Lelaki yang Meracaukan Bunga

Lelaki itu terdiam. Ceracaunya terpenggal dingin. Matanya berputar mengamati bunga-bunga yang daunnya mulai mengatup.

Oleh Ahmad Zaini

HUJAN belum reda sempurna. Jemarinya terlalu sayang untuk berhenti membelai bumi meski senja telah membayang. Butiran bening masih tersisa di telapak dedaun kemboja. Warna merah mudanya agak pudar karena masih diselimuti air. Batangnnya menggigil lugu. Embusan angin perlahan-lahan menggoda setiap insan meraih jaket tebal atau sekadar sarung penutup tubuh mencari kehangatan. Sepoinya semakin syahdu mengajak alam bertafakur pada keindahan ciptaan-Nya.

Ketika waktu memasuki gerbang malam, seorang lelaki datang tanpa kutahu dari mana ia muncul. Ia menyenandungkan syair tentang keindahan alam desaku. Tentang bunga-bunga yang masih kuyup. Tentang kedamaian air telaga yang masih menampakan butiran gerimis di wajahnya. Lelaki itu terus memuji panorama indah yang menurutnya belum pernah dijumpai dalam hidupnya.

”Kau tiba-tiba berada di sini. Dari mana kau datang?”

”Aku lahir dari kuncup bungamu yang ayu. Dari aroma wangi yang mengharumkan kehidupan desamu,” lantunnya dengan ceria.

Aku terkesima dengan racau pengakuan asal-asulnya. Dia menghidupkan lingkungan desaku yang selama ini kuanggap hanyalah benda mati. Dia menggerakkan tangkai bunga sebagai tangan gadis gemulai dalam sebuah tari. Dia memekarkan bunga laksana senyum bidadari penghuni alam surgawi.

”Apa perlumu mengurai keindahan bunga-bunga itu dalam celotehmu? Sedangkan aku yang sudah bertahun-tahun hidup di sini, sedikit pun tak pernah tertarik pada keindahannya.”

”Hahaha. Janganlah kau mengubur diri dalam rimbunan daun-daun bonsai. Kau sebenarnya bisa tumbuh besar, merindangkan daun-daunmu, serta memekarkan bunga-bungamu. Janganlah kau bersembunyi di keruwetan akar yang tertanam dalam tanah suburmu. Biarlah tumbuh dan berkembang sepadan usianya. Jangan kau pangkasi hanya demi menutupi usia yang puluhan tahun telah mengantarmu melihat dunia,” sergahnya sambil menganalogikan aku dengan tanaman bonsai.

Aku terpaku. Dalam pusaran udara yang semakin dingin, lelaki itu tiada henti meracau tentang keindahan bunga-bunga yang mengelilingi desaku. Sulur-sulur jingga yang menghias cakrawala tak luput dalam rangkaian kalimat indahnya.

Sanjungan indah lewat sajak benar-benar lahir dari kebasahkuyupan senja. Kata demi kata menempel sempurna pada dinding waktu yang telah memisahkan antara siang dan malam. Diksi yang sarat potensi alam desaku sewaktu-waktu bisa melambungkan mimpi. Dan mimpi itulah yang akan melahirkan sajak-sajak sebagaimana ia telah bersyair di awal malam ini.

”Sungguh tiada kusangka aku bisa hadir dalam jamuan senja ini,” sanjung lelaki itu.

”Sejak zaman nenek moyang, desa ini memang tumbuh kembang di setiap rekah buminya. Kembang itu penuh sesak memenuhi ruang. Penduduknya sulit bergerak. Sampai-sampai mereka kesulitan mengeksplorasi aroma wangi dan keindahan mahkota bunganya.”

”Dangkal sekali mereka.”

”Apa kaubilang? Dangkal?”

”Iya. Dangkal. Mereka tidak mau menggali potensi yang sebenarnya bisa menyejahterakan hidupnya. Bila mau, hidup mereka akan penuh dengan senyum. Hidup mereka akan penuh keindahan dan kebahagiaan.”

”Kau berkata seperti itu karena kau belum pernah hidup di sini. Kau belum pernah merasakan kepedihan lantaran duri-duri bunga yang runcing. Kau belum pernah gatal karena bulu-bulu ulat yang bersarang dalam keindahan bunga. Kau hanya menikmatinya dari warna dan aromanya,” aku memangkas perkataan lelaki yang mulai menyerang kedangkalan warga sini. Aku bangkit lalu berjalan ke ruang belakang membuatkan kopi penyela kepenatan.

Lelaki itu terdiam. Ceracaunya terpenggal dingin. Matanya berputar mengamati bunga-bunga yang daunnya mulai mengatup. Lembar demi lembar daun perlahan menyelimuti tangkainya yang tak kuasa menahan gigil dari udara bercampur gerimis yang tak kunjung reda.

”Silakan minum kopi hangat ini,” kataku sambil mepersilakannya menikmati kopi penghangat ini.

”Iya. Terima kasih!” ucapnya.

Bibir yang sedari tadi meracau itu menyeruput kopi hangat yang dituangkan pada lepek. Kepul asapnya bersarang dalam lubang hidung penuh bulu. Rambut panjang penyair itu berkelebat oleh terpaan angin malam. Pucuk rambutnya menampari wajah yang semenjak senja telah terlukisi aneka bunga.

Dari kejauhan terdengar gemuruh angin semakin kencang. Suaranya laksana raung mesin pabrik penggilas tenaga-tenaga pribumi. Suara angin itu semakin dekat hingga membuyarkan mimpi-mimpi lelaki itu tentang bunga dan selepek kopi.

”Bawa kopimu. Kita masuk ke rumah,” ajakku pada lelaki yang rambutnya sudah semrawut ini.

”Tidak. Aku tidak mau masuk. Aku akan tetap di teras ini bersama bunga-bungamu yang sudi berkencan denganku.”

”Tapi angin malam kali ini sangat membahayakanmu.”

”Aku tidak peduli. Di depan itu masih banyak bunga yang akan menyelamatkan aku. Bunga itu indukku. Aku lahir dari mekarnya. Tak mungkin bunga itu membiarkanku dihempas angin,” tolaknya dengan wajah yang menunduk khusuk ke bayang-bayang wajahnya dalam tuangan kopi murni itu.

”Cepat masuk! Badai itu semakin dekat. Pusarannya akan melumat mimpi-mimpimu. Melumat bunga yang melahirkan sajak-sajakmu.”

”Hahaha. Penyair tidak takut pada angin. Aku akan tetap tegar demi mendapat ide segar.”

”Apa maksudmu?” tanyaku yang semakin tak mengerti.

”Akan lahir karya-karya baru dari kematianku andai lantaran angin aku harus mati.”

”Edan! Mana mungkin orang mati masih bisa berkarya?”

”Dari kematian akan lahir pengalaman di alam baru. Aku bisa menciptakan puisi tentang kenikmatan kubur. Aku bisa membuat puisi tentang kepedihan siksa kubur. Jamuan mewah karena nikmat Tuhan serta serpihan tulang karena siksa-Nya akan melahirkan karya-karya baru yang muncul dari dalam kubur.”

”Cepat masuk!” tanganku menggelandang tubuh kerempengnya ke dalam rumah. Tubuhnya kuhempaskan hingga meringkuk di sudur ruang. Namun, lelaki itu segera bangkit. Ia berlari keluar rumah sambil menantang pusaran angin yang berhenti menanti lawan dan mencerabuti tetanaman bunga di depan rumahku.

”Ayo, teruslah maju! Aku tak akan takut! Peluklah aku dalam pusaranmu. Bawalah aku masuk dalam rongga kelopak bunga yang menganga,” suara lantang lelaki itu menantang pusaran angin yang tegak berdiri di remang malam.

Keganasan angin itu tak mereda. Semakin lama angin itu semakin mengganas. Pusarannya tak menggoyahkan keberanian lelaki yang tegap berdiri menantangnya.

”Awas!” teriakku pada lelaki saat kulihat samar tangan angin hendak menyambarnya. Akan tetapi, lelaki itu bergeming. Ia ikhlas menyerahkan tubuhnya direngkuh angin. Dia diam tak menghindar. Ia membiarkan tubunya menyatu dalam pusaran angin. Tubuhnya berputar kencang seperti baling-baling petani di samping dangau sawah. Tubuh lelaki itu sekarang tak jelas lekuk-lekuknya. Sulit membedakan jenis anggota tubuhnya. Mana tangan dan mana kakinya tidak jelas. Organ tubuhnya telah menyatu seperti botol.

Aku memperhatikan dengan saksama peristiwa di keremangan malam ini. Aku melihat ujung pusaran angin yang seperti tangan raksasa itu meremas-remas tubuh lelaki itu. Tubuh itu semakin lama semakin mengecil. Lalu jemari angin tersebut seperti menyusupkan tubuh lelaki itu ke dalam mekar bunga yang kelopaknya tak utuh lagi.

Setelah itu suasana menjadi sunyi. Tak ada suara gemuruh angin. Tak ada suara gemerisik gesekan daun dan tangkai bunga-bunga yang terkulai. Yang terdengar hanyalah ratap tangisku atas kepergian lelaki yang sejak senja meracau tentang bunga ini.

*

Matahari telah terjaga. Ia membuka matanya sambil memanjat langit berawan tipis. Sisa-sisa mendung semalam masih tampak menggores wajah planet penerang siang ini. Aku tergeragap bangkit saat ada aroma bunga menusuk hidungku. Sinar tak sempurna matahari dari celah genting atap rumahku menuntun langkah kakiku ke halaman rumah. Aku terkejut. Aku terkesima. Aku melihat ratusan tanaman bunga tumbuh di halaman rumah. Bunga-bunganya bermekaran indah yang menyembulkan aroma wangi tak tertandingi. Semerbak wanginya laksana bau bunga di taman surga yang dikelilingi penghuninya.

Aku yakin bahwa bunga-bunga itu merupakan jelmaan lelaki yang selalu meracau tentang bunga. Bunga-bunga yang segar. Tak layu karena panas. Tak mengatup karena dingin. Bunga itu selalu mekar memberi kebahagiaan dan kedamaian bagi orang-orang yang mau menikmatinya. []

Lamongan, 14 Juni 2024

Ahmad Zaini, lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011), Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), Antologi Puisi bersama 1000 guru se-Asean Guru tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), dan Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018), Serenade Guru Lamongan (PGRI Lamongan, 2018), Tadarus Sang Begawan (Pustaka Ilalang, Juni 2019), GIR, Antologi Puisi Mengenang R. Giryadi (Rumah Budaya Kalimasada, Agustus 2019), Memoar Kampung Halaman (FP2L, 2019), Tadarus Sang Begawan: Membaca Karya, Kiprah, dan Perjalanan Kepenyairan Herry Lamongan (Pustaka Ilalang, 2019), The Name of Mother, Antologi Puisi Hari Ibu (Hilwamedia Publishing Jakarta, 2019), antologi puisi tunggalnya Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020), Abtologi Puisi 114 Penyair Nusantara Seribu Tahun Lagi (Masyarakat Literasi Jember, 2021), Kumpulan Puisi Penyair Nusantara Tembang Puisi bagi Jumari (Buana Grafika Bantul, 2021), dan Kau Lagukan Derai Rindu (Kostela, 2022), Duka Tanah Pusaka: Elegi dan Asa Pulau Rempang (Jendela Puspita Bekasi Utara, 2024), dan Puisi Tiga Baris untuk Joko Pinurbo (Jokpin) Dengan Celana Barunya Ia Pulang (Delima Sidoarjo, 2024). Ia juga menulis beberapa buku kumpulan cerpen dan novel serta menerima sejumlah penghargaan. Aktivitas sehari-hari seabagai guru di SMKN 1 Lamongan. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.

Penulis: Ahmad Zaini

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan