Oleh Ilhamdi Sulaiman
GEROBAK pengangkut barang bekas yang digunakan sejak merantau ke Jakarta itu kini menjadi lebih dari sekadar alat kerja bagi Pak Simin. Gerobak itu adalah tempatnya berteduh dari panas dan hujan, juga tempat merebahkan badan saat kantuk menyerang. Ia menganggap gerobaknya seperti mobil karavan, hanya saja miliknya tidak semewah milik orang-orang kaya di kota.
Seminggu menjelang Idulfitri, gerobak itu tak lagi ia gunakan untuk mengangkut barang-barang bekas yang ditemukannya di perjalanan. Kini, gerobak itu lebih sering terparkir di trotoar jalan yang ramai dilalui kendaraan setiap hari.
Di trotoar itu, Pak Simin tidak sendiri. Ada ibu-ibu yang menggendong bayi, berjejer bersama beberapa lansia yang duduk menunggu rezeki datang. Mereka semua berharap ada tangan-tangan dermawan yang sudi berbagi.
Tahun ini, Pak Simin mengeluh. Sudah menjelang malam takbiran, tetapi sedekah yang ia terima jauh lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Tahun lalu, ia masih bisa membawa pulang cukup uang untuk membeli sedikit kebutuhan Lebaran. Kini, ia hanya mendapatkan uang sebesar 365 ribu rupiah serta beberapa lembar baju koko dan sarung bekas.
Kemarin, seorang anak muda sempat menghampirinya. Sambil menyodorkan selembar uang, anak itu berkata, “Maaf, Pak, ini sedekah dari saya. Semoga bermanfaat, tapi tidak banyak, ya. Soalnya kami juga kena dampak efisiensi anggaran di departemen kami.”
Pak Simin menerima uang itu tanpa banyak bicara. Ia hanya memandang lembaran bergambar Bapak Ir. Djuanda Kartawidjaja di tangannya.
Malam takbiran telah tiba, namun Pak Simin tetap bertahan di trotoar, berharap ada dermawan yang melintas dan menyisihkan sedikit rezekinya. Sementara itu, sebagian ibu-ibu yang sejak sore tadi menunggu kini sudah kembali pulang, meninggalkan trotoar dengan umpatan yang entah ditujukan kepada siapa.
Kali ini, penantian Pak Simin hingga waktu salat Subuh tiba benar-benar sia-sia. Tak sepeser pun uangnya bertambah di saku celananya.
Orang-orang mulai ramai berdatangan ke masjid pagi itu. Mereka mengenakan pakaian baru, bersih, dan wangi. Suara takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar” berkumandang tanpa henti dari pengeras suara. Hati kecil Pak Simin bergerak. Ia ingin ikut salat Idulfitri kali ini. Namun, ia ragu. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya berdebu. Apa pantas ia berdiri sejajar dengan orang-orang yang beraroma wangi dan berpakaian rapi?
Namun, pikirannya berkata lain. Tuhan tidak menilai pakaian kita ketika menghadap-Nya, tetapi melihat keikhlasan kita dalam melaksanakan perintah-Nya.
Pak Simin membulatkan tekad. Ia mendorong gerobaknya menuju masjid. Sesampai di depan masjid, ia kebingungan. Di mana ia harus meletakkan gerobaknya? Tidak ada tempat tersisa. Parkiran masjid bahkan sudah meluber ke jalan raya, dan orang-orang mulai membentangkan sajadah mereka.
Pak Simin menghela napas. Ia menatap trotoar tempatnya biasa duduk, tempatnya berharap rezeki dari orang-orang yang kini sedang bersiap menunaikan salat Id. Dengan perlahan, ia mengambil koran bekas yang tadi ia kumpulkan dalam gerobak dan membentangkannya di trotoar.
Di atas trotoar yang biasa menjadi tempatnya menunggu sedekah, kali ini ia bersujud. Di antara lalu-lalang orang-orang berjas dan bersarung mahal, Pak Simin menundukkan kepala. Pikirannya tenang. Hatinya lapang.
Karena di mana pun sajadah terbentang, di situlah tempat seorang hamba bersujud kepada-Nya.
Setelah salat usai, para jemaah mulai bersalaman dan berpelukan, namun Pak Simin masih saja terpekur berdoa. Air matanya meleleh di kedua pipinya. Ia menangis kepada Allah karena telah diterima untuk beribadah bersama orang-orang berpakaian koko dan sarung mewah. Kali ini, Pak Simin bukan menangisi nasibnya.
Orang-orang yang hendak kembali setelah melaksanakan salat lewat di depannya dan melemparkan uang, namun ia tak memedulikan mereka. Ia tetap saja menadahkan tangan, terus berdoa kepada Sang Pencipta.
Pak Simin akhirnya selesai berdoa karena petugas kebersihan masjid menyuruhnya berpindah agar tempat bisa dibersihkan. Ia mengangkat koran pengganti sajadah yang ia gunakan tadi. Dari koran tersebut, berserakan lembaran-lembaran uang yang dilemparkan orang-orang yang hendak kembali pulang tadi.
“Alhamdulillah,” ucapnya sambil mengumpulkan uang yang berserakan itu tanpa merasa ria.
Hari ini, Pak Simin merasakan hangatnya pelukan Allah Swt. kepada dirinya. []
Hari Raya ke-3, 1446 H.
Ilhamdi Sulaiman, seniman, prosais, penyair.
Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan