Khairul Jasmi: Bahasa Jurnalis Ibarat Pedang di Tangan Pesilat, Menyatu dan Tajam
Bahasa jurnalistik harus tajam dan menyatu dengan penulisnya, layaknya pedang di tangan pesilat.

PADANG, MAJALAHELIPSIS.ID — Menulis adalah keterampilan, bukan sekadar ilmu. Seorang jurnalis harus memiliki ciri khas dalam tulisannya.
Itulah pesan utama yang disampaikan wartawan senior Khairul Jasmi dalam workshop “Penulisan Pertunjukan Seni Tari” yang diselenggarakan Nan Jombang Dance Company dalam rangkaian kegiatan Kaba Festival X, Rabu—Jumat (19—21 Februari 2025) di Hotel Daima Padang dan dihadiri peserta dari kalangan wartawan dan penulis lepas di kota itu.
Selain KJ—demikian sapaan akrab Khairul Jasmi—turut tampil sebagai narasumber, Frans Sartono, mantan wartawan harian Kompas yang juga kurator Bentara Budaya.
Dalam pemaparannya, Khairul Jasmi menekankan bahwa bahasa jurnalistik harus tajam dan menyatu dengan penulisnya, layaknya pedang di tangan pesilat.
Baca juga: Menonton Tari Bukan Sekadar Menikmati, Frans Sartono: “Jangan Tulis Buruk Jika Tak Mengerti”
“Saat menulis, bebaskan beban apa pun. Harus gelisah untuk mendapatkan data, fakta, kisah, dan sudut pandang yang kuat,” ujarnya.
Menurut Khairul Jasmi, jika seorang jurnalis masih terganggu oleh suasana sekitar saat menulis, maka ia belum benar-benar menulis.
Lebih lanjut, Khairul Jasmi menjelaskan bahwa kekuatan tulisan seorang jurnalis berasal dari karakter yang terbentuk melalui proses berpikir yang matang.
“Tulisan wartawan harus punya ciri khas. Pada gilirannya, ciri khas ini akan menjadi identitas medianya dan bahkan brand bagi media tersebut,” katanya.
Baca juga: Simbol-Simbol di Balik Meja: Mengapresiasi Ulang Pertunjukan Tari “Rantau Berbisik” Karya Ery Mefri
Ia mencontohkan sosok-sosok besar dalam dunia jurnalistik Indonesia, seperti Jacob Oetama di Kompas dan Dahlan Iskan di Jawa Pos—sekarang di harian Disway.
“Media yang kuat selalu memiliki orang-orang kuat dalam bahasa tulisnya,” tambahnya.
Bahasa, menurutnya, merupakan elemen penting dalam membentuk kebudayaan dan karakter bangsa.
“Jangan malu dengan gaya berbicara dan gaya bahasa sendiri. Tulisan yang baik harus seperti bertutur, seperti yang diajarkan oleh Pak Rosihan Anwar: gunakan kalimat pendek-pendek,” pesannya.
Baca juga: Menonton Ulang Kegelisahan Ery Mefri dalam “Rantau Berbisik”
Keterampilan yang Harus Dilatih
Dalam sesi diskusi, Khairul Jasmi menegaskan bahwa menulis bukanlah bakat bawaan, melainkan keterampilan yang harus terus diasah.
“Tidak ada seorang pun yang bisa menulis dengan baik tanpa mencoba. Menulis itu seperti bersepeda. Jika sudah terbiasa, perbendaharaan kata akan hadir dengan sendirinya,” katanya.
Ia menyarankan agar para wartawan rajin menulis feature, setidaknya 10 tulisan per bulan selama tiga bulan pertama.
“Jangan terikat pada rekaman atau keterangan tertulis saat membuat berita. Itu hanya acuan. Bahasa rilis yang kaku akan meremukkan identitas kewartawanan Anda,” ujarnya tegas.
Khairul Jasmi juga menyoroti pentingnya pemilihan lead atau teras berita yang kuat. Ia mengutip Buya Hamka, yang mengatakan bahwa fakta dan cerita yang dikumpulkan di lapangan harus disaring secara ketat hingga hanya tersisa yang paling penting.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa bahasa juga memiliki peran besar dalam membentuk identitas nasional.
Baca lagi: KABA Festival X 2025, Merayakan Empat Dekade Perjalanan Seni Maestro Ery Mefri
“Bahasa adalah perekat bangsa. Sekarang ini, kita mulai kehilangan jati diri karena terlalu banyak bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Saya sudah tidak menemukan Indonesia di mal dan kafe, semuanya berbahasa Inggris,” keluhnya.
Menurutnya, bahasa daerah juga memiliki kontribusi besar dalam perkembangan bahasa Indonesia.
“Sembilan dari 15 penulis Balai Pustaka berasal dari Minangkabau. Tak heran jika pada tahun 1969, sebanyak 26 persen isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari bahasa Minang,” ungkapnya.
Penulis Buku
Khairul Jasmi lahir pada 15 Februari 1963. Ia dikenal sebagai wartawan senior dan penulis produktif. Saat ini, ia menjabat sebagai Komisaris PT Semen Padang dan Pemimpin Redaksi Harian Singgalang.
Karier jurnalistiknya dimulai dari harian Semangat Padang, kemudian berlanjut ke Berita Buana Jakarta. Ia bekerja di Harian Republika selama 12 tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Harian Singgalang sejak 2005.
Sebagai wartawan dan penulis buku, ia telah menghasilkan berbagai karya, termasuk cerpen, sajak, dan novel. Beberapa di antaranya adalah Lonceng Cinta di Sekolah Guru (Gramedia Pustaka Utama, 2012) dan Pesona Jilbab dari Padang (Pemerintah Kota Padang, 2012).
Selain itu, ia juga menulis biografi ulama besar Minangkabau, seperti Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekhah Rahmah El Yunusiyyah, dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi.
“Menulis bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga panggilan jiwa,” pungkasnya.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Neneng J.K.