidak berlebihan. Makanan yang baik bukan hanya yang enak di lidah, tetapi juga membawa manfaat bagi tubuh dan mendukung kita dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari.
Jadi, mulai sekarang, mari kita lebih sadar terhadap apa yang kita makan. Pilihlah makanan yang halal dan baik, nikmati dengan penuh rasa syukur, dan jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, makanan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Fatatik Maulidiyah, merupakan guru Al-Qur’an Hadis dan Ilmu Tafsir MAN 2 Mojokerto.
Penulis: Fatatik Maulidiyah
Editor: Muhammad Subhan