Ketika Penyair Adri Sandra Menitikkan Air Mata Membaca Puisi L.K. Ara
Beberapa kali Adri Sandra melepaskan kacamatanya, menyeka air hangat yang menggantung di kelopak mata dan hendak tumpah.

PADANG PANJANG, majalahelipsis.id—Air mata sastrawan Adri Sandra jatuh menitik saat ia membaca penggalan puisi karya penyair L.K. Ara berjudul “Surat dari Blang Mancung” yang termaktub dalam buku antologi puisi Negeri Bencana. Air mata itu bahkan membasahi kertas makalah yang ia bentangkan pada acara peluncuran dan diskusi buku yang ditaja Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, Sabtu, 28 Desember 2024, lalu.
Beberapa kali Adri Sandra melepaskan kacamatanya, menyeka air hangat yang menggantung di kelopak mata dan hendak tumpah. Sastrawan Sulaiman Juned, yang juga duduk di kursi pembicara, refleks meraih tisu dan meletakkannya di hadapan meja Adri Sandra. Namun, Adri Sandra terus membaca, dengan suara terputus-putus, menahan seguk dan gejolak hati yang tak terkata.
Puisi L.K. Ara yang dikutip Adri Sandra begitu kuat menggambarkan peristiwa tsunami yang menghantam Aceh 20 tahun silam.
/inilah lembar kisah/ yang digenangi hujan air mata/ ditulis di bawah tenda/ karena rumah telah runtuh semua.//
Membaca bait puisi itu, Adri Sandra diam sejenak. Ia menarik napas, dan peserta diskusi buku Negeri Bencana, siang itu, hening, menunggu kata-kata berikutnya yang diucapkan penyair yang tiga kali meraih penghargaan MURI itu.
Puisi L.K. Ara mengabarkan kisah setelah kejadian gempa dan tsunami Aceh yang ditulis di bawah tenda dan hujan air mata. Peristiwa besar itu akan selalu hidup dalam edar waktu, bahkan setiap tanggal 26 Desember Aceh—bahkan di luar Aceh—memperingati kejadian tsunami ini.
//gempa itu mengguncang tiba-tiba/ dalam sekejap rumah rata/ dinding masjid menjepit/ menjemput sejumlah nyawa …//
Pada bait terakhir L.K. Ara mengabarkan penungguan, janji yang mereka yakini, akan hadir di tengah ketabahan. //Kami akan sabar/ menunggu Cahaya/ Dia telah berjanji/ akan singgah di sini.//

Air mata Adri Sandra bukan beralasan jatuh. Tiba-tiba ingatannya terlempar jauh ke Aceh, saat bencana itu terjadi, dan ia sedang di Payakumbuh. Ia merasakan getaran bumi. Kemudian, setelah peristiwa itu, dukanya bertambah ketika mendengar beberapa sahabatnya sesama sastrawan dan seniman di Aceh ikut menjadi korban.
“Setiap kali mengingat peristiwa ini, hati saya tersentuh, dan saya sangat sedih,” ujar Adri.
Puisi L.K. Ara adalah salah satu dari tiga puisi yang dibincangkan Adri Sandra dalam makalahnya berjudul “Tiga Surat dalam Negeri Bencana”. Selain puisi L.K. Ara, Adri Sandra juga membahas puisi “Surat Cinta dari Sangkakala 1” karya Acep Syahril dan “Surat untuk Palu dan Donggala” karya Riko Fernando. Dua puisi berbicara tentang bencana alam yang menimpa Aceh, Palu, dan Donggala, sementara satu surat menyentil bencana akibat ulah tangan manusia yang terkait erat dengan bencana alam sebagai akibatnya: bencana korupsi.
“Dalam puisi Acep ini, korupsi yang digambarkan sebagai bencana terbesar di negara kita, tidak dapat dipungkiri politik adalah pengaturan kehidupan masyarakat. Bila suatu kejahatan dilindungi oleh tangan-tangan politik, maka kejahatan adalah bagian dari tubuh politik itu sendiri,” kata Adri Sandra di hadapan peserta diskusi yang terdiri dari para penyair, penulis, pegiat literasi, pelajar, mahasiswa, guru, dan pelaku seni di Sumatera Barat.
Pada sebuah bait, Adri mengutip puisi Acep:
/surat cinta yang kau kirim melalui/ pengantar surat dari perkampungan/ akar mitologi jabal qaf itu melebihi/ kegundahan kami pada bencana korupsi/ apalagi ketika kau kisahkan soal/ lumpur bebatuan galodo yang/ mematahkan jiwa saudara-saudara kami//.
Seperti pengaduan kepada Tuhan, ungkap Adri, puisi Acep Syahril, melalui jiwa dan pikirannya, menghadirkan bencana yang tak mampu ia sentuh walau batinnya menolak. Ia hanya bisa bersuara lantang terhadap kehadiran bencana sosial yang meremukkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang yang mengkhianati nuraninya sendiri.
Sementara pada puisi Riko Fernando, penyair itu berkabar tentang Palu dan Donggala, akan kesedihannya pada bencana yang terjadi. Rico menulis:
/Sepucuk surat tertuju ke tanah seberang/ berisi iba dan belas kasih penuh luka/ terasa datar dua ribu delapan belas/ laksana serata tanah yang tak tampak//.
“Kita dapat memahami apa yang dirasakan penyairnya, sebuah rasa iba, belas kasih penuh luka, peristiwa yang mendatarkan tanah perkampungan tempat tinggal masyarakat,” kata Adri.
Adri memaparkan, di bait selanjutnya Rico menggambarkan kejadian itu. Seharusnya, menurut Adri, tidak perlu diceritakan karena puisi ini tujuannya untuk membingkai kejadian itu sendiri. Hanya di bait terakhir, hubungan dengan bait pertama puisi itu terlihat:
/Di Palu dan Donggala berteriak merana/ sedangkan kami di sini membakar doa/ semoga semerbak itu menjelma pemberkatan nyata/ sampai membentuk senyum di bumi yang fana//.
Meski hanya membahas tiga puisi dari seratus puisi karya penyair Indonesia dalam buku antologi Negeri Bencana, Adri menyebut bahwa seluruh puisi yang terdapat dalam buku itu telah menggambarkan beragam bencana alam yang didatangkan Tuhan dan bencana yang diakibatkan oleh tangan manusia.
“Saya sebagai pemantik, mengucapkan selamat atas peluncuran buku antologi ini. Semoga ke depannya Allah memberi kita keselamatan, termasuk alam itu sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Sahrul N., S.S., M.Si., akademisi sekaligus kritikus seni, menyebut bahwa puisi-puisi dalam Negeri Bencana adalah catatan sejarah yang merekam tragedi dengan pendekatan estetis.
“Puisi ini memesis; peristiwa bencana diolah menjadi kepuitisan yang mendalam. Karya-karya ini tidak sekadar menggambarkan kehancuran, tetapi juga menyentuh jiwa pembaca, memberi rasa, bahkan menjadi pembelajaran bagi generasi muda,” ungkapnya.
Sahrul, yang berasal dari Padang Pariaman, turut membagikan pengalaman pribadinya ketika kampung halamannya tertimbun longsor akibat gempa bumi pada tahun 2009.
“Saya merasa ada ‘keindahan’ ironi dalam membaca puisi-puisi ini. ‘Indah’ dalam tanda petik, karena para penyair merekam bencana yang sebagian orang pernah mengalaminya,” tambahnya.
Narasumber berikutnya, Dr. Sulaiman Juned, M.Sn., menyatakan bahwa penerbitan buku adalah tradisi tahunan Komunitas Seni Kuflet.
“Tahun lalu, Kuflet menerbitkan buku Puisi Cinta untuk Palestina, dan tahun ini Negeri Bencana. Ini membuktikan bahwa Kuflet selalu relevan dengan isu-isu kemanusiaan,” ujar Pimpinan Komunitas Seni Kuflet ini.
Kuflet, komunitas seni yang berdiri di Padang Panjang, terus menunjukkan dedikasi terhadap literasi dan seni. Dengan anggota yang meliputi penulis, penyair, dan pelaku seni, Kuflet menjadi motor penggerak berbagai kegiatan sastra dan teater. Tidak hanya menerbitkan buku, komunitas ini juga aktif mengadakan pelatihan, diskusi, dan pertunjukan seni yang melibatkan masyarakat setempat.
Acara puncak diskusi buku yang dipandu Muhammad Subhan itu ditutup dengan monolog yang dibawakan Atika dan pembacaan puisi oleh para penyair yang hadir. Destri Mairoza, penyair asal Solok yang puisinya masuk dalam buku ini, mengaku bahagia dapat menjadi bagian dari momentum bersejarah ini.
“Bagi saya, Negeri Bencana bukan hanya kumpulan puisi, tetapi juga doa dan harapan yang disampaikan melalui kata,” ujarnya penuh haru.
Negeri Bencana bukan sekadar antologi puisi, tetapi juga representasi dari suara hati bangsa yang dirundung tragedi. Dengan kepiawaian para penyair, bencana yang mengerikan diolah menjadi sebuah karya yang tidak hanya memanggil simpati, tetapi juga mendorong refleksi mendalam. Buku ini mengingatkan kita bahwa di balik kehancuran, selalu ada kekuatan kata untuk menyembuhkan.
Saat air mata penyair Adri Sandra jatuh pada hari itu, mungkin ia tidak hanya “menangisi” bencana yang telah terjadi, tetapi juga mengucapkan doa bagi kemanusiaan. Karena, seperti yang tercermin dalam Negeri Bencana, puisi adalah cara kita mencatat luka, sekaligus cara kita untuk pulih.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Abi Pasya