Oleh Bgd. Ishak Fahmi
Di setiap perhelatan politik, selalu ada barisan “yang berkeringat.” Mereka adalah para pendukung, relawan, dan orang-orang yang berjuang habis-habisan untuk memenangkan calon tertentu. Setelah pertarungan usai dan kemenangan diraih, mereka menagih balas jasa. Sebagian mengharapkan imbalan material, sebagian lain mengincar jabatan strategis dalam pemerintahan. Pola ini bukanlah hal baru di republik ini. Ia seakan menjadi ritual politik yang berulang dari masa ke masa.
Namun masalah besar muncul ketika kursi-kursi strategis itu diberikan bukan kepada mereka yang memiliki kapasitas, melainkan kepada mereka yang hanya bermodal loyalitas. Jabatan publik baik sebagai pengawas maupun pengambil keputusan sering dipandang tidak memerlukan keahlian teknis. Cukup dianggap sebagai posisi koordinatif yang bisa diisi siapa saja, asalkan punya rekam jejak “berkeringat” dalam perjuangan politik.
Kenyataan ini menyingkap rapuhnya meritokrasi dalam tata kelola negara. Di balik pintu-pintu kekuasaan, kompetensi sering dikalahkan oleh pertimbangan politik transaksional. Maka tidak mengherankan jika kita menemukan banyak pejabat yang duduk di kursi strategis tanpa pengalaman yang relevan, tanpa visi yang matang, dan tanpa keahlian yang sepadan dengan tanggung jawabnya.
Dampak dari praktik politik balas jasa ini sangat nyata. Keputusan-keputusan publik lebih sering lahir dari kompromi politik, bukan dari kajian rasional dan analisis berbasis data. Mereka yang menduduki kursi kebijakan tidak selalu memahami kompleksitas persoalan yang mereka tangani. Akibatnya, lahirlah regulasi-regulasi tambal sulam, kebijakan yang tumpang tindih, serta program-program yang lebih bersifat seremonial ketimbang solutif.
Dari titik inilah ruang penyalahgunaan wewenang terbuka lebar. Tanpa pengetahuan dan pengalaman memadai, pejabat publik cenderung mengandalkan naluri politik ketimbang integritas profesional. Banyak yang akhirnya terjerat kasus hukum, melakukan pelanggaran administratif, atau bahkan perbuatan melawan hukum yang langsung merugikan masyarakat.
Kekuasaan yang seharusnya menjadi alat pelayanan publik berubah menjadi sarana distribusi keuntungan politik. Ketika rakyat dirugikan, kepercayaan publik pun perlahan terkikis. Lebih jauh, legitimasi negara ikut tergerus karena hukum tidak lagi berdiri di atas keadilan, melainkan di atas kalkulasi kepentingan.
Kerusakan ini tidak hanya dirasakan di dalam negeri. Dunia internasional pun turut mengamati. Investor asing melihat instabilitas hukum dan lemahnya kepastian regulasi sebagai ancaman nyata. Negara-negara mitra memandang pemerintah kita dengan penuh kehati-hatian, menahan diri untuk menanamkan modal atau memperluas kerja sama.
Kehilangan kepercayaan global berarti kehilangan salah satu motor penggerak utama perekonomian. Tanpa arus investasi yang sehat, pembangunan infrastruktur melambat, daya saing industri melemah, dan pertumbuhan ekonomi nasional tersendat. Semua itu bermula dari satu akar masalah: praktik politik yang menempatkan loyalitas di atas meritokrasi.
Kutipan ringkasan tulisan ahli hukum internasional Philip Allott menemukan relevansinya. Ia menulis, “Law is the necessary condition of the possibility of society, and the quality of a society is ultimately determined by the quality of its law.” (Hukum adalah syarat mutlak bagi kemungkinan lahirnya sebuah masyarakat, dan kualitas masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh kualitas hukumnya).
Allott menegaskan bahwa hukum adalah fondasi keberlangsungan masyarakat. Jika hukum dijalankan dengan buruk, masyarakat akan memburuk. Jika hukum ditegakkan dengan adil dan bermutu, maka kualitas kehidupan bersama pun meningkat. Pertanyaannya, bagaimana hukum bisa bermutu jika mereka yang duduk di kursi pengambil keputusan justru tidak kompeten?
Sejarah republik ini tidak pernah lepas dari bayang-bayang nepotisme dan politik balas budi. Reformasi 1998 diharapkan menjadi pintu bagi meritokrasi, namun kenyataannya, praktik lama masih terus berulang dengan wajah baru. Elite politik kerap menggunakan kekuasaan sebagai instrumen untuk membayar utang politik, bukan untuk memperkuat institusi negara.
Akibatnya, lahirlah generasi birokrat instan: pejabat yang tidak melalui proses panjang pembentukan kapasitas, tetapi tiba-tiba menduduki kursi empuk karena kedekatan dengan lingkaran kuasa. Mereka masuk tanpa bekal visi jangka panjang, tetapi sibuk menjaga kepentingan kelompok yang membesarkannya.
Kondisi ini ibarat bom waktu. Negara yang dikelola dengan prinsip balas jasa politik ibarat kapal besar yang nahkodanya tidak paham arah angin dan peta laut. Ia bisa berjalan, tetapi tanpa tujuan jelas, dan setiap saat terancam karam oleh badai.
Yang paling menderita tentu saja masyarakat. Kebijakan yang lahir dari pejabat tidak kompeten sering gagal menjawab kebutuhan rakyat. Program bantuan sosial salah sasaran, pembangunan infrastruktur tidak sesuai kebutuhan daerah, hingga pengelolaan sumber daya alam yang merugikan masyarakat lokal.
Masyarakat kehilangan rasa percaya bahwa negara hadir untuk mereka. Perlahan, lahir sikap apatis. Rakyat melihat politik hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan sebagai instrumen etis untuk membangun kesejahteraan bersama. Apatisme ini berbahaya karena mengikis legitimasi demokrasi.
Bangsa ini harus berani memutus rantai politik balas jasa. Jabatan publik bukanlah hadiah, melainkan amanah. Mereka yang duduk di kursi strategis harus dipilih karena kompetensi, integritas, dan rekam jejak, bukan karena loyalitas sempit.
Prinsip meritokrasi harus ditegakkan di setiap level. Mekanisme rekrutmen pejabat publik harus transparan, berbasis pada indikator kinerja, bukan pada catatan “keringat politik.” Jika meritokrasi ditegakkan, maka hukum akan ditegakkan dengan lebih bermutu. Jika hukum bermutu, masyarakat pun akan tumbuh dengan lebih adil dan sehat.
Indonesia tidak kekurangan orang-orang kompeten. Yang kurang adalah keberanian politik untuk menempatkan mereka di posisi strategis. Selama kursi-kursi itu masih dianggap sebagai kompensasi politik, maka negeri ini akan terus berjalan di tempat.
Kualitas hukum menentukan kualitas masyarakat, sebagaimana diingatkan Philip Allott. Namun hukum hanya bisa berkualitas jika mereka yang menegakkan dan merumuskan hukum adalah individu-individu yang kompeten dan berintegritas.
Politik balas jasa mungkin memberi kepuasan sesaat bagi mereka yang “berkeringat” dalam pertarungan kekuasaan. Namun bagi bangsa, praktik itu adalah racun yang perlahan menggerogoti tubuh negara.
Kita bisa terus bertahan dengan pola lama, atau kita bisa memilih untuk beranjak menuju masa depan yang lebih sehat. Pilihannya ada di tangan bangsa ini terus menjadi sandera politik balas budi, atau berani membangun fondasi meritokrasi yang kokoh.
Sebab pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi, kepercayaan masyarakat, hingga martabat bangsa di mata dunia ditentukan oleh satu hal apakah kita berani menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. []
Bgd. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bgd. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan











