Oleh Fitriani
Dua minggu lalu….
“SERAAANG!”
Sekumpulan pemuda secara tiba-tiba menyerang markas kami, Warung Kopi Om Teng. Suasana seketika menjadi gaduh. Suara histeris pengunjung lain terdengar di mana-mana. Raut panik Om Teng tak perlu ditanyakan lagi. Pria paruh baya itu telah berlari meninggalkan warungnya sejak serangan itu datang.
“Mau apa lagi kau, Nando?” tanyaku lantang. Dia berusaha bangkit berdiri dan membersihkan darah yang keluar dari hidungnya. Enam dari sembilan temanku mengalami hal yang sama. Penyebab kejadian ini hanyalah kalah turnamen futsal antarkampus.
“Kau bodoh atau hanya berpura-pura bodoh, Lintang? Kalau saja teman-teman pengecutmu itu tidak berbuat curang, sudah pasti kampus kami yang menang!”
“Hei, Nando! Letak curangnya di mana? Kalau kalah, ya kalah aja!” tantangku. “Dengan sengaja menyandung kaki dan menyenggol badan pemain kami hingga jatuh, apa itu bukan kecurangan, hah?!”
“Nando, Nando. Kampus kalian itu memang sudah ditakdirkan untuk selalu kalah melawan kami. Jadi, ya, terima aja kalau ternyata kualitas kalian memang di bawah kami.”
“Dasar kurang ajar!” Satu pukulan menghantam wajahku. Pertempuran itu berlangsung kembali. Kali ini lebih sengit dari sebelumnya. Jiwa yang penuh emosi saling menghajar tanpa ampun. Tidak ada jeda untuk menolong teman yang lain. Semua fokus menghajar lawannya. Jatuh, bangkit lagi. Lawan jatuh, hajar lagi. Seluruh barang di warung ini porak-poranda.
*
Kepulan asap rokok memenuhi ruangan 3 x 3 meter ini. Letaknya tepat berada di belakang gedung kampus bagian kiri. Dulunya, ruangan ini dijadikan tempat penyimpanan genset. Namun, sejak dua tahun lalu ruangan ini sudah tidak difungsikan sebagaimana biasanya. Ruangan inilah yang menjadi markas terbaru kami, meskipun kotor dan pengap. Sembilan temanku saling mengajukan strategi penyerangan. Sejak tadi aku hanya diam mendengarkan mereka. Aku masih asyik menikmati kepulan asap rokok yang kubuat.
“Hei, Lintang, bagaimana menurutmu? Dari tadi kau hanya diam,” ujar Kino. “Menurutku, strategi seperti itu sudah biasa.”
“Jadi harusnya yang bagaimana?”
“Coba kalian perhatikan setiap jam istirahat siang, hampir sebagian besar dari mereka pasti melewati pertigaan jalan Warung Kopi Om Teng. Tiga dari kita mulai serangan dari sebelah kiri, tiga dari kanan, dan sisanya ikut aku menyerang dari belakang. Kali ini mereka harus benar-benar kapok!” jelasku. Apa pun risiko yang akan kami peroleh, itu urusan nanti.
Kali ini penyerangan itu benar-benar memuaskan. Sepuluh orang target kami babak belur. Empat di antaranya sudah tidak sadarkan diri, sedangkan sisanya masih bisa memberikan perlawanan. Orang-orang yang melintasi jalan ini memilih lari menyelamatkan diri. Tiba-tiba terdengar suara sirene mobil polisi dari kejauhan. Kami kabur mencari tempat persembunyian. Secara tiba-tiba tubuhku ditarik oleh seseorang dengan paksa. Dengan sigap ia langsung menutup pintu dan jendela.
Di sinilah aku sekarang, di ruangan bercat putih dengan aneka pajangan model rambut dewasa. Ukurannya sekitar 4 x 4 meter. Terdapat tiga buah kursi yang dilengkapi cermin di hadapannya dan satu jam dinding.
“Namaku Kith. Kau lagi berada di tempat pangkas rambut milikku.” Pria berkulit putih dengan tinggi sekitar 180 cm itu memperkenalkan dirinya. Usianya mungkin sekitar 45 tahun. Sejak kapan ada tempat pangkas rambut di daerah sini? Terlebih lagi, tukang pangkasnya ternyata orang asing yang fasih berbahasa Indonesia.
“Kau nampak seperti orang yang tak terurus, Anak Muda. Sini kupangkas rambutmu agar terlihat lebih rapi.” Aku yang sejak tadi hanya diam, turut mengiyakan perintahnya.
“Hei, kau sejak tadi hanya diam. Apa kau sariawan? Siapa namamu?” tanyanya sambil memangkas rambutku.
“Lintang,” jawabku singkat.
“Okelah. Singkat, padat, dan jelas, Lintang.”
“Hmm, Mister,” ucapku lirih. Dia tertawa.
“Kau orang keseribu yang memanggilku “Mister”, tapi tak masalah,” ucapnya, masih tertawa.
“Sejak kapan Mister ada di negeri ini?” Akhirnya aku memberanikan diri menanyakan hal yang sejak tadi menggantung di otakku. Dia terdiam sejenak.
“Maaf untuk itu aku tidak bisa menceritakannya.”
Oke, baiklah. Mungkin ada hal yang sifatnya privasi sehingga ia enggan untuk menceritakannya.
“Kenapa di kepalamu ada bekas jahitan?” Ia nampak kaget. Aku pun menceritakan kejadian dua minggu lalu dan pembalasan hari ini.
“Anak muda, apa sebenarnya yang kau cari dengan berkelahi? Apa dengan berkelahi kau akan diakui hebat dan semua orang takut padamu? Hei, bukalah matamu. Masa mudamu sangat singkat jika hanya untuk berkelahi. Masih banyak anak-anak di negeri ini yang butuh ilmu pendidikan dari anak-anak muda seperti kalian. Lagu “Bebilin” apa kau tahu?”
Aku menggeleng.
“Oh Tuhan, bagaimana bisa kau tidak tahu? Itu lagu daerah asal provinsimu sendiri. Lagu ini bermakna tentang nasihat untuk saling menjaga persatuan dan menjauhi segala hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan. Kalau besok tanggal berapa? Kau tahu? Sungguh terlalu kalau kau lupa.”
Aku berusaha mengingat tanggal.
“17 Agustus,” jawabku.
“Oke kali ini kau tahu. Tapi, sikapmu sama sekali tidak mencerminkan pemuda Indonesia yang sesungguhnya. Negeri ini banyak dipenuhi oleh orang-orang berhati hangat. Keindahan alamnya juga tak kalah menakjubkan. Harusnya kau bangga lahir dan besar di negeri ini. Jika kau tidak bisa ikut berperang melawan penjajah dulu, setidaknya kau tidak berbuat kerusakan di negeri ini. Hanya seperti itu sama halnya dengan kau berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan,” jelasnya. Rambutku selesai dipangkas. Kini terlihat lebih rapi dan segar.
“Kali ini kau tidak usah bayar. Segeralah pulang, aku buru-buru. Ada lomba makan kerupuk yang akan kuikuti di dekat rumah. Siapa tahu aku bisa jadi juara bertahan lagi.” Sebelum pergi, aku tak lupa mengucapkan terima kasih.
Aku terus melangkah menyusuri jalan bekas pertempuran tadi. Lalu lintas sudah kembali pulih. Hampir sepanjang jalan itu dipasangkan garis polisi. Ada dua orang polisi dan beberapa wartawan yang sedang melakukan wawancara. Di mana para korban dan teman-temanku? Apa mereka selamat, atau malah berurusan dengan polisi? Entahlah.
Sepanjang jalan aku terus kepikiran dengan percakapan bersama Mister Kith. Dia benar, tidak seharusnya anak muda sepertiku melakukan hal memalukan seperti itu. Dia saja yang bukan asli dari negeri ini, bisa sebangga itu menceritakan negeri ini. Sungguh, aku sangat malu. Sudah menjadi keharusan bagi anak muda sepertiku untuk memberikan kontribusi yang baik karena kelak kamilah yang akan menjadi pemimpin masa depan negeri ini. Semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik itu nyata. Esok akan kujalani hari istimewa itu dengan gaya rambut baru. Hei, bahkan gaya rambut baru ini tidak masuk dalam strategi rencanaku. Jangankan terencana, terpikirkan pun tidak. Kini, aku sudah berada di tempat motorku terparkir. Kunyalakan motor dan bergegas pulang. Siapa tahu ada lomba makan kerupuk di dekat rumah. []
Fitriani. Lahir di Tarakan, 7 Februari 1997. Saat ini berdomisili di Samarinda.
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Fitriani
Editor: Ayu K. Ardi