Oleh Helmy Khan
Hampir setiap hari lelaki itu suka berlama-lama di tepi taman. Ia tidak seperti pengunjung lainnya yang melakukan olah raga, bersepeda, atau menenteng sebungkus kacang, lalu dilempar ke arah kerumunan burung merpati.
Tidak, bukan itu yang ia lakukan. Ia hanya duduk di tepi pojok taman sambil menggenggam benang dan selembar kain. Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah tas kecil yang telah lama menemani kesendirian lelaki itu. Tas yang selalu dalam keadaan menganga dan di dalamnya tersimpan karangan bunga mawar berbalut mika dengan beberapa daun kusam dan berdebu.
Sepanjang berada di taman, tatapan matanya selalu kosong. Bersama kedatangannya, lelaki itu tak pernah absen membawa seperangkat alat jahit, walau sesampainya di taman ia tidak pernah menyeret benang itu untuk ditusukkan pada kain yang ada di tangan kirinya. Justru kain dan benang itu ia biarkan terapit jari-jemarinya seakan tak ada sesuatu yang perlu untuk dijahit.
Lelaki itu kelihatan seperti orang dungu. Walau tak banyak yang peduli dengan kehidupannya, nyatanya masih ada satu dua orang yang merasa penasaran terhadap lelaki itu. Terlebih pada benang dan selembar kain serta tas kecil yang selalu menganga dengan bunga mawar menyembul bersandar di tepi bangku. Kendati hati mereka dihinggapi rasa penasaran, tak ada yang berani mengusik apalagi bertanya untuk apa benang dan kain itu selalu dibawa sedangkan bila sampai di taman ia tidak melakukan aktivitas apa-apa.
Justru sebagian dari mereka yang merasa penasaran sering berpura-pura melakukan olahraga di samping atau di belakang lelaki itu. Tak ada maksud lain, mereka hanya ingin tahu, sebenarnya kata apa yang selalu disebut hingga membuat bibirnya selalu bergerak-gerak.
Anehnya, dari beberapa orang yang sempat menguping, hasil yang mereka dapatkan tetap sama saja. Yaitu sebuah nama yang membuat orang-orang mengerutkan dahi ketika mereka menyebutkan nama itu. Sebuah nama yang teramat asing di telinga mereka.
“Aneh. Sepertinya di sini tidak ada orang yang memiliki nama seperti yang disebut lelaki itu,” kata seorang perempuan yang duduk di atas gazebo.
“Iya, di sini tidak ada yang bernama Arabella. Kalau Isabella atau Bela, tetanggaku di seberang jalan,” jawab yang lain dengan nada dibuat sepelan mungkin.
“Apa mungkin nama istri atau anaknya? Atau barangkali….” Seseorang di antara mereka berkata usai menenggak air dari botol. Ia memotong kata-katanya, seraya melirik kepada lelaki di atas bangku.
“Entahlah, intinya nama itu teramat asing dan kita semua jelas baru pertama mendengar nama itu, bukan?” jawab yang lain. Tak lama kemudian mereka bergegas berolahraga kembali.
Meski suara perempuan-perempuan di taman dibuat sepelan mungkin, nyatanya lelaki itu tetap saja bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Terlebih ketika mereka menyebut nama Arabella, pikiran lelaki itu seperti terlempar pada sebuah ingatan tentang seorang perempuan.
Nama itu memang nama perempuan, tapi bukan nama seorang istri atau anak seperti yang dicurigai orang-orang. Karena selama ini ia belum sampai ke ranah dikaruniai keturunan. Ia belum mencapai tangga kebahagian itu. Tepatnya, saat ini ia baru sampai pada sebuah tingkat mencintai seseorang, sebelum akhirnya beranjak menikah lalu beranak-pinak hingga bercucu-cucu.
Perempuan yang selalu disebut lelaki itu jelas bukanlah nama asli wanita yang pernah ia temui di tepi taman bunga. Ia membuat nama itu sebagai nama panggilan selang beberapa hari setelah pertemuan pada suatu malam yang gerimis.
Ia tak menyangka setelah pertemuan itu timbul benih-benih kerinduan. Mula-mula ia menepisnya sebagai rasa yang timbul atas nama cinta. Namun, lama kelamaan ia tak bisa tidur dan sesuatu selalu timbul dalam pikirannya—sedang apa perempuan itu? Apakah dia juga merasakan seperti apa yang mengguncang dadaku? Dan beberapa khayalan lain berseliweran dalam kepalanya.
Meski matanya selalu dalam keadaan kosong, sesekali ia melirik bunga mawar di sampingnya. Bunga yang selalu dibawa itu ia dapatkan ketika tanpa sengaja melintas di sebuah toko dan seorang anak penjual karangan bunga menyodorkan kepadanya. Semula ia tak ingin membeli. Namun, setelah mendengar apa yang diucapkan anak itu hatinya tergerak dan mengambil satu bunga dengan harga sekian rupiah.
“Belilah bunga ini. Siapa tahu besok atau lusa ada perempuan yang disukai dan saat itu Om bisa berikan bunga ini kepadanya.” Anak kecil itu menyodorkan satu bunga mawar dengan mata penuh harap.
Namun sayang, kendati ia memiliki bunga dan mulai punya perasaan kepada seorang perempuan, nyatanya bunga itu tidak pernah diberikannya kepada sesiapa. Ia biarkan bunga itu berdiam dalam tasnya.
Malam-malam berikutnya setelah ia memiliki bunga, setiap malamnya makin gulana. Beberapa puisi sempat ia tulis, namun gagal menjadi sebuah kalimat yang mewakili isi hatinya. Malam terasa lebih panjang dari biasanya dan lelaki itu terbawa makin jauh dalam lamunannya.
Pada suatu ketika, ia sempat tergerak untuk menyatakan perasaan yang makin hari makin menjuntai bilik-bilik kerinduannya. Nahasnya, nasib sial mengutuk lelaki itu hingga apa yang hendak ia ucapkan membuat lidahnya terasa kelu.
Jauh sebelum ia menjadi seorang pendiam seperti saat ini, semula ia pernah bertemu kembali dengan sosok perempuan yang telah merampas kemerdekaannya dan menggantinya dengan sebilah rindu di dadanya. Di mata Arabella, ia seperti menemukan sebuah danau dengan keteduhan airnya yang biru.
“Arabel, akulah yang paling sakit setelah pertemuan itu. Kau tahu mengapa?” Sejenak ia memandang mata perempuan itu, berusaha menemukan wajahnya sendiri di lapisan kornea Arabella yang bening.
“Kamu bisa saja tidak percaya bahwa sepanjang malam aku selalu kewalahan meredam rindu. Rindu yang terus berontak minta diantar pulang.” Setelah beberapa saat mengatur laju napasnya, lelaki itu akhirnya membuka lembar pertama apa yang selama ini mengendap dalam kepalanya.
“Apa ada yang istimewa dari sebuah rindu?” tanya perempuan itu menyelidik.
“Ada. Barangkali nanti kau sadar bahwa rindu adalah kembang pertemuan yang menarik seseorang untuk memetiknya dan memilikinya dengan sebuah….” Kata-katanya terpotong. Lelaki itu kehilangan kosakata ketika tanpa sengaja melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Arabella.
Seberkas kata yang telah ia latih berhari-hari tak bisa diucapkan. Napasnya naik turun dan keringat dingin membintik di wajahnya. Ia beranggapan bahwa dirinya tidak pantas mengatakan cinta kepada siapa pun, termasuk kepada Arabella. Perempuan yang telah mencerabut akar kepalanya. Hatinya telah membatu dan sebuah kalimat “lebih baik diam mengagumi, daripada mengungkapkan lalu tersakiti” mengutuk lelaki itu terperangkap dalam perasaannya sendiri.
Senja di taman berselimut mendung. Angin menyibak tirai hujan yang terus bercucuran. Ia biarkan rintik hujan mencipta lagu kenangan pada sebuah pertemuan. Sambil membenarkan posisi duduknya, tatapannya tak pernah berpaling pada kain dan benang di kedua tangannya.
Di bawah rintik hujan, tiba-tiba tangannya tergerak menusuk-nusukkan jarum pada kain di tangan kirinya. Saat itu hatinya tergerak melakukan aktivitas layaknya seorang penjahit. Beberapa tusukan jarum sempat mengenai telunjuknya. Namun, ia tak menyudahi, justru jarum itu bergerak makin liar mengikuti bercak merah dari darahnya yang membekas di atas kain.
Barulah lelaki itu pergi ketika malam sempurna melipat jingga di balik mendung. Beberapa barang yang ia bawa tak lagi ia masukkan ke dalam tas yang berbandul sebuah hati. Selama meninggalkan tempat itu, ia selalu menatap sekeliling, seperti mencari sesuatu yang teramat berharga.
Ia tidak akan pernah menemukan siapa-siapa. Meski nantinya bertemu dengan seseorang, orang itu tidak akan merasakan kehadirannya. Karena saat ini ia menjadi arwah. Lantaran sebelum menuntaskan jahitan, dengan sengaja ia menusukkan jarum ke arah jantungnya sendiri dan menekannya hingga dalam. Ia berpikir bahwa kenangan pertemuan dengan Arabella haruslah tetap menyatu dan lelaki itu memilih menjahit di dadanya sendiri.
Ia merasa dingin, tubuhnya terasa ringan. Dari kejauhan ia melihat jasadnya digotong di tengah kerumunan. Saat ini ia merasa berada dalam sebuah cermin dan pandangannya terpaku pada selembar kain yang penuh dengan bercak darah tergeletak di tepi taman tempat ia bertemu dengan perempuan itu.
Di pemakaman, Arabella—perempuan yang dicintai lelaki itu—terlihat tak memakai cincin lagi. Jari manisnya ia biarkan lengang lantaran dengan terpaksa ia menjual warisan satu-satunya dari sang ibu untuk biaya pemakaman lelaki yang ia kenal pada suatu malam yang gerimis. Lelaki itu tak menyesali kematiannya, ia merasa telah merdeka lantaran telah mengetahui kebenaran yang terselubung dalam hatinya bahwa Arabella tidak memiliki seorang kekasih.
Sebelum benar-benar pergi, lelaki itu meniupkan selembar daun. Jatuh di pangkuan Arabella. Perempuan itu merasakan kehadirannya.[]
Helmy Khan. Lahir di Sumenep, Madura. Saat ini berkumpul di Komunitas Damar Korong. Suka menulis cerpen dan sedang belajar menulis puisi. Beberapa karyanya telah tayang di media, baik cetak maupun online. Penikmat cerita kolosal China.
Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Helmy Khan
Editor: Ayu K. Ardi











