Oleh S. Prasetyo Utomo*)
S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.
DALAM pandangan para penyair, laut memiliki makna yang mesti ditafsir sebagai kesadaran kosmis. Pantai, laut, perahu, dan kehidupan nelayan dalam larik puisi memiliki kompleksitas makna.
Kegiatan manusia di sekitar laut memberi warna kehidupan yang bisa bermakna empati personal, filosofi, spiritual, bahkan transendental. Saya memilih lima puisi karya penyair yang berobsesi tentang laut. Lima puisi tentang laut ini adalah “Anak Laut” karya Asrul Sani, “Anak Kecil di Tengah Lautan” karya Dodong Djiwapradja, “Laut” karya Husni Djamaluddin, “Laut Malam” karya Syahril Latif, dan “Perahu” karya Idrus Tintin.
Kesadaran kosmis menjadi kekuatan penyair untuk menyingkap kontemplasi tentang laut. Para penyair memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam memaknai laut. Puisi mereka menjadi menarik untuk saya bicarakan, justru karena mengangkat laut dari mata batin yang berbeda dari sudut pandang orang kebanyakan.
Dengan kekuatan intuisi, para penyair mencipta kesadaran kosmis tentang makna laut. Berkembanglah tafsir puisi tentang kontemplasi laut yang memiliki kesadaran tentang kehidupan dan ketertiban di alam semesta. Saya terkesima dengan pandangan otentik para penyair untuk mengembangkan estetika yang membuka pencerahan manusia dalam memaknai laut.
*
SUNGGUH menarik, puisi “Anak Laut” yang dicipta Asrul Sani untuk menggambarkan kegigihan pelaut dalam melakukan pelayaran ke negeri jauh. Seseorang mengarungi laut untuk melakukan pengembaraan. Dalam larik puisi berikut ini, tampak benar bahwa etos pelaut menumbuhkan kegigihan untuk melakukan pelayaran dengan suasana bahagia. Ia meninggalkan kekasih hati yang selalu merindukannya.
Akan tetapi, negeri jauh tempatnya merantau hanyalah sebuah bayang-bayang semu. Karena itu, ia kembali ke tanah leluhurnya, untuk mengukuhkan jati dirinya:
sekali aku pergi/dengan perahu/ke negeri jauhan/ dan menyanyi/ kekasih hati/ lagu merindukan/ daku”// “Tenggelam matahari/ Ufuk sana tiada nyata/ bayang-bayang bergerak perlahan/aku kembali kepadanya”//
Puisi “Anak Kecil di Tengah Lautan” karya Dodong Djiwapraja menyingkap segala ketegaran nelayan kecil yang tangguh menghadapi laut dengan perahunya. Nelayan kecil seorang diri di atas perahu, sementara para nelayan dewasa merentang jala. Pada saat nelayan kecil melaut, tersingkap teka-teki tentang keterlibatannya mencari rezeki dengan tangguh dan indah. Nelayan kecil itu telah menyatu dengan laut, dan penyair melukiskannya dengan majas simile yang indah “bagai kupu-kupu dalam kebun”. Penyair mengekspresikan empati personal nelayan kecil, ketangguhan, kegigihan, dan kecintaannya terhadap laut:
Dan betapa malunya/ ketika terlihat seorang anak kecil/ sendirian dalam perahu/ sementara orang-orang dewasa/ terjun/ merentang jaring// Dan betapa malunya/ ketika punggung-punggung ombak mengangkat perahu/ sementara si anak duduk anggun/ bagai kupu-kupu dalam kebun//.
Kontemplasi tentang laut dalam puisi membuka ruang batin untuk memaknai kebesaran alam dan keagungan Sang Pencipta. Dalam pandangan Husni Djamaluddin, laut menerima segala hal yang kotor: lumpur, kotoran sungai, air selokan, dan limbah kapal.
Akan tetapi, laut justru memberikan pada manusia ikan, udang, garam, dan minyak. Penyair mengekspresikan filosofi laut yang memberikan manfaat bagi manusia, meskipun menerima sampah dan kotoran. Dalam puisi ini tersirat filosofi laut yang menerima “segala perilaku buruk alam dan manusia, dan dibalas dengan manfaat bagi kehidupan”. Kebesaran alam, yang merefleksikan kecintaan Sang Pencipta pada makhluk, menjadi filosofi tentang keselarasan:
laut mengirim ikan /lewat perahu-perahu nelayan/ laut dijamu lumpur/ dan segala kotoran sungai/ laut mengirim udang/ terhidang di meja makan / laut disuguh keruh/ air selokan/ laut mengirim garam/ agar selera tak kehilangan gairah/ laut mendapat ludah/ dari kapal-kapal yang muntah/ laut mengirim minyak/ jadi timbunan dollar//.
Puisi ini mengajarkan pada pembaca untuk menemukan kesadaran kosmis atas kebesaran Sang Pencipta.
Filosofi laut diekspresikan Syahril Latif dalam puisi “Laut Malam”. Laut menjadi metafora tentang karakter dan situasi jiwa seorang. Dalam pandangan penyair, laut malam merupakan metafora seseorang yang mengalami jiwa yang kelam, gelisah, resah, mengalami kesepian seorang diri. Laut merupakan metafora kesepian manusia yang tak menemukan teman dialog:
di luar kamar hotelku/ ada laut dalam kelam/ gelisah resah tak berkeputusan/ Nyanyian sepanjang abad/ menggapai-gapai pintu kamarku/ tapi aku tak ingin berlarut/ memikirkanmu/ Lautlah kau sendiri. Sepi//.
Idrus Tintin memaknai laut dan perahu sebagai kesadaran kosmis yang transenden. Sebagaimana puisi Hanzah Fansuri, ia memancarkan kemurnian spiritualitas dan ketulusan hati dalam proses kearifan manusia menghadapi tantangan hidup. Ia menulis puisi “Perahu”, menyuarakan ketangguhan jiwa nelayan setelah kepasrahan terhadap Sang Pencipta atas laut.
Transendensi penyair ini dicapai dengan cara memandang atmosfer laut sebagai simbol pencarian keilahian yang berdasarkan kekuatan iman. Spiritualitas disimbolisasikan sebagai perahu yang kuat untuk mengarungi laut. Penyair mengisyaratkan bahwa spiritualitas yang rapuh hanya membawa perjalanan mengarungi kehidupan akan karam, tak mencapai Allah sebagai tempat berlabuh, seperti dalam larik-larik puisi berikut ini:
Ingin seperti punya Hamzah/ gagah mengarung medan lautan/ alatnya kuat bekalnya cukup/ laju menepis buih gelombang/ perahunya/ dayungnya/ kemudinya/ semuanya memakai nama Allah// …tempat laut terlalu dalam/ rebut besar badai dan topan/ banyak perahu rusak tenggelam/ Bagaimana hendak pergi menyelam/ untuk mengambil permata nilam/ baru sampai ke laut Bintan/ perahu sudah mau karam//.
*
SUGESTI yang diekspresikan kelima penyair mengenai kesadaran kosmis laut ternyata didasari pandangan yang saling melengkapi. Saya menemukan lima kearifan penyair yang menyentuh kesadaran manusia. Betapa menarik lima puisi penyair mengenai laut, nelayan, dan kosmologi yang melingkupinya. Kontemplasi makna kelima puisi itu membawa kesadaran solilokui dalam diri pembaca.
Dengan cara yang sangat humanis, lima penyair itu menawarkan kearifan kontemplasi mengenai (1) etos menumbuhkan kegigihan untuk melakukan pelayaran dengan kebahagiaan dan harapan, (2) menyingkap segala ketangguhan nelayan kecil saat menghadapi laut dengan perahunya, (3) mengekspresikan filosofi laut yang memberikan manfaat bagi manusia, meskipun menerima sampah dan kotoran, (4) laut malam merupakan metafora seseorang yang mengalami jiwa yang kelam, gelisah, resah, dan (5) perahu sebagai metafora pencarian keilahian yang berdasarkan kekuatan spiritualitas dan iman.
Yang paling menarik, puisi-puisi penyair tentang pantai, laut, ombak, dan perahu telah membuka kesadaran kosmis pembaca. Laut membawa renungan akan kesadaran manusia mengenai perubahan fungsi: kognitif, suasana hati, cara memandang dunia luar, kesadaran diri, perasaan tentang waktu, dan fungsi pancaindera. Manusia tak sekadar menguasai laut, melainkan mengembangkan kesadaran intuitif dan spiritual, menerima makna alam raya dan cinta yang transendental.[]
S. Prasetyo Utomo. Lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes (2018). Sejak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di media massa seperti: Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, majalah Noor, majalah Esquire, Basabasi, dll. Menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa (2017); penghargaan Acarya Sastra dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2015); penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah (2017). Kumpulan cerpen “Bidadari Meniti Pelangi” (Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen Sakri Terangkat ke Langit (Cerpen Kompas Pilihan, 2008). Cerpen Penyusup Larut Malam dimuat dalam “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” (Cerpen Kompas Pilihan, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Midnight Intruder (Dalang Publishing, Juni 2018). Cerpen Pengunyah Sirih dimuat dalam “Dodolitdodolitdodolibret” (Cerpen Pilihan Kompas, 2010).
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: S. Prasetyo Utomo
Editor: Ayu K. Ardi