Kota Bunga

Padang Panjang layak menyandang gelar "Kota Bunga" karena keindahan alam dan udara sejuk yang mendukung tumbuhnya bunga-bunga.

Oleh Muhammad Subhan

PADANG PANJANG bukan kota besar. Tapi ia menawan. Diapit gunung-gunung: Singgalang, Tandikek, Marapi. Dipeluk udara sejuk dan angin yang ramah. Dibalut kabut pagi yang menari-nari di atas sawah.

Air mengalir dari mata pegunungan, jernih, bening seperti harapan. Masyarakatnya bersahaja. Pasarnya sederhana, tapi jantung ekonomi berdenyut di sana.

Rumah-rumah menggeliat di lereng, menyimpan cerita lama dan cita baru. Kota ini seperti puisi—pelan tapi dalam.

Padang Panjang, layak menyandang nama baru: Kota Bunga—meski tahun-tahun lampau, nama itu pernah diwacanakan.

Tentu, bukan sembarang gelar, bukan julukan tanpa jiwa. Tapi nama yang tumbuh dari akar: akar cinta, akar budaya, akar harapan.

Siapa yang berhak memberi gelar itu?

Bukan orang luar. Bukan pejabat dari ibu kota. Bukan lembaga survei atau para ahli branding. Tapi warga Padang Panjang. Yang menyiram bunga di pekarangan. Yang menanam melati di pot tua. Yang memelihara anggrek di bawah cucuran atap. Dan mereka yang mencintai tanaman.

Di sepanjang jalan kota, bunga-bunga tumbuh. Di Silaing Bawah, hingga ke batas Tanah Datar, deretan tanaman hias mekar seperti lukisan hidup. Setiap daun, setiap kelopak, adalah semangat.

Di halaman rumah, di pot-pot gantung, di pelataran masjid, bunga hadir sebagai lambang rindu akan keindahan.

Padang Panjang bukan hanya kota pendidikan. Ia juga kota estetika. Ada kampus seni di kota ini.

Bunga menjadi bahasa yang tak terucap—tentang kesetiaan pada alam, tentang cinta pada harmoni.

Dulu, Hamka menulis tentang kota ini. Dalam novelnya yang fenomenal, Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, ia mengabadikan kejayaan Padang Panjang di masa lalu. Toko-toko besar. Kain berwarna-warni. Pasar yang ramai dan hidup. Tapi juga kesepian setelah perang. Namun, Padang Panjang tidak menyerah. Ia bangkit kembali—bukan karena dagang, tapi karena ilmu.

Sekolah didirikan. Pelajar datang dari seluruh penjuru. Dan sejak itu, kota ini hidup dari cahaya pengetahuan.

Kini, Padang Panjang bisa bertambah hidup dan tumbuh dari bunga.

Festival Bunga, mengapa tidak? Lomba taman rumah, mengapa tidak? Karnaval bunga di jalan kota, pawai warna-warni.

Masyarakat bisa membuat pot dari tanah liat. Anak-anak muda mendesain suvenir bermotif kembang. Usaha kecil bangkit, ekonomi tumbuh dari tangan-tangan kreatif.

Dan penghargaan MURI bisa diraih. Bayangkan, kota kecil mencetak rekor: Festival Tanaman Hias Terbanyak se-Indonesia. Bunga bukan hanya hiasan. Ia menjadi identitas.

Tahun 2006–2007 saya pernah bertugas sebagai wartawan di Bukittinggi. Kota Jam Gadang itu pernah bermimpi jadi kota bunga. Tapi mimpi itu belum terwujud. Entah suatu hari nanti.

Padang Panjang, punya peluang lebih. Iklim mendukung. Masyarakat mencintai keindahan. Dataran yang subur, udara yang sejuk—semua berpihak.

Memang, ini terdengar seperti utopia. Tapi bukankah dunia berubah karena mimpi?

Mimpi-mimpi kecil yang dipelihara dengan ketekunan. Dengan keyakinan dan kerja bersama. Tidak memulai dari nol. Bibit sudah ditanam. Tinggal disirami, dipupuk, dan dirawat lebih panjang.

Bayangkan suatu hari nanti: saat orang-orang datang ke kota ini, bukan hanya untuk belajar, bukan sekadar berburu kuliner, tapi juga untuk menikmati taman bunga, berfoto di tengah kebun dahlia, menyeruput kopi di kafe yang berhiaskan bougenville.

Padang Panjang akan bertambah harum namanya. Seharum aroma bunga. Secantik namanya, seindah mekarnya.

Sastrawan AA Navis berkata, “Padang Panjang adalah kota yang berbahagia.” Dan, bahagia itu sederhana—kadang hadir dalam sebatang bunga matahari yang tumbuh di pinggir jalan. Kadang dalam senyum anak kecil yang memetik bunga liar dan menghadiahkannya pada ibunya.

Kota ini sudah memiliki nama, sudah dikenal sebagai Serambi Makkah. Kota Pendidikan. Kota Literasi. Dan segala sebutan lainnya.

Kini saatnya menyulam gelar baru: Kota Bunga Padang Panjang.

Agar harum semerbaknya tak hanya di lembah dan lereng, tapi juga di hati setiap orang yang pernah singgah, atau menetap, dan jatuh cinta.

Di belahan dunia lain, banyak kota telah menyandang gelar serupa.

Keukenhof di Lisse, Belanda—taman tulip terbesar dunia. Kawaguchiko di Jepang—tempat bunga sakura bermekaran di kaki Gunung Fuji. Medellín di Kolombia—City of Eternal Spring dengan Festival de las Flores. Chiang Mai di Thailand—penuh parade bunga setiap Februari. Pun begitu, Toowoomba di Australia—menggelar karnaval bunga sejak 1949.

Mereka menanam bukan sekadar bunga. Tapi juga harapan. Identitas. Daya tarik dunia.

Padang Panjang bisa seperti itu. Mewakili Asia Tenggara dengan sentuhan Minangkabau—dulu di kota ini ada miniatur Perkampungan Minangkabau. Perpaduan adat, pendidikan, seni, budaya, dan bunga.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, ketika bunga-bunga itu bermekaran di setiap sudut kota, orang akan berkata, “Inilah Padang Panjang, kota yang tak hanya ditulis dalam buku, tapi juga ditanam dalam hati.” []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan