Maaf
Memaafkan bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang membebaskan diri dari belenggu kebencian. Dengan memberi maaf, hati menjadi lebih lapang dan hidup terasa lebih damai.

Oleh Muhammad Subhan
MEMINTA maaf adalah perbuatan mulia. Memberi maaf jauh lebih mulia.
Tidak mudah memberi maaf dengan tulus. Hati yang terluka, kecewa, dan marah menjadi penghalang.
Namun, orang-orang yang mampu memberi maaf adalah orang-orang istimewa. Mereka bukan nabi atau wali, tetapi mereka memiliki kebeningan hati yang luar biasa.
Allah memiliki sifat pemaaf. Salah satu nama-Nya dalam Asmaul Husna adalah Al-Ghaffar, Yang Maha Pengampun.
Jika Allah Maha Pemaaf, manusia sebagai hamba seharusnya juga memiliki sifat itu.
Manusia sering kali melakukan kesalahan. Namun, ketika bertobat, Allah selalu membuka pintu maaf-Nya. Jika Allah tidak mengampuni, kepada siapa lagi manusia akan meminta pertolongan?
Maaf bukan perkara mudah. Tetapi jika mampu meminta maaf dan memberi maaf, hidup akan lebih tenang.
Marah hanya membawa penyakit. Dendam membuat jiwa gelisah. Hati yang tidak tenang dipenuhi kecemasan dan ketakutan.
Sebaliknya, sifat pemaaf menenangkan jiwa. Langkah menjadi ringan. Hidup terasa lebih lapang.
Dari sisi psikologis, memaafkan memberikan ketenangan batin.
Studi menunjukkan bahwa orang yang pemaaf memiliki tingkat stres lebih rendah. Mereka juga lebih bahagia karena tidak menyimpan dendam yang membebani hati.
Melepaskan kemarahan berarti melepaskan beban yang tidak perlu.
Dari sisi kesehatan, memberi maaf berkontribusi pada kesejahteraan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa memendam amarah bisa meningkatkan tekanan darah dan risiko penyakit jantung.
Sebaliknya, orang yang mampu memaafkan lebih jarang mengalami gangguan tidur, nyeri otot, atau kecemasan kronis.
Dari sisi filosofis, memaafkan adalah bentuk kebijaksanaan. Dalam berbagai tradisi, maaf dianggap sebagai jalan menuju pencerahan.
Para filsuf dari berbagai zaman mengajarkan bahwa memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi tentang membebaskan diri dari belenggu kebencian.
Dari sisi religi, hampir semua agama menekankan pentingnya maaf.
Islam mengajarkan bahwa Allah Maha Pengampun, dan manusia seharusnya meneladani sifat-Nya. Kristen mengajarkan kasih dan pengampunan seperti yang dicontohkan oleh Yesus Kristus. Buddha mengajarkan bahwa melepaskan dendam adalah langkah menuju nirwana. Hindu meyakini bahwa karma baik datang dari hati yang bersih.
Maaf bukan sekadar kata. Ia adalah proses panjang yang mendewasakan manusia. Dengan memaafkan, kita tidak hanya meringankan beban orang lain, tetapi juga membebaskan diri sendiri dari belenggu amarah dan kebencian.
Alkisah, pada tahun 2022, dunia digemparkan oleh sebuah peristiwa di South Cumminsville, Amerika Serikat.
Malam itu, seorang remaja bernama Suliman Abdul-Mutakallim berjalan pulang dengan membawa sebungkus makanan. Ia tidak menyangka perjalanannya akan menjadi yang terakhir.
Tiga orang tak dikenal mendekatinya. Sebuah tembakan dilepaskan. Peluru bersarang di kepala Suliman. Ia roboh. Dompetnya dirampas, berisi tak lebih dari enam puluh dolar.
Ibunya, Rukiye, terpukul. Ia tidak hanya kehilangan putranya. Ia kehilangan kebahagiaan, kehilangan harapan. Hatinya terkoyak.
Namun, di tengah rasa sakit yang mendalam, ia memilih untuk ikhlas. Baginya, ini adalah kehendak Tuhan.
Tidak hanya itu, Rukiye juga memutuskan untuk memaafkan pembunuh anaknya. Dunia bertambah heboh atas sikap Rukiye.
Di ruang sidang, sesuatu yang luar biasa terjadi. Rukiye datang mendekati pelaku. Ia melakukan tindakan tidak biasa. Bukan memukul, bukan menampar, bukan menendang, tetapi malah memeluk pembunuh anaknya.
Adalah Javon Coulter, remaja empat belas tahun yang menembak Suliman, putra Rukiye, seketika menangis tersedu-sedu dalam pelukan Rukiye. Ia tidak menyangka ibu dari korban akan melakukan hal itu.
Tangis memenuhi ruangan. Seluruh hadirin yang hadir di persidangan itu tak kuat menahan haru. Para veteran hukum yang hadir mengatakan mereka belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Sangat langka.
Bagi Rukiye, anak-anak itu telah terinfeksi penyakit kebencian. Namun, mereka masih muda. Mereka masih bisa diselamatkan. Masih ada harapan untuk mereka menjadi lebih baik di masa depan.
Rukiye juga berjanji akan mengunjungi mereka di penjara. Ia ingin membimbing mereka agar menjadi manusia yang lebih baik.
Rukiye tahu, balas dendam tidak akan mengembalikan Suliman, kekasih hatinya. Namun, dengan memberi maaf, ia berharap tragedi serupa tidak terjadi lagi.
Begitulah. Maaf bukan kelemahan. Maaf adalah kekuatan.
Memaafkan adalah perjuangan. Bukan sekadar melupakan, tetapi menerima dan mengikhlaskan.
Dan, memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang ketenangan diri sendiri.
Mereka yang mampu memaafkan adalah orang-orang kuat. Orang-orang terpilih. Mereka menolak diperbudak oleh dendam dan amarah.
Mereka memilih kebesaran jiwa. Dan itu adalah kemuliaan sejati.
Momen Idulfitri menjadi waktu yang paling indah untuk saling memaafkan. Setelah sebulan berpuasa, umat Islam merayakan kemenangan dengan membersihkan hati dari dendam dan kesalahan.
Tradisi saling memaafkan di hari raya bukan sekadar formalitas, tetapi ajakan untuk benar-benar membuka lembaran baru.
Idulfitri mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pernah berbuat salah, dan setiap orang berhak mendapatkan maaf.
Dengan saling memaafkan, hati menjadi lebih lapang, hubungan sosial kembali harmonis, dan kehidupan menjadi lebih damai.
Memohon maaf dan memberi maaf adalah salah satu wujud ibadah. Sebab, manusia yang paling baik adalah mereka yang tidak hanya menjaga hubungan dengan Allah, tetapi juga menjaga hubungan dengan sesama.
Maka, di hari Idulfitri ini, mari jadikan maaf sebagai jembatan untuk mempererat tali persaudaraan dan meraih keberkahan hidup. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah