Oleh Chie Setiawati

Sejak pagi, Embag berharap cuaca cerah dengan langit biru teduh dan angin sepoi berembus. Hari ini memang benar-benar cerah. Seolah langit mengabulkan permohonan doa Embag dan beberapa orang wanita yang diucapkannya berulang kali dalam obrolan.

“Mudah-mudahan langit cerah!” ucap Atun sambil menatap langit.

“Iya … mudah-mudahan gak hujan, biar enak jalannya,” sambung Embag sembari mengunyah sisa pisang goreng, sarapannya pagi ini.

Embag dan para wanita yang berkerumun di halaman depan musala yang belum jadi itu pun tersenyum semringah. Tersebab sekumpulan wanita itu dapat melaksanakan tugasnya tanpa hambatan. Sebuah payung, sebotol air minum, dan beberapa kue sudah disediakan ketua majelis untuk masing-masing orang. Tak ketinggalan map warna-warni pun sudah tersedia untuk dibawa sebagai surat jalan pencarian dana. Selembar surat permohonan bantuan dana pembangunan Musala Nurul Huda yang ditandatangani ketua musala, lurah, dan RT menjadi bekal terpenting bagi para wanita pencari dana.

Malam tadi, Ustaz Hambali menemui Embag di rumahnya. Embag dan suaminya pun sangat kaget, tak biasanya seorang ustaz sudi singgah di gubuk mungilnya. Tersebutlah Ustaz Hambali sebagai seorang sesepuh Kampung Buniayu tempat Embag dan suaminya tinggal.

“Mari masuk, Ustaz. Silakan duduk! Maaf berantakan.” Dengan terburu dan agak kikuk, Embag mempersilakan Ustaz Hambali duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan selembar tikar plastik yang sudah lusuh warnanya. Tanpa ragu, Ustaz Hambali duduk dan mengambil posisi bersila menghadap ke arah suami Embag yang terbaring karena sakit.

“Keadaan Sa’in gimana, Bag?” Tangan Ustaz Hambali menyentuh tubuh Sain bak seorang dokter yang akan memeriksa pasiennya.

“Sudah lumayan membaik, Pak Ustaz!” jawab Embag sambil menyodorkan segelas kopi ke hadapan Ustaz Hambali. Laki-laki hitam berkalung serban itu mengambil gelas yang disodorkan Embag dengan cepat. Seteguk demi seteguk kopi yang masih terlihat panas itu diminumnya.

“Dari musala langsung ke sini,” lanjutnya tanpa ditanya.

“Begini ….” Sesaat ia berhenti. “Maksud kedatangan Ustaz kemari, selain ngejenguk Sa’in, Ustaz juga ada maksud mau minta tolong Embag.” Ditenunnya wajah Embag dalam-dalam, sambil sesekali melihat ke arah Sa’in yang tak dapat bicara karena strok. Embag yang tak biasa dikunjungi Ustaz, mulai ketar-ketir sendiri. Otaknya tak dapat menebak apa yang akan Ustaz katakan.

Lu pan tahu, di kampung kita lagi dibangun musala.” Ustaz Hambali kembali meraih gelas kopinya. Dan Embag mulai gelisah. Bagaimana jika Ustaz Hambali meminta dana kepadanya, sementara suaminya sedang sakit, dan Embag hanya kuli serabutan. Tukang cuci, kadang membantu masak di hajatan orang, kadang membantu tetangganya beres-beres rumah dengan bayaran ala kadarnya. Embag, walau miskin, tidak pernah mematok harga untuk upah tenaganya. Baginya, ada orang yang masih mau menyuruhnya bekerja pun sudah lebih dari cukup. Embag akan senang sekali jika dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan memuaskan orang yang menyuruhnya. Sa’in, suami Embag, sudah hampir setahun tak dapat melakukan apa-apa karena strok yang dideritanya. Beruntung mereka belum mempunyai anak.

Lu jangan takut diminta dana, kagak! Ustaz paham dah!” seloroh Ustaz seakan tahu apa yang sedang dipikirkannya membuat Embag sedikit agak lega juga.

“Besok lu nyuci, kagak?” tanya laki-laki bertubuh tambun itu lagi. Segera Embag menggeleng dengan wajah yang terlihat lebih cerah.

Gimana kalau besok lu ikut si Atun nyari dana ke kota?!” Mendengar permintaan Ustaz Hambali, wajah Embag berubah gelisah. Diliriknya Sa’in yang terbaring. Meski Sa’in tak dapat bicara dengan jelas, rona wajahnya seakan mengizinkan Embag untuk pergi membantu Ustaz Hambali mengumpulkan dana guna lancarnya pembangunan musala di kampungnya.

“Sambil nyari amal ongkoh. Gede pahalanye! Kagak usah mikirin pagemane laki lu. Entar Ustaz jagain makan minumnya dah. Emaknya bocah ge pan kagak ada gawe, ya. Sehari doang. Temannya si Atun pada pelesiran ke Gembong, jadi kagak ada yang bantuin liar¹,” lanjut Ustaz Hambali dengan logat Betawi Bekasinya yang kental. Embag berpikir sejenak sebelum mengangguk.

“Sehari doangan, ya, Ustaz!” Mendengar kesanggupan Embag, wajah Ustaz Hambali terlihat lega.

