Literasi: Tantangan, Peluang, dan Jalan Pulang
Tantangan literasi bisa diatasi jika semua pihak bergotong royong dan berinovasi bersama.

Oleh Muhammad Subhan
ORANG Indonesia bukan tidak bisa membaca. Kita diajari mengenal huruf sejak kecil. Tapi, soal kebiasaan membaca, itu urusan lain.
Hari ini, buku sering kalah dengan benda pipih bernama gawai. Perpustakaan tersisih oleh berbagai hiburan praktis yang terhampar di depan mata.
Satu dekade terakhir, kita sudah punya Gerakan Literasi Nasional. Sudah berdiri ribuan komunitas baca, dari pelosok desa hingga ke kota. Sudah banyak orang yang rela jadi relawan. Bahkan, sekolah-sekolah punya program literasi 15 menit setiap pagi.
Tapi, pertanyaannya: apakah literasi yang digaungkan selama ini telah benar-benar hidup di hati masyarakat?
Fakta di lapangan bicara berbeda. Tingkat literasi Indonesia masih tertinggal jika dibanding negara-negara lain. Hasil survei PISA dan studi UNESCO berkali-kali mengingatkan kita. Budaya baca di sekolah sering formalitas. Di rumah, buku tidak selalu jadi kebutuhan utama.
Mengapa bisa demikian?
Banyak masalah yang menumpuk. Budaya literasi belum tumbuh jadi budaya hidup. Masyarakat kita, sebagian besar, memandang membaca sebagai beban. Sekadar memenuhi tugas sekolah, atau hanya saat ada lomba.
Di sekolah, guru pun sering gagap literasi. Banyak guru sendiri jarang membaca buku. Buku teks didikte, ringkasan dihafal, selesai. Pojok baca di kelas berdebu. Jam literasi 15 menit jadi basa-basi. Dulu, gaung program itu luar biasa sekali. Kini perlahan redup, bahkan banyak sekolah tak lagi menggalakkan program membaca 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Alasannya, mengganggu jam pelajaran.
Sementara, di luar sekolah, pegiat literasi di taman bacaan berjuang sendirian. Mereka bertahan dengan buku sumbangan seadanya. Rak baca sering dari kayu bekas. Kadang, tidak ada anggaran. Relawan bergerak dari kantong pribadi.
Dana menjadi soal klasik. Gerakan literasi kerap bergantung pada APBN, APBD, atau donasi. Kalau anggaran habis, gerakan meredup. Belum lagi, distribusi buku tidak merata. Kota besar berlebih, desa kekurangan.
Teknologi juga paradoks. Di satu sisi, internet membuka lautan pengetahuan. Buku digital bisa diakses di mana saja. Tapi, di sisi lain, gawai lebih sering untuk hiburan. Scroll video pendek lebih digemari ketimbang membaca e-book, apalagi buku tercetak.
Hoaks pun gampang beredar. Karena literasi digital rendah. Kemampuan memilah informasi lemah. Masyarakat mudah terprovokasi kabar palsu. Padahal, inilah bukti literasi kritis belum terasah.
Apakah masalah hanya berhenti di situ?
Tidak. Kolaborasi lintas sektor masih rapuh. Komunitas baca, sekolah, perusahaan, pemerintah, sering jalan sendiri. Kalaupun ada kerja sama, sering cuma seremonial.
Tapi, di tengah semua tantangan itu, selalu ada peluang. Semangat pegiat literasi di kampung-kampung menyalakan harapan. Mereka membangun sudut baca di warung kopi. Membuka rak buku di posyandu. Membacakan cerita dan membentang lapak baca di kolong jembatan.
Banyak orang tua mulai sadar. Mereka ingin anaknya suka membaca sejak dini. ‘Read aloud’, mendongeng, kini mulai tumbuh. Buku-buku lokal terbit dengan cerita yang dekat dengan kehidupan anak. Kampus-kampus juga pelan-pelan turun tangan melalui berbagai program Kuliah Kerja Nyata.
Internet pun bisa dimanfaatkan. Konten literasi di TikTok mulai bermunculan. Podcast tentang buku lahir di mana-mana. Diskusi daring membuat ruang belajar tanpa sekat. Tinggal bagaimana konten berkualitas bisa menarik hati.
Dari semua masalah, lahirlah peluang untuk membenahi. Masalah dana bisa dipecahkan dengan kreativitas. Taman bacaan bisa bikin koperasi literasi. Menjual barang bekas, kerajinan, atau produk warga. Hasilnya untuk beli buku baru atau untuk membiayai berbagai program yang direncanakan.
CSR perusahaan bisa diarahkan ke literasi. Bukan sekadar bangun jalan atau bagi sembako. Tapi bangun ruang baca, pelatihan menulis, festival buku.
Relawan juga harus dijaga semangatnya. Mereka perlu pelatihan, bukan hanya disuruh jaga rak buku.
Di sekolah, literasi jangan jadi milik guru Bahasa Indonesia saja. Guru IPA, IPS, Matematika, dan guru bidang studi lainnya juga bisa membangun budaya baca.
Guru pun wajib jadi teladan. Kalau guru rajin baca, murid tergerak meniru. Kalau guru menulis buku, murid pun ikut bermimpi menjadi penulis, meski kelak cita-cita mereka menjadi dokter, insinyur, teknokrat, dan lainnya. Betapa dahsyat seorang dokter yang menulis buku. Betapa hebat seorang insinyur yang menulis buku.
Masyarakat harus diajak bergotong royong. Literasi tak mungkin hanya kerja pemerintah. Setiap orang bisa mulai dari rumah. Buat sudut baca di ruang tamu. Sisihkan sedikit uang untuk belikan buku, bukan hanya membeli kuota game online.
Di samping itu, ajak anak ke toko buku, bukan hanya ke pusat perbelanjaan, meski toko buku hari ini kondisinya memprihatinkan. Biasakan memberi hadiah buku, bukan sekadar mainan. Bacakan cerita sebelum tidur, benar-benar membaca, bukan cuma menyuruh menonton dongeng di gawai. Kalau membaca jadi kebiasaan, menulis pun akan tumbuh. Karena membaca dan menulis bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Kolaborasi harus nyata. Jangan jalan sendiri-sendiri. Taman bacaan bisa kerja sama dengan sekolah. Sekolah bisa bergandeng tangan dengan kampus. Kampus bisa berjejaring dengan perusahaan.
Dokumentasi juga penting. Kisah sukses komunitas baca harus dibagikan. Jangan malu pamer. Namun, pamer yang bersifat edukatif, bukan menyombongkan diri. Bagikan foto-foto kegiatan, testimoni pembaca, unggahlah. Agar orang percaya, literasi bukan mimpi kosong. Agar orang terinspirasi dan termotivasi berbuat yang sama.
Semua orang harus punya mimpi literasi. Bayangkan kalau di setiap balai desa ada sudut baca. Di setiap pos ronda ada rak buku. Di ruang tunggu perkantoran ada perpustakaan. Di warung kopi ada majalah dan koran yang berganti tiap bulan. Di gawai kita pun tersimpan e-book berkualitas.
Kita tidak boleh pesimis. Benih-benih literasi sudah ditanam. Tinggal bagaimana kita menjaga dan merawatnya. Mungkin pelan, mungkin sering gagal, mungkin sering terjatuh, tapi pasti bisa. Asal dikerjakan bersama-sama.
Jangan biarkan api literasi padam. Jangan biarkan buku berdebu di rak. Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh tanpa membaca. Sebab, dengan literasi, kita bisa menulis sejarah baru. Sejarah sebagai bangsa pembelajar, sepanjang hayat, yang tak pernah lelah mencari pengetahuan, memungut dan menebarkan kebaikan. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah