Oleh Hafis Azhari
BANYAK orang di era hiper modern ini yang terlampau tergopoh-gopoh mengejar suatu ilusi. Mereka seakan percaya bahwa kesuksesan identik dengan kesibukan menyelesaikan tugas-tugas yang padat, hingga mereka kelelahan dan kehilangan arah. Tak terkecuali penulis dan sastrawan yang tak sanggup membangun ritme hidup, hingga selalu dirundung kegelisahan, tidak fokus, bahkan kehilangan kendali diri.
Yang jadi masalah, apakah kesibukan itu efektif atau tidak. Jangan-jangan mereka hanya terjebak ke dalam daftar tugas yang berderet-deret, padahal tanpa menyentuh hal-hal prinsipil dan esensial. Mereka tampak sibuk, tetapi sebenarnya hanya lelah secara fisik serta kosong secara emosional. Mereka hanya berpikir tentang seberapa banyak berbuat dan melaksanakan tugas, meskipun terperosok kembali ke dalam kehampaan dan kegelisahan.
Penulis yang baik harus pandai memprioritaskan kedalaman, dan bukan kedangkalan, juga bukan perkara kecepatan. Ia percaya bahwa karya sastra yang baik tidak lahir dari tabiat yang tergopoh-gopoh atau terburu-buru mengejar sesuatu.
Sastra yang baik harus lahir dari totalitas dan perhatian pada budaya dan peradaban bangsa secara utuh. Bukan dengan sibuk menangani semua urusan, bahkan menyelesaikan semua tema yang harus digarap. Kalau perlu, karya yang sedang dikerjakan bolehlah dilempar ke tong sampah, ketika sang penulis mengalami transformasi spiritual, lalu menyadari bahwa karya yang sedang digarapnya akan membawa mafsadah dan kerusakan mental bagi para pembaca.
Bercermin Diri
Berkaca pada penulis-penulis besar dunia, bahwa mereka sepakat, sesungguhnya keheningan adalah bahan bakar terbaik bagi kreativitas. Justru di tengah momen keheningan, pikiran kita dapat bernafas dengan lapang, imajinasi terarah, hingga kita terkoneksi dengan universalitas, dapat menemukan tujuan yang memberi manfaat bagi banyak orang.
Untuk apa Anda menulis karya sastra tentang cinta yang romantis, keharmonisan keluarga, sementara Anda sendiri tak pernah tidur nyaman, bahkan tak pernah punya waktu luang untuk bercengkerama. Itu artinya, Anda dapat berbuat adil untuk orang lain, sementara untuk tubuh sendiri, kepada keluarga sendiri, telah berlaku zalim dan sewenang-wenang.
Sekarang sudah bukan zamannya Anda berdalih bahwa membangun ruang nyaman untuk istirahat dan bersenda-gurau bersama keluarga dianggap sebagai gangguan produktivitas. Justru di tengah keluarga yang riang gembira, beserta istri dan anak-anak yang ramah dan senang, di situ Anda akan melahirkan karya-karya produktif yang lahir dari keheningan dan kedalaman, hingga akan membawa maslahat bagi banyak orang.
Kenapa tadi saya katakan “zalim”, karena jika Anda tak peduli pada keluarga dan orang-orang sekitar, lalu berdampak pada pertumbuhan anak-anak yang nakal, bising dan gaduh, kemudian Anda memanfaatkan suasana tersebut untuk menciptakan karya sastra yang berujung pada chaos dan absurditas. Bukankah cukup beralasan jika dikatakan perbuatan zalim, baik terhadap diri maupun lingkungan sekitar? Karena Anda selaku kepala rumah tangga, mestinya adalah pihak pertama yang harus memberi teladan dan tanggung jawab? Untuk apa memberi teladan yang acak, dari benih yang absurd, lalu menumbuhkan pohon-pohon absurd yang beracun?
Siapakah yang memulai dan mengawali semua keteladanan itu?
Banyak penulis sukses dari zaman ke zaman, selalu memberi teladan dengan sikap istikamah, konsisten dalam kesederhanaan, bukan dari terburu-buru mengejar target penerbitan demi untuk menciptakan viralitas dan kehebohan.
Untuk apa menulis karya sastra banyak-banyak, sementara Anda masih membutuhkan pertumbuhan dalam kedewasaan iman dan spiritualitas, sampai kemudian mampu menancapkan tema yang lebih prioritas bagi pembangunan budaya dan peradaban bangsa ini? Buat apa menulis buku banyak-banyak dengan mengatasnamakan “pembangunan literasi”, sementara karya yang dangkal dan absurd takkan pernah menumbuhkan kedewasaan masyarakat?
Untuk saat ini, masyarakat juga semakin melek literasi, bahwa ia bukan hanya sebatas membaca dan menulis, tetapi konteks literasi juga meliputi cara berbicara yang logis, bahkan cara mendengar yang fokus dan tenang.
Karya Tak Terarah
Ketika seorang penulis lupa akan tujuan hidupnya, justru rasa stres dan galaunya akan berlipat, karena ia telah menggelontorkan karya prosa, puisi atau esai yang justru membuat mental masyarakat semakin kerdil, picik, bahkan frustasi dan bersikeras ingin mengakhiri hidupnya.
Terkait dengan itu, seberapa banyak kita telah menyaksikan orang-orang yang mati bunuh diri karena diilhami oleh bacaan novel di tangannya. Lalu, melihat fenomena itu Anda merasa berhasil menjadi penulis yang mengilhami pambaca kepada mafsadah, kerusakan, bahkan tega mencelakakan orang lain? Bukankah beralasan bagi saya untuk menyatakan tindakan picik dan zalim, bukan saja menzalimi para pembaca, tetapi pada gilirannya juga menzalimi dirinya sendiri?
Jangan sampai seorang penulis kehilangan arah dan fokus untuk memberdayakan moral masyarakat, terutama dalam membangun tema yang lebih prioritas mengenai kedewasaan pembangunan mental. Hal itu akan menjauhkan mereka pada perilaku burnout, bukan karena kerja yang sedikit melainkan justru karena kebanyakan kerja tetapi tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Ketika Anda kehilangan makna dalam rutinitas, kelelahan mental yang tak karuan, lebih baik Anda diam dan hening, menarik nafas panjang sambil mengingat nikmat dan kebesaran Tuhan, lalu mulailah menulis. Karena bagaimanapun, Anda boleh saja bekerja keras dan menulis sepanjang hari, tetapi jika karya Anda tak menyentuh hakikat keindonesiaan dan kekinian, Anda hanya sibuk menulis ilusi dan bayang-bayang tak berarti, juga hanya pontang-panting membuang-buang energi percuma.
Di sini semakin jelas, bahwa hakikat produktivitas dalam berkreasi dan berkarya sastra, bukan tentang siapa yang paling sibuk dan menghasilkan banyak buku, tetapi siapa yang paling fokus, terarah, dan paling jernih pikiran dan perasaannya.
Karena pada hakikatnya, dialah yang paling mempersiapkan diri dengan struktur mental yang kokoh untuk menghadapi tekanan hiper modern, tanpa kehilangan jati diri, hingga sanggup melahirkan karya monumental yang mencerdaskan umat.
Untuk itu, bagi para penulis dan sastrawan yang selama ini telah menghamburkan produktivitas dan gairah yang tak menentu, sebaiknya istirahatlah dan taruh pena dari genggaman Anda, tanpa perlu membantingnya keras-keras.
Mohon maaf, jika saya katakan “gairah yang tak menentu”, karena secara religius sesungguhnya tidak ada aktivitas yang sia-sia dalam pandangan Tuhan. Karena itu, anggaplah hal-hal tersebut sebagai suatu kegagalan di masa lalu. Tetapi untuk saat ini, tetaplah fokus di depan layar, jernihkan pikiran Anda untuk melakukan lompatan perubahan bagi karya-karya besar Anda di kemudian hari. []
Hafis Azhari
Peneliti historical memory Indonesia, juga pengarang novel Pikiran Orang Indonesia.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Hafis Azhari
Editor: Ayu K. Ardi