Uyuhan mbangun musala kagak ada dana bantuan dari pemerintah. Lah, kalo bukan warga yang bantuin nyari dananye, siapa lagi, yak? Kita juga pan pengen punya musala kayak di kampung sebelah. Ya udah, kalo Embag sanggup mah, besok mulainya, yak. Ini udah malam ongkoh, Ustaz balik dulu. Besok pagi-pagi lu ke musala ambil map surat jalannya!” Setelah semiceramah panjang lebar, Ustaz Hambali pun pamit.

*

Untuk pertama kalinya, Embag membantu mencari dana. Warga menyebutnya dengan sebutan liar. Rasa malu pun tak urung dirasakan juga oleh Embag. Wanita gempal berkulit sawo matang itu pun minta ditemani Atun sepanjang jalan. Atun pun tak ingin melepaskan Embag jalan seorang diri. Akhirnya, Embag berani juga mengetuk pintu rumah warga, atau menyodorkan map kepada setiap orang yang dijumpainya.

Sebenarnya, Embag sempat berpikir, kenapa harus jauh-jauh mencari dana ke Jakarta, bukankah di jalan desa pun bisa? Atau di jalan raya yang dekat ke daerahnya. Belum sempat Embag bertanya kepada Atun yang lebih senior, tiba-tiba Yanti berjalan ke lain arah.

“Jalan ramerame kayak ngiring penganten gini mana dapet duit banyak. Besok saya kudu bayar motor!” gerutu Yanti sambil memisahkan diri dari Atun dan Embag. Ucapan Yanti membuat Embag terperangah.

Ya elah, si Yanti gede adat. Namanya juga orang baru, ya, kudu ditemenin dulu!” jawab Atun setengah berteriak ke arah Yanti yang berjalan cepat dan menjauh.

Ada yang berdesir di balik dada Embag. Darahnya terasa panas menjalar ke wajah. Tiba-tiba kaki Embag berat untuk dilangkahkan. Mulutnya pun sulit untuk berucap. Meski samar dan kurang paham apa yang dimaksudkan Yanti dan Atun, Embag sudah dapat menafsirkan sendiri arah pembicaraannya. Tiba-tiba Embag disergap rasa sesal. Mengapa ia harus menyanggupi permintaan Ustaz Hambali.

“Ayo jalan, Bag!” Tangan Atun menarik Embag dengan paksa dan sedikit kasar. Embag yang setengah melamun pun terkejut.

“Ayo, belajar sendiri. Jangan malu-malu!” Embag makin terkejut ketika Atun menyerahkan map dan meminta Embag mengetuk pintu rumah warga untuk meminta sumbangan.

“Ayoo! Lama-lama juga biasa. Daripada kuli nyuci duit-nya sedikit, mendingan juga ikut liar!” Dengan kedua lengannya Atun mendorong paksa tubuh Embag. Yang membuat Embag tidak dapat bergerak, bukan saja karena malu, tetapi perkataan Atun yang tak terduga itu. Sontak membuat Embag membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Atun. Ditatapnya wajah Atun dalam-dalam.

“Maksudnya apa, Tun?” tanya Embag memastikan pikirannya tidak keliru atas ucapan Atun.

“Sini!” Atun menarik Embag ke tepi jalan sunyi.

“Kita liar, kan, gak ada yang bayar. Jadi kita cuma setoran ke Ustaz lima puluh ribu sehari. Lebihnya buat kita. Ustaz gak bakalan marah. Dia yang nyuruh. Dana buat bikin musala mah, udah banyak dari donatur juga. Gak butuh recehan,” bisik Atun, tak urung membuat Embag terkejut setengah mati. Bagai disambar petir di siang hari, wajah Embag makin memerah menahan amarah.

“Ini, kan, buat musala, rumah Allah. Mana boleh kita ambil seenaknya. Itu namanya mencuri. Gak ikhlas! Saya gak bisa nerusin,” ucap Embag setengah berteriak.

Atun menatap Embag dengan wajah keheranan, sementara Embag menatap Atun dengan geram.

“Lebih baik jadi kuli cuci, asal halal, daripada ngambil uang yang bukan hak kita!” Dengan kasar, diserahkan kembali map berwarna biru kepada Atun.

“Semoga kamu dijauhkan dari azab, Tun!” Embag pun berlalu dari hadapan Atun dengan cepat. Pikirannya kalut antara percaya dan tidak. Mungkin selama ini Embag naif dengan pemikirannya, tetapi Embag merasa lebih nyaman. []

*

Keterangan:

¹Liar adalah aktivitas mencari sumbangan dengan berbekal surat jalan dari masjid.

Chie Setiawati. Hobi menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Tergabung dengan komunitas Penyair Perempuan Indonesia (PPI). Pendiri Mom Kreatif Menulis. Telah mengikuti ratusan antologi, baik dari dalam maupun luar negeri. Karyanya telah dimuat di beberapa surat kabar online dan cetak. Masuk dalam antologi Rainy Day Banjarbaru (2018). Alumnus Munsi (2018), Pertemuan Sastrawan Nusantara (2022), dan Jambore Sastra Asia Tenggara (2024).

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Chie Setiawati

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan