Komunitas Seni Kuflet Hadiri Diskusi Budaya Bersama Majelis Seniman Aceh

Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang menghadiri diskusi budaya bersama Majelis Seniman Aceh di Kantin TB, Taman Budaya di Banda Aceh.

BANDA ACEH, Majalahelipsis.id — Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang memenuhi undangan Majelis Seniman Aceh dalam sebuah diskusi budaya di Kantin TB, Taman Budaya dan Seni Aceh, Rabu (4/6/2025) sore.

Diskusi yang berlangsung hangat itu dihadiri Ketua Majelis Seniman Aceh Chairiyan Ramli, Budayawan Aceh Nabhani As, Pimpinan Kuflet Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., Pembina Kuflet Muhammad Subhan, serta sejumlah seniman Aceh lainnya.

Salah satu topik diskusi adalah tentang pelestarian bahasa dan seni tradisi Aceh di tengah gempuran arus globalisasi, khususnya di kalangan generasi muda pasca-tsunami 2004.

Ketua Majelis Seniman Aceh, Chairiyan Ramli (kanan) dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn. (kiri). (Foto: Riky Chandra | Majalahelipsis.id)

“Banyak anak muda di Aceh kini lebih fasih berbahasa Indonesia, bahkan cenderung menggunakan bahasa gaul campuran. Bahkan, orang lain berbahasa Aceh mereka menjawab menggunakan bahasa Indonesia. Ini mengkhawatirkan,” ujar Nabhani As, Budayawan Aceh.

Di antara faktor merosotnya penggunaan bahasa Aceh, menurut Nabhani, adalah belum seriusnya dukungan kurikulum pendidikan. Di banyak sekolah, bahasa Aceh hanya menjadi muatan lokal tanpa pendekatan pembelajaran yang menarik dan mendalam.

Keterbatasan guru dan bahan ajar juga turut memperparah keadaan. Dominasi media sosial dan konten digital berbahasa Indonesia dan asing juga mempersempit ruang bahasa Aceh.

Namun, harapan belum padam. Sejumlah komunitas seni dan kreator lokal di Aceh turut peduli dengan mulai memproduksi video, podcast, dan karya digital berbahasa Aceh di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Lembaga adat pun mendorong penggunaan bahasa Aceh dalam dakwah dan adat istiadat.

Diskusi budaya Majelis Seniman Aceh dan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang di Kantin TB, Taman Budaya dan Seni Aceh di Banda Aceh, Rabu (5/6/2025). (Foto: Riky Chandra | Majalahelipsis.id)

Diskusi juga menyinggung kemerosotan minat generasi muda terhadap seni tradisi seperti tari Saman, Seudati, Likok Pulo, dan lainnya. Kekayaan budaya ini kerap hanya tampil dalam acara seremonial, tanpa pemahaman terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Sementara, seniman lokal pun masih menghadapi tantangan ekonomi dan kurangnya ruang ekspresi yang layak.

Pimpinan Kuflet, Sulaiman Juned, pada kesempatan itu menekankan pentingnya seni sebagai alat pemulihan sosial. Dalam kunjungan Kuflet ke sebelas kota di Aceh, Kuflet berbagi pengalaman menggunakan teater, puisi, dan menulis kreatif sebagai media penyembuhan.

“Seni sesungguhnya menyembuhkan. Pelatihan menulis puisi dan bermain teater, misalnya, bentuk keberpihakan seniman pada kemanusiaan,” ungkap Sulaiman.

Ketua Majelis Seniman Aceh Chairiyan Ramli mengatakan, Majelis Seniman Aceh memiliki serangkaian program strategis yang menyentuh pelestarian sejarah, budaya, hingga pemberdayaan ekonomi kreatif.

Beberapa program itu di antaranya, Khauri Hikayat yang mengangkat kembali karya-karya besar Hamzah Fansuri dan Hikayat Aceh yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia, melalui seminar, pameran, dan diskusi publik.

Selain itu, perayaan Internasional Laksamana Keumalahayati, memperingati hari lahir tokoh perempuan laksamana laut Aceh secara besar-besaran, termasuk belajar bersama di Museum Aceh dengan menggelar “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri.”

Pada peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh Majelis Seniman Aceh juga terlibat aktif dalam peringatan tragedi kemanusiaan ini melalui karya seni reflektif termasuk memberikan dukungan pada event UMKM Rameune Nagan Raya Expo serta dukungan pada Serinen Festival Art and Culture, perayaan seni dan budaya Aceh dengan partisipasi seniman lintas daerah.

Diskusi yang akrab dan membawa semangat kekeluargaan itu ditutup dengan komitmen bersama tentang pentingnya memasukkan seniman ke ruang-ruang pendidikan, meningkatkan konten digital dalam bahasa dan budaya Aceh, serta menciptakan ruang terbuka untuk ekspresi seni yang sehat dan mendidik.

“Gerakan kolaboratif antara seniman, pendidik, dan masyarakat menjadi harapan utama untuk merawat jati diri Aceh dalam dunia yang terus berubah,” ujar Chairiyan Ramli.

Sementara Sulaiman Juned menambahkan, di masa mendatang Kuflet bersedia membangun program kolaboratif bersama Majelis Seniman Aceh sebagai bentuk dukungan dan perhatian terhadap topik yang didiskusikan.

“Kuflet berkomitmen membangun ruang-ruang dialog dan siap berkolaborasi untuk kegiatan-kegiatan seni di kemudian hari bersama Majelis Seniman Aceh,” tutup Sulaiman Juned.

Penulis: Jefri Prawinata

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan