Kepala

Kepala adalah simbol kepemimpinan yang lahir dari akal, nurani, dan tanggung jawab. Pemimpin sejati hadir untuk melayani, bukan dilayani, dan dikenang karena ketulusan, bukan kekuasaan.

Oleh Muhammad Subhan

KEPALA adalah puncak tubuh manusia. Ia tempat segala dimulai. Tempat akal bersarang. Tempat marwah bertakhta.

Makhluk tanpa kepala? Bukan manusia. Itu hantu.

Kepala selalu di atas. Lebih tinggi dari tangan, dada, dan kaki. Ia pemimpin tubuh.

Di kepalalah mata bertengger. Sepasang jendela untuk memandang dunia.

Ada telinga, menangkap bisik dan badai. Ada mulut, untuk berkata dan merasa. Ada hidung, tempat napas lewat, halus dan hangat.

Dan, yang paling agung: otak. Di sanalah pikiran tumbuh. Akal waras lahir dari sana. Kalau otak rusak, akal bisa lenyap. Manusia berubah menjadi kosong. Gila.

Karena itu, jangan sembarangan menyentuh kepala orang. Apalagi memukulnya. Itu bukan hanya menyakitkan, tapi menghina. Bisa-bisa awak pula yang kena hajar.

Tak semua orang boleh menyentuh kepala.

Tapi, ada satu yang boleh: tukang cukur. Ia pegang kepala kita, baik meminta izin maupun tanpa izin. Kadang ditariknya ke kiri, kadang ke kanan. Setelah itu, ia minta upah. Dan, kita rela saja, sebab ia menata rambut dengan rapi.

Itu bagian dari hidup. Saling melayani. Saling melengkapi. Saling membutuhkan.

Simbiosis yang adil dan alamiah.

Tak heran, kepala pun dijadikan lambang banyak hal. Seperti, kepala negara. Kepala daerah. Kepala sekolah. Kepala kantor. Kepala dinas. Kepala keluarga. Semuanya pemimpin. Semuanya memikul tanggung jawab masing-masing.

Pemimpin itu bukan soal pakaian. Bukan soal jabatan. Bukan soal mobil dinas. Ia soal akal, nurani, dan keberanian.

Kelak, setiap kepala akan ditanya nanti: Apa yang kau pimpin? Apa yang telah kau jaga? Itu pesan dari langit. Itu janji dari kitab.

Kalau bicara kepala daerah, dulu, kepala daerah ditunjuk. Bisa oleh gubernur. Bisa oleh dewan. Sering kali, rakyat tak punya suara. Tak bisa memilih pemimpinnya.

Tapi, zaman berubah. Reformasi datang membawa angin segar. Harapan. Pemilihan kepala daerah kini langsung. Langsung oleh rakyat. Langsung di bilik suara. Langsung dari suara hati.

Itu lebih jujur. Lebih adil. Lebih bermartabat.

Mereka yang terpilih adalah mereka yang dipilih rakyat. Bukan karena kekuasaan. Bukan karena harta. Tapi karena hati rakyat percaya.

Pemimpin sejati tak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari perjalanan. Ditempa waktu. Diuji musim. Dipahat oleh kesabaran dan pelayanan.

Pemimpin sejati tak haus panggung. Ia rendah hati, namun tegak wibawa. Ia jujur, meski pahit. Ia sederhana, meski mampu mewah. Dan, yang terpenting: Ia ada saat rakyat membutuhkannya. Bukan hanya saat kampanye saja.

Menjadi kepala daerah tak harus lahir dari kota tempat ia lahir. Putra daerah bukan syarat utama. Yang utama adalah integritas. Kompetensi. Keberanian memikul beban rakyat.

Kita ingin pemimpin yang beradu program, bukan beradu hina. Bersaing gagasan, bukan bersilat lidah. Kampanye tanpa menghitamkan yang lain.

Demokrasi itu pertarungan akal, bukan otot. Rakyat sudah cerdas. Sudah muak dengan drama politik kalau sekadar untuk viral dan pencitraan.

Pemimpin pilihan rakyat biasanya bertahan lama. Bukan hanya di jabatan, tapi di ingatan. Kalau kebaikannya nyata, rakyat akan mengingat. Bahkan ketika ia sudah tiada. Namanya akan hidup dalam doa dan cerita.

Tapi kalau pemimpin mengkhianati rakyat? Percayalah, rakyat juga punya cara melupakan. Pelan-pelan, ia akan hilang dari ruang dan waktu. Tak ada lagi yang mengingat jasanya. Tak ada anak kecil yang tahu namanya.

Kata orang tua: hidup itu hukum sebab-akibat. Siapa menanam, dia menuai. Batu yang dilempar hari ini, akan kembali. Tak tahu kapan. Tapi pasti.

Chairil Anwar, penyair yang ingin hidup seribu tahun lagi meski ia mati muda menulis: “Semua dicatat. Semua mendapat tempat.” Betul. Tak ada yang luput dari perhitungan. Termasuk kepala.

Tahun lalu, banyak daerah telah memilih pemimpin. Ada yang baru. Ada yang lama ingin kembali. Harapan kita satu: Mereka benar-benar amanah. Memimpin dengan nurani.

Kita ingin pemimpin yang ringan tangan, berat pikir. Cepat hadir saat dibutuhkan. Tak banyak alasan. Tak banyak janji kosong.

Minimal, mau balas pesan WhatsApp kalau rakyat butuh perhatian. Meski hanya dengan emoji. Meski ajudannya yang membalas. Rakyat akan senang. Komunikasi adalah penghormatan.

“Saya bahagia, Bu,” kata seorang ibu. “Saya kirim pesan ke kepala daerah. Lalu dibalas. Rasanya dihargai.”

Bahagia itu memang sederhana. Sederhana sekali. Seperti kepala yang menunduk dalam hormat. Bukan tegak karena sombong. Sebab menjadi kepala, pada akhirnya, bukan soal berada di atas. Tapi tentang menunduk untuk mendengar, membungkuk untuk merawat, dan menatap mata rakyat tanpa jarak.

Kepala yang bijak tahu kapan bicara dan kapan diam. Kapan memimpin dan kapan melayani. Dan kelak, ketika masanya habis, kepala yang pernah lurus menatap harapan rakyat itu akan dikenang bukan karena gelarnya, tapi karena hatinya yang tulus—yang pernah hadir di antara luka, harapan, dan doa-doa yang tak bersuara. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan