Oleh Rafli Ahmad Fauzan
TIDAK ada yang lebih indah dari masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Semuanya indah. Indah atau tidaknya bergantung pada pendapatmu, pada isi hatimu. Bergantung pada isi dompetmu. Bergantung pada apa saja, deh, pokoknya bebas. Itu adalah saya yang sedang duduk di balkon kobong*, baca buku, dan tentu saja sambil minum kopi dan makan kue. Makan buah nanas hasil pemberian orang tua teman saya yang baru datang dari rumahnya setelah beberapa hari izin dari pondok.
Di dalam kobong sedang ada banyak orang. Ada orang tua, ada anak-anak, dan mugkin juga ada tikus, tapi sembunyi. Pokoknya ramai sekali, pada ngapain, saya gak tahu. Biasalah, itu keluarga teman saya yang baru datang dari rumahnya di Subang, dalam rangka mengantarkan anaknya sambil silaturahmi. Tadi kami baru pulang sama-sama dari masjid, dari melaksanakan salat Magrib. Mungkin kini teman saya dan keluarganya lagi sibuk ngobrol sambil makan dengan teman-teman saya yang lainnya. Mereka itu, ya, mereka teman saya yang selalu gembira kalau ada keluarga temannya yang datang. Ini aneh, bukankah harusnya sedih? Sedih karena mereka mau pergi lagi. Terutama kalau makanan pemberiannya habis.
Cuaca benar-benar lagi bagus malam itu. Kalau ada yang tengadah ke langit, akan melihat banyak bintang lagi terang. Di semak-semak terdengar bunyi suara binatang. Ini kemarau, Garut sedang kosong dari jadwal hujan.
Oh, bau tanah sawah. Sawahnya di sana, beberapa meter saja jauhnya. Oh, bau wangi kemangi. Kemanginya di sini, di samping saya. Oh, bau wangi bunga melati. Bunganya di sana, di luar pagar. Oh, bau aliran air pembuangan kamar mandi, di sana, di selokan kecil dekat kolam ikan. Semua bau itu menyatu di aliran hidung saya.
Tapi coba lihat, itu ada Okto, ada Niko. Mereka sedang jalan berdua, sepertinya habis dari warung, tapi tidak mesra karena mereka tidak pacaran. Mereka adalah junior saya yang aduhai masih menjadi santri lugu. Iya, tapi sebenarnya mereka adalah santri baru dari Bandung yang dititipkan ke pondok ini oleh orang tuanya untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Sehingga membuat saya harus mengajarkan ilmu-ilmu baru kepadanya.
“Okto, Niko!” Saya teriak setelah mereka mulai mendekati kobong.
“Eh iya, Mang, lagi apa?” Niko bertanya sambil melihat ke atas balkon.
“Biasalah, Ko, cari wangsit.”
“Oh.”
“Punten, Niko, bisa bantu saya, gak?!” Saya harus tetap sopan. Meskipun umur dia di bawah saya. Karena saya senior yang baik.
“Siaplah, Mang, bisa.”
“Bisa melempar batu, gak?”
“Melempar batu?”
“Iya.”
“Buat apa?” Dia bertanya, mungkin kaget tiba-tiba disuruh melempar.
“Ini, mau nyalain air. Dari tadi susah, harus dilempar batu dulu si tangki airnya.”
“Dilempar ke mana?”
“Iya, ke mana aja, asal kena ke tangkinya.”
“Oh. Siaplah!” Niko pergi ke sana mencari batu. Okto tidak. Okto duduk di atas kayu besar yang nantinya dijadikan BBM (bahan bakar masak), jaraknya kira-kira tiga meter dari dapur umum di sebelah kiri balkon.
Niko sudah datang sambil membawa batu di dekat pohon mangga itu, di depan kamar mandi santri. Posisi kamar mandinya berdepanan dengan kobong. Lalu di tengahnya terdapat sebuah lahan kecil tempat bermain anak-anak santri sekaligus tempat para tetangga dan tukang jualan lewat. Yang membuat saya harus jalan kaki sekitar 10 meter dulu bila mau ke kamar mandi.
Kemudian, segera terdengar suara tangki air dilempar batu olehnya. Dilempar satu kali dengan batu yang kecil. Sementara itu saya sibuk membaca buku.
“Sudah nyala belum, Ko?” Saya teriak.
“Nyala belum katanya, Ko?” kata Okto kepada Niko.
“Belum.”
“Kamu melemparnya baru berapa kali?”
“Baru satu kali, Mang!”
“Oh, kurang Niko satu kali mah.”
“Berapa kali atuh melemparnya, Mang?”
“Tujuh kali!” Saya teriak. Lalu Niko pergi mencari batu lagi dengan raut wajah yang bingung.
Oh, Niko. Kamu orangnya sangat lugu. Saya berharap kamu bertanya mengapa melemparnya harus tujuh kali. Oh, Okto. Apakah kamu tidak kasihan kepada temanmu itu? Ah, sudahlah, saya suruh saja Okto untuk membantunya.
“Okto, kamu ada kerjaan, gak?”
“Gak ada, Mang.” Kamu salah, Okto, harusnya kamu bilang ada, biar nanti tidak disuruh sama saya. Tapi sekarang itu sudah sia-sia, karena kamu sudah menjawabnya.
“Ya sudah, karena kamu gak ada kerjaan, nanti, setiap kali ketika temen kamu Niko melemparkan batu ke tangki air, kamu baca do’a Bismillahi Allahu Akbar. Siap?” Dia mengacungkan ibu jarinyanya untuk menandakan bahwa dia sudah siap. “Tapi, nanti kalau Niko bertanya, jawab saja biar barokah, ya.”
“Iya. Siap, Mang.”
“Coba ucapin. Yang keras do’anya.”
“Bismillahi Allahu Akbar!” Okto berteriak. Lalu dari jauh kelihatan Niko sedang berjalan ke kobong.
“Sudah, Ko?” Saya bertanya kepada Niko yang baru datang dari tugasnya mencari batu.
“Sudah, Mang. Dilemparnya gimana?” Akhirnya, dia mulai bertanya.
“Kayak yang tadi aja, Ko. Tapi melemparnya satu per satu. Hitungnya di dalam hati.” Setelah itu, Niko mulai melempar batu pertama.
“Bismillahi Allahu Akbar!” teriak Okto.
Niko melihat temannya. Dia seperti keheranan seolah-olah bertanya kenapa dia bicara Bismillahi Allahu Akbar? Tapi, dia tidak memedulikan itu. Yang membuatnya melakukan lemparan kedua.
“Tok.” Suara tangki air yang dilempari batu.
“Bismillahi Allahu Akbar.” teriak Okto lagi.
“Kenapa?” kata Niko kepada temannya.
“Gak kenapa-napa,” Okto menjawab.
“Itu tadi kamu ngucapin ‘Bismillahi Allahu Akbar’, ada apa, melihat hantu?”
“Oh, itu mah lagi ngafalin do’a, biar barokah.”
“Kirain ada apa,” kata Niko sambil menggerutu.
Sementara itu, saya masih memperhatikan mereka berdua dari atas balkon. Melihat mereka kerja bersama-sama. Capek bersama-sama. Disuruh juga bersama-sama. Aduhai kompaknya juniorku ini. Membuat saya bersemangat untuk menyuruhnya lagi.
“Ada apa, Ko, kenapa berhenti?” tanya saya, “Lanjutin!”
“Iya, Mang,” jawab Niko.
Waktu terus berjalan. Awan hitam menyelimuti cahaya bulan, seolah-olah menunjukkan bahwa malam sekarang akan turun hujan. Mereka berdua, Niko dan Okto, masih melakukan tugasnya. Niko melempar batu, dibarengi dengan suara Okto yang menghafal do’a. Biar barokah, katanya, Haha.
“Sudah beres belum?” Saya teriak.
“Belum, Mang, baru enam kali. Tapi airnya udah nyala!” kata Niko.
“Ya, sudah. Sekarang lemparan yang terakhir. Nanti kamu, Niko ngucapin Bismillahi Allahu Akbar juga, bareng sama Okto.”
“Siaplah, Mang!”
“Tok.” Suara tangki air yang dilempar batu.
“Bismillahi Allahu Akbar.” Suara dari Niko dan Okto.
Tugas mereka berdua selesai, bersamaan dengan saya melihat pintu kamar mandi dibuka. Oh, itu teman saya keluar dari WC.
“Aya naon sih, Niko?” Teman saya bertanya sambil menegur.
“Eh, Mang Asom.” Niko menyapanya.
Supaya Niko tidak memberi tahu bahwa dia disuruh oleh saya, saya harus memotong obrolan mereka.
“Beres apa, Som, di WC?” Dia melihat ke atas balkon, ke saya, ke sumber suara yang baru dia dengar.
“Eh, kamu, Kipli. Biasa, panggilan alam!” kata Asom. Panggilan alam itu sebutan lain dari buang air besar.
“Oh, kirain panggilan Tuhan,” kata saya.
“Bukan atuh,” jawab Asom.
“Jadi gini, Som. Tadi Niko sama Okto lagi simulasi melempar jumrah buat latihan nanti naik haji, katanya. Makanya pada berisik.” Saya membela junior saya.
“He-he-he.” Okto ketawa.
“Ah berisik atuh, sudah malam. Nanti dimarahi tetangga,” kata Asom.
“Kalau mau latihan mah, besok lagi saja atuh, Niko.” Asom bicara lagi.
“He-he. Iya, Mang. Sebenarnya bukan lagi latihan. Disuruh nyalain air sama Mang Kipli,” jawab Niko.
“Euh, pastilah Si Kipli, mah. Sudah malem sekarang mah, Niko. Besok lanjutin aja kalau mau dilanjutin latihannya.”
“Iya, Mang!” kata Niko.
Mereka kemudian pergi ke teras depan kobong dekat pintu pagar. Lalu saya beranjak dari duduk di balkon lantai dua turun ke bawah menghampiri mereka yang sedang berdiri di depan pintu pagar.
Ngobrol ini itu sampai kemudian terdengar suara tukang siomay panggul yang memukul kayu sehingga terdengar bunyi seperti orang yang sedang jaga ronda.
Saya menawari Niko dan Okto makan siomay. Awalnya, mereka menolak, tapi akhirnya mau. Menyebabkan saya berteriak.
“Mang, si Asom mau beli siomay.”
“Apa, Pli, Kenapa jadi saya? ‘Kan, tadi kamu yang mau beli.”
“Sudah diam kamu, mah. Nanti saya yang bayarin.”
Tukang siomay itu berhenti dan membuat lima piring siomay sesuai pesanan. Saya ajak mereka bertiga untuk duduk di bawah pohon. Ngobrol soal saya kenapa menyuruh Niko dan Okto melakukan hal tadi. Saya beri tahu alasannya. Supaya mereka bisa belajar dari hal sekecil apa pun, dan nantinya saya bisa mengajarkan hal yang kecil itu.
Tidak lama kemudian, datang si tukang siomay, membawa dua piring siomay. Saya suruh Niko dan Okto makan duluan. Beberapa menit setelah itu, datang lagi dua piring siomay. Saya ambil satu. Satu lagi dikasih ke Asom. Lalu saya dan Asom mulai makan siomay.
“A, ini siomay satu lagi,” kata tukang siomay.
“Oh, yang itu buat Aa aja.”
“Eh? He-he.”
“Serius, A.”
“Enggak usah, A!” katanya. Asom, Niko, dan Okto yang lagi makan melihat kami.
“Terus buat siapa atuh, ya? Udah, makan aja daripada nanti dibuang, mubadzir!”
“Eh, si Aa mah,” kata tukang siomay sambil kebingungan.
“Pokoknya, makan! Masa kita makan Aa enggak? Gak enak atuh. Hayu ah, makan bareng. Sebelah sini A, duduknya,” kata saya sambil mempersilakan dia duduk. “Asom, geser, Som.”
Si Asom menggeserkan badannya, memberi tempat kepada si tukang siomay untuk duduk. Dan lihatlah, si tukang siomay itu akan makan siomay bikinannya sendiri!
“Enak gak, A?” Saya bertanya.
“Enak. He-he-he,” jawab si tukang siomay itu.
Asom tertawa disaksikan oleh daun-daun pohon mangga. Niko tertawa disaksikan oleh rumput-rumpt yang layu. Okto tertawa disaksikan oleh suara kucing yang sedang berantem. Saya tersenyum disaksikan bulan yang indah di atas kepala saya. Di atas langit. Di angkasa raya. []
*Kobong juga dapat merujuk pada tempat tidur santri yang berderet dan menggunakan kayu lapis. Istilah ini masih bersifat tradisional dan memanfaatkan bahan-bahan seperti kayu, bambu, dan rotan.
Rafli Ahmad Fauzan, beralamat di Desa Neglasari, Kec. Bl. Limbangan, Kab. Garut.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Rafli Ahmad Fauzan
Editor: Neneng JK