Oleh Christya Dewi Eka
LAGI-LAGI kecelakaan! Lagi-lagi penyakit baru! Eun Bi curiga, itu salah satu akal penguasa mengurangi kepadatan penduduk dengan instan. Orang-orang bekerja keras mengumpulkan uang supaya sehat, cantik, dan panjang umur. Lalu, tubuh itu hancur dilindas kendaraan atau digerogoti virus. Mati dengan fisik tidak sempurna.
Penyebab kematian hanya ada tiga: kecelakaan, penyakit, dan bunuh diri. Eun Bi tidak ingin hidupnya berakhir dengan kecelakaan dan penyakit. Ia ingin cantik sampai akhir hayat.
“Aku lupa membeli selai. Tak ada lagi yang bisa dimakan.”
Dari luar jendela terdengar deru kendaraan. Eun Bi tidak berani melangkah keluar sendirian di malam hari. Ia takut sebuah truk tiba-tiba menggilas kepalanya. Eun Bi mengempaskan pantat ke sofa, mengangkat sebelah kaki ke atas meja, lalu menggigit kuku.
Kulkas hampir kosong. Hanya air mineral, dua kaleng minuman elektrolit, dan beberapa lembar roti tawar pemberian Yeong Sil. Sewaktu di panti, ia terbiasa menahan lapar. Petugas dapur ramah, tetapi kurang cakap menyajikan makanan sejumlah penghuni panti.
Baca juga: “Mantra Semangkuk Teh Hijau” Cerpen S. Prasetyo Utomo
Pukul 20.20. Seharusnya Yeong Sil sudah datang. Tidak ada suara mobil di antara teriakan suara anak-anak tetangga sebelah yang memperebutkan ponsel. Eun Bi memandangi kukunya. Cat mengilap dan motif baru. Siang tadi terapis kuku menyarankan menggunting kutikula kuku.
“Terlihat lebih panjang dan ramping tanpa kutikula.”
Biarlah, hanya kutikula kuku. Sejak usia belasan, ia terbiasa membuang sedikit demi sedikit bagian tubuh supaya terlihat istimewa. Alis, bulu-bulu halus, sebelah gigi taring, sepotong kecil tulang rahang, secuil lambung, segumpal lemak. Pada usia lima belas tahun, keperawanannya menguap entah ke mana. Eun Bi tidak pernah memusingkan sesuatu yang hilang. Ia hanya peduli pada hal yang didapat: uang untuk membeli kebahagiaan. Kuku itu terlalu cantik untuk digigiti—seperti kebiasaannya jika panik dan gelisah. Sayang jika catnya terkelupas.
Pukul 20.30. Dari arah parkiran, terdengar suara petugas wastu menggeser beberapa tumpukan kantong sampah. Mungkin supaya benar-benar ke sudut teras agar tidak menghalangi jalan. Kucing mengeong di kejauhan, memilukan, seperti tangisan seorang bayi mencari induknya. Eun Bi menggeser timbangan di bawah sofa. Mengecek berat badan adalah aktivitas kreatif yang terpikir saat itu.
“Lebih berat sekilo dibandingkan minggu lalu. Pasti gara-gara makan hotteok di pesta Dong. Brengsek! Besok dia bakal tertawa kalau tahu aku sekilo lebih gendut.”
Baca juga: “Xiao Ling dan Gemuruh Tiananmen” Cerpen Arie Fajar Rofian
Serentetan cara diet otomatis tergambar di benaknya. Dulu, pertama kali diet, untuk menurunkan satu kilogram saja harus melalui perjuangan panjang. Yang terberat adalah melawan niat mencicipi ini-itu.
Pukul 20.40. Sepasang ayunan bergerak lemah. Entah digerakkan angin. Entah digerakkan setan. Sudah waktunya menutup tirai. Kucing—atau bayi—tadi masih merintih.
Tanpa membersihkan riasan wajah, Eun Bi beranjak tidur. Pintu dan jendela sudah dikunci. Tirai sudah ditarik hingga sudut rel. Kabel charger ponsel sudah dilepas. Beberapa mangkuk dan cangkir tertumpuk di tempat cuci piring. Sebuah majalah fashion terbuka di atas sofa. Beberapa bantal terletak tidak beraturan.
Sebenarnya, Eun Bi mahir mengurus rumah tangga sejak umur delapan tahun. Ketika hidup mandiri, ia justru enggan melakukan hal itu di kamarnya. Ia ingin memanjakan diri. Berada di kamar berantakan, anehnya, membuat Eun Bi lebih bebas seperti burung.
Setelah keluar dari panti pada usia lima belas tahun, Eun Bi bertahan hidup mengerjakan apa pun. Beberapa tahun kemudian berkomitmen serius dengan pria—pasien terapi langganan. Tampan, metroseksual, berduit, laki-laki tulen, dan mirip Sam—penjaganya di masa lalu.
Dengan pasien lain, ia melakukan terapi tanpa hati, tanpa getar asing. Sentuhan fisik belaka. Cukup satu-dua jam memijat, bercakap-cakap, membuat rileks, menyuguhkan teh hijau, lantas saldo rekeningnya bertambah.
Baca juga: “Burung yang Bukan Burung” Cerpen A. Warits Rovi
Dengan Yeong Sil, ia berperilaku dan berpenampilan sempurna. Pujian Yeong Sil melambungkannya menjadi ratu pemilik taman seribu bunga. Demikian pula Sam yang selalu menatap Eun Bi kagum. Mesra meski sedikit kata. Eun Bi terlalu muda untuk menerjemahkan dan Sam terlalu malu untuk menguraikan.
“Bagian mana yang harus kuperbaiki, Sam?”
“Tidak ada,” jawab Sam tegas.
“Mataku, barangkali? Atau daguku? Pinggangku?”
“Kau sudah sempurna di mataku.” Sam menyodorkan sebotol selai aprikot. “Hiruplah ini supaya lebih tenang.”
Beberapa minggu setelahnya, Sam tidak ada di panti. Seperti daun gugur, kepergiannya diabaikan. Tidak ada perbincangan apa pun tentangnya. Tidak ada yang kehilangan Sam. Anak-anak baru berdatangan. Rutinitas sehari-hari dilakukan. Musim berlalu sewajarnya. Eun Bi masih bertahan hidup, meski menahan rindu.
Pukul 21.00. Ketukan pintu! Itu gaya mengetuk khas Yeong Sil. Eun Bi melompat dari kasur. Hampir saja terpeleset keset yang sedikit terlipat ujungnya. Pintu terbuka lebar. Yeong Sil berdiri sempoyongan. Pakaiannya berantakan. Bau bir tercium dari seluruh tubuhnya.
“Aku menunggumu seharian untuk mengantar belanja. Beli selai, salah satunya, juga beberapa kebutuhan rumah.”
“Belanja? Telepon dan minta dikirim sajalah. Praktis!” bentak Yeong Sil.
Refleks, Eun Bi menggigit kuku agak keras. Catnya sedikit terkelupas. Gambarnya sedikit terpotong. Wajahnya sekosong botol selai. Ia tidak paham mengapa Yeong Sil seperti beruang liar.
“Ah, warna kuku baru,” kata Yeong Sil sinis, “kenapa kau mengecatnya dengan merah, sialan?”
Yeong Sil meremas kuku merah bergambar aprikot. Eun Bi berteriak. Dengan kasar Yeong Sil mencabik pakaian Eun Bi hingga terhuyung membentur kulkas.
Baca juga: “Mariam Si Manis Jembatan Ambrol” Cerpen Dody Widianto
“Kau pikir aprikot adalah buah kesukaanku? Lalu itu, kenapa alismu tidak simetris? Kau tidak becus berdandan?”
“Kata dokter, alisku sempurna.”
“DOKTERMU? Yang harus kau dengar adalah KATAKU, Manusia Jelek!”
Yeong Sil keluar membanting pintu. Sebilah pisau seolah menancap di kepala Eun Bi. Ia kaku, tapi tidak menangis. Di panti sudah terbiasa begini: menahan lapar bila kekurangan jatah makan, menahan tangis bila gagal lolos standar penilaian kecantikan, menahan sakit pascabedah plastik. Sejak haid pertama, ia membentuk tubuhnya sesuai kriteria ideal. Menghilangkan yang tak perlu. Menambahkan yang dianggap perlu.
Sedikit sesak. Buru-buru ia membuka botol selai aprikot dan menghirupnya. Memang selai sudah habis, tapi bau aprikot masih menempel dan sedikit melegakan. Teriakan Yeong Sil bergema. Tidak simetris! Jelek! Kurang berapa milimeter supaya cantik? Sam pasti bilang sempurna. Rambut hingga ujung kaki. Lapisan luar hingga bagian dalam. Tertata sempurna.
Eun Bi becermin. Seperti dulu pernah dilakukan: berdiri tanpa sehelai penutup tubuh untuk dinilai.
“Benarkah alisku kurang simetris, Sam?” tanyanya lirih.
Tidak ada jawaban. Tidak tercium harum taman seribu bunga. Aroma aprikot hampir hilang. Hanya terdengar detak jam dan tetes air dari keran yang kurang rapat. Baru disadari, sendiri di malam hari begitu menakutkan dan menyesakkan.
“SAM!”
Kecemasan menjalari punggung Eun Bi. Terus merambat naik hingga wajahnya merah dan panas. Tanpa sadar, kedua tangannya menangkup di bibir. Eun Bi lupa perihal kuku merah yang baru saja dirawat dan dilukis hampir satu jam. Ia menggigiti kuku perlahan-lahan serupa bayi menyusu di dada mama. Kesempurnaan adalah obsesi Eun Bi. Seperti janin dalam rahim, ia meringkuk tanpa bantal. Matanya memejam tapi tidak tidur.
Pukul 24.00. Lonceng jam dari menara kota berdentang. Seolah-olah malaikat berbisik membangunkannya lembut. Eun Bi memandang nakas cokelat di sampingnya. Laci atas berisi daftar nama dokter ahli kulit dan kecantikan referensi dari berbagai sumber. Laci tengah berisi suplemen kesehatan dan diet berbagai merek. Laci bawah berisi dua buah ampul obat tidur dosis tinggi dan sepucuk pistol mungil. Seperti kuku tanpa kutikula, Eun Bi terkulai cantik tanpa pertahanan.
“Laci mana yang kubuka supaya tambah cantik, Sam?”
Dalam hening, Sam membisikkan jawaban yang hanya dipahami Eun Bi. Segera, dibukanya laci itu.
“Obat tidur atau pistol, Sam?”
Bekasi, 23 Januari 2025
Christya Dewi Eka. Lahir di Jakarta, sekarang berdomisili di Bekasi bersama tujuh buah hatinya. Lulusan Fakultas Sastra Indonesia Universitas Diponegoro, Semarang (2003). Beberapa karyanya dimuat dalam puluhan antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas, Suara Merdeka, Radar Pekalongan, dan Ayo Bandung. Karyanya pernah terpilih sebagai 10 cerita humor favorit Writerpreuner Academy (2021), juara 5 lomba cipta puisi Poiesis Publisher (2021), 6 puisi terbaik lomba cipta puisi Negeri Kertas (2022), 15 puisi favorit lomba cipta puisi Perpustakaan Jakarta PDS HB. Jassin (2022), juara 1 lomba Cipta Flash Fiction SIP Publishing (2022), juara 1 lomba cipta cerpen Kesehatan Mental Sekacil (2022), nominasi 10 puisi terbaik lomba cipta puisi 1 Abad Chairil Anwar Teroka Indonesiana (2022), juara favorit 4 lomba cipta puisi grup FB Yayasan Hari Puisi Indonesia (2023), 11 cerpen terbaik Jagat Sastra Milenia Sastramedia.com (2023), dll.
Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Christya Dewi Eka
Editor: Anita Aisyah