Lebaran
Lebaran menjadi jembatan untuk mempererat silaturahmi, meleburkan jarak, dan saling memaafkan.

Oleh Muhammad Subhan
RAMADAN sudah di ujung. Idulfitri tiba. Dan, 1 Syawal disambut dengan takbir yang menggema.
Langit seakan bergetar. Hati berdebar.
Perayaan ini selalu dinanti. Sebuah kemenangan bagi yang berpuasa. Yang tidak berpuasa, juga turut merayakan kebahagiaan lebaran.
Lebaran berasal dari kata lebar. Artinya luas, lapang, tidak sempit.
KBBI mencatatnya sebagai hari raya umat Islam setelah sebulan berpuasa. Dalam bahasa Jawa, lebaran berarti selesai. Usai menahan lapar dan dahaga, selesai mengendalikan diri, tiba saatnya kembali ke fitrah.
Sejarah mencatat, istilah lebaran telah digunakan sejak masa kolonial. Para penulis asing menuliskan kata itu untuk menyebut perayaan Idulfitri di Nusantara.
Lebaran bukan sekadar perayaan, tapi juga simbol syukur. Bentuk penghambaan kepada Tuhan setelah melewati ujian Ramadan.
Apa arti Idulfitri? Idul berarti perayaan. Fitri berarti suci, kembali bersih. Setelah sebulan berpuasa, manusia diharapkan kembali pada fitrah. Seperti bayi yang baru lahir, putih tanpa dosa.
Lebaran mengandung makna mendalam. Kemenangan atas diri sendiri. Menahan amarah, mengalahkan ego. Saatnya merayakan kesabaran. Menghargai setiap detik pengorbanan.
Lebaran juga tentang kebersamaan.
Rumah-rumah terbuka. Keluarga berkumpul. Senyum bertebaran. Anak-anak berlarian. Opor ayam dan ketupat tersaji. Hidangan yang lebih dari sekadar makanan.
Ada rindu di dalamnya. Ada cinta yang diracik bersama bumbu.
Bagi perantau, lebaran adalah pulang. Jalanan macet, stasiun dan terminal penuh. Tapi hati mereka lapang.
Mudik bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan batin. Menemukan kembali asal. Mencium tangan orang tua. Melebur dalam pelukan saudara.
Lebaran adalah jembatan. Jarak yang lama memisahkan kini terjembatani. Saudara yang lama tak bersua kembali bersapa. Kawan yang sempat renggang kini kembali erat.
Maaf-maafan menjadi ritual wajib. Ego luruh. Kesalahan dihapus.
Lebaran juga tentang memberi. Tak hanya uang dalam amplop kecil. Tapi juga senyum, perhatian, dan kehangatan.
Kebahagiaan tak hanya diukur dari apa yang diterima, tapi juga dari apa yang diberi. Tangan yang memberi jauh lebih bahagia dibanding yang menerima.
Namun, lebaran bukan berarti merdeka sebebas-bebasnya. Ia bukan tanda bebas melampiaskan segala keinginan. Bukan alasan untuk berlebihan.
Sebaliknya, lebaran adalah pengingat. Bahwa setelah Ramadan, ujian masih berlanjut. Diri tetap harus dikendalikan. Hati tetap harus dijaga.
Lebaran adalah kisah yang dituturkan berulang kali, tetapi selalu menghadirkan rasa yang baru.
Ada kehangatan dalam pelukan seorang ibu yang lama tak bertemu anaknya. Ada haru dalam genggaman tangan ayah yang kini mulai menua. Ada kebahagiaan dalam tawa anak-anak yang berlarian dengan pakaian baru.
Di setiap pintu yang diketuk, di setiap tangan yang dijabat, ada harapan yang terselip.
Harapan untuk hidup yang lebih baik. Harapan agar dosa-dosa diampuni. Harapan agar silaturahmi tetap terjalin, meski waktu dan jarak sering kali memisahkan.
Waktu terus berjalan. Lebaran datang dan pergi. Namun, esensinya harus tetap melekat. Bukan hanya dalam sehari, tapi dalam setiap langkah hidup kita.
Agar fitrah yang suci tak kembali ternoda. Agar hati tetap luas, seluas makna kata “lebaran” itu sendiri.
Sebab sejatinya, lebaran bukan sekadar perayaan. Ia adalah perjalanan menuju hati yang lebih lapang, lebih bersih, lebih ikhlas menerima dan memberi.
Selamat merayakan Idulfitri, 1 Syawal 1446 Hijriah. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin …. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah