Literasi Minangkabau Memudar, Identitas Budaya Terancam Punah
Melemahnya literasi Minangkabau menyebabkan hilangnya pemahaman terhadap adat, budaya, dan sejarah yang menjadi identitas masyarakatnya.

Oleh Rizal Tanjung
“Bangsa yang rendah literasinya akan rendah juga peradabannya.”
Kutipan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa literasi memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga peradaban dan identitas suatu bangsa. Dalam konteks Minangkabau, literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pemahaman mendalam terhadap adat, budaya, dan sejarah yang menjadi ciri khas masyarakatnya.
Sayangnya, di era modern ini, literasi Minangkabau semakin memudar. Seiring dengan melemahnya minat membaca dan menulis dalam bahasa Minang, nilai-nilai adat dan istiadat yang menjadi identitas kuat masyarakat Minangkabau pun ikut tergerus.
Namun, melemahnya literasi Minangkabau tidak hanya disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat atau pengaruh globalisasi. Peran dinas-dinas terkait, seperti Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, serta perpustakaan daerah, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengembangkan literasi Minangkabau. Sayangnya, lemahnya kebijakan, kurangnya perhatian, serta minimnya program yang berorientasi pada penguatan literasi berbasis budaya lokal membuat kondisi ini semakin memburuk.
Apakah ini pertanda bahwa Minangkabau sedang menuju kehilangan identitasnya? Apa yang menyebabkan literasi Minangkabau menurun? Dan yang lebih penting, bagaimana cara menghidupkannya kembali sebelum semuanya benar-benar hilang?
Literasi dalam Budaya Minangkabau: Fondasi Adat dan Identitas
Minangkabau memiliki kekayaan literasi yang luar biasa, terutama dalam bentuk sastra lisan dan tulisan. Sejak dulu, masyarakat Minangkabau dikenal dengan budaya membaca dan menulis yang kuat. Banyak tokoh intelektual dan sastrawan besar lahir dari rahim budaya Minang, seperti Abdul Muis, Hamka, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, dan AA Navis. Mereka bukan hanya menulis karya sastra, tetapi juga menuangkan pemikiran kritis tentang kehidupan, adat, dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Dalam adat Minangkabau, literasi memiliki peran yang sangat penting. Pepatah adat seperti “Alam takambang jadi guru” mencerminkan bagaimana orang Minang belajar dari kehidupan sekitar, menggali ilmu dari alam dan peristiwa yang terjadi. Selain itu, pantun, pepatah petitih, dan tambo Minangkabau menjadi bagian dari literasi yang diwariskan turun-temurun sebagai cara untuk menyampaikan nilai-nilai adat.
Namun, kondisi saat ini jauh berbeda. Sastra Minangkabau mulai ditinggalkan, generasi muda semakin asing dengan karya-karya tokoh Minang, dan bahkan bahasa Minang sendiri mulai jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Jika literasi Minangkabau terus melemah, maka lambat laun identitas adat dan budaya Minangkabau pun akan ikut menghilang.
Melemahnya Peran Dinas-Dinas Terkait dalam Pengelolaan Literasi Minangkabau
Seharusnya, lembaga-lembaga pemerintah seperti Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, serta perpustakaan daerah memiliki peran strategis dalam menjaga, mengembangkan, dan memperkuat literasi Minangkabau. Namun, dalam kenyataannya, beberapa kelemahan berikut justru mempercepat proses kemunduran literasi di Minangkabau:
Kurangnya Program Literasi Berbasis Budaya oleh Dinas Kebudayaan
Dinas Kebudayaan seharusnya menjadi pelindung utama warisan literasi Minangkabau, termasuk sastra lisan, tambo, dan pepatah adat. Namun, program-program yang berbasis budaya Minang masih sangat minim.
Misalnya, program festival sastra Minangkabau jarang dilakukan, dan jika pun ada, cakupannya sangat terbatas. Banyak naskah sastra klasik Minang yang tidak didigitalisasi atau dipublikasikan kembali. Jika pemerintah daerah dan Dinas Kebudayaan tidak mengambil peran aktif dalam revitalisasi literasi ini, maka warisan budaya Minangkabau akan semakin terpinggirkan.
Lemahnya Kurikulum Literasi Adat di Sekolah oleh Dinas Pendidikan
Dinas Pendidikan memiliki kewenangan dalam merancang kurikulum yang dapat memperkuat literasi Minangkabau. Sayangnya, pelajaran adat Minangkabau yang dulunya menjadi bagian penting dalam pendidikan kini semakin tersingkir.
Banyak sekolah di Sumatera Barat lebih fokus pada kurikulum nasional, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk pelajaran berbasis budaya Minang. Akibatnya, anak-anak tidak lagi mengenal filsafat adat Minang, seperti konsep “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Mereka juga tidak memahami makna dari mamangan (peribahasa) Minangkabau yang sejatinya mengandung banyak pelajaran hidup.
Minimnya Peran Perpustakaan Daerah dalam Mempromosikan Sastra Minangkabau
Perpustakaan daerah seharusnya menjadi pusat literasi dan edukasi budaya Minang, tetapi peran ini masih sangat lemah.
Banyak perpustakaan daerah yang koleksi bukunya tidak diperbarui, terutama buku-buku sastra Minangkabau. Padahal, jika buku-buku seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli atau Robohnya Surau Kami karya AA Navis tersedia dan dipromosikan dengan baik, maka minat baca masyarakat terhadap sastra Minangkabau bisa kembali tumbuh.
Selain itu, program membaca dan diskusi buku berbasis budaya lokal sangat jarang dilakukan. Jika perpustakaan tidak proaktif dalam mempromosikan literasi Minangkabau, maka generasi muda akan semakin kehilangan akses terhadap karya sastra daerahnya sendiri.
Langkah Konkret untuk Meningkatkan Literasi Minangkabau
Untuk menghindari hilangnya literasi dan identitas adat Minangkabau, dinas-dinas terkait harus bekerja sama dalam menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis dalam konteks Minangkabau. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
- Dinas Kebudayaan harus aktif dalam mendigitalisasi naskah sastra Minangkabau, mengadakan festival sastra Minang, dan mendorong publikasi ulang buku-buku klasik Minangkabau.
- Dinas Pendidikan harus kembali memasukkan pelajaran adat dan sastra Minangkabau dalam kurikulum sekolah, serta mendorong lomba menulis dan membaca dalam bahasa Minang.
- Perpustakaan daerah harus meningkatkan koleksi buku-buku Minangkabau, mengadakan diskusi sastra Minang, serta memanfaatkan teknologi untuk menyediakan akses digital ke buku-buku klasik Minang.
- Memanfaatkan media digital untuk menyebarkan literasi Minangkabau melalui konten-konten edukatif di YouTube, podcast, dan media sosial.
- Mendorong penggunaan bahasa Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, sekolah, maupun ruang publik lainnya.
Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga memahami dan menjaga warisan budaya. Jika literasi Minangkabau terus menurun akibat kurangnya perhatian dari dinas-dinas terkait, maka identitas adat Minangkabau pun akan ikut menghilang.
Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, dan perpustakaan daerah harus segera mengambil langkah nyata untuk menghidupkan kembali literasi Minangkabau. Tanpa dukungan dari pemerintah dan masyarakat, Minangkabau hanya akan menjadi nama tanpa makna, tanpa akar, dan tanpa identitas.
Mari kita mulai dari sekarang: membaca lebih banyak, memahami lebih dalam, dan menyebarkan semangat literasi Minangkabau agar warisan budaya kita tetap hidup. []
Rizal Tanjung, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Rizal Tanjung
Editor: Muhammad Subhan