Keluar dari Penderitaan, Belajar dari Buddhisme

Penderitaan adalah bagian tak terhindarkan dari hidup, namun ajaran Buddhisme menawarkan jalan untuk mengatasinya.

Oleh Wilfridus Fon

DALAM hidup, semua orang senantiasa ingin bahagia. Damai. Sukacita. Sejahtera. Singkatnya, orang tidak ingin menderita. Namun, apa yang diharapkan dalam kenyataannya tidak selalu sama. Penderitaan malah menjadi sesuatu yang sulit terhindarkan.

Penderitaan menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, kuasa penderitaan itu dingin. Irasional. Tak berperasaan. Bak singa, ia menerkam siapa saja tanpa memandang status sosial. Kedatangannya selalu mengejudkan. Ia datang tanpa mengetuk pintu. Tidak memiliki alur rasional. Dan, tanpa meminta petimbangan subjektif seseorang.

Penderitaan menyangkut aneka pangalaman pedih dan menyakitkan yang menghambat terwujudnya kebahagiaan.

Dalam dunia politik, ada pemimpin tertentu yang menderita ketika kehilangan jabatan politisnya. Untuk mengatasi itu, segala cara dihalalkan, baik cara etis maupun non-etis, agar posisinya tetap bertahan. Bahkan, ada politisi tertentu menderita karena tidak puas dengan gaji akhirnya terjebak korupsi.

Dalam dunia percintaan, ada orang menderita karena berpisah dengan orang yang dicintai dan disayangi entah karena perceraian, putus cinta, maupun meninggal dunia. Atau, menderita karena ada orang yang dulu menjalin relasi harmonis dengan orang lain, tapi sekarang saling bermusuhan.

Dalam dunia akademik, ada pelajar tertentu yang menderita ketika gagal dalam belajar. Misalnya, mendapatkan nilai rendah saat ujian, dan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai bagus yang dicapai sebelumnya.

Dalam dunia ekonomi, ada yang menderita ketika bisnis mereka sudah di puncak kajayaan pada akhirnya gulung tikar. Atau, menderita karena kolapsnya karier yang telah mapan.

Ada juga yang menderita ketika tubuhnya berubah. Rupa yang dulu tampan dan cantik kini menjadi tua. Kulit mulus menjadi keriput. Tubuh yang dulu kekar menjadi lemah, ringkih, tak berdaya, dan lesuh karena faktor penuaaan. Kesehatan menjadi kesakitan.

Ada yang menderita dikala ditimpa bencana alam. Orang menderita ketika rumah yang telah dibangun sejak lama pada akhirnya runtuh karena gempa. Atau, menderita karena pakayaan-pakayaan dan perhiasan-perhiasan terbawa arus banjir.

Penderitaan membawa dampak yang manyakitkan. Frustasi. Stress. Trauma. Kecewa. Amarah. Kesedihan. Keterlukaan. Hingga pada titik ektrem, ketika seseorang tidak bisa menanggung penderitaan, maka bunuh diri menjadi solusinya.

Lalu, apa yang kita lakukan agar keluar dari penderitaan yang senantiasa datang menyapa?

Belajar dari Buddhisme

Ajaran Buddisme kiranya berkontribusi signifikan dalam hal ini. Buddhisme bermula di India sekitar 528 SM yang diawali dengan pengalaman pencerahan Siddhartha Gautama. Pasca mengalami pencerahan, ia dikenal dengan nama Buddha [=orang yang dicerahkan] (Koller, Filsafat Asia, 2010:277). Guna keluar dari penderitaan, kita mesti mengenal terlebih dahulu sumber penderitaan ala Buddisme.

Pertama, Duhkha. Bagi Buddhisme, hidup ini adalah Duhkha, sesuatu yang tidak terpuaskan. Dunia tidak pernah memberikan kepuasan bagi manusia. Sebaliknya, manusia tidak pernah puas dengan hidupnya. Ia seolah terhanyut dalam arus ketidakpuasan. Alhasil, manusia selalu mencari dan mencari. Ketika manusia tidak meraih keinginannya, maka dia akan menderita. Penderitaan itu muncul ketika dihadapkan pada fenomena kesakitan, kegagalan, kehadiran hal-hal yang tidak menyenangkan, ketiadaan hal-hal yang menyenangkan, perpisahan dengan orang-orang yang dicintai, dan hasrat yang tidak terpuaskan [Ibid., hlm. 317].

Kedua, ketidaktahuan akan kodrat eksistensi. Hidup ini begitu indah dan menyenangkan. Akan tetapi, di balik itu, hidup ini memiliki kodrat yang rapuh. Fana. Terbatas. Dinamis atau selalu berubah. Dan, tidak permanen. Jika kodrat eksistensi ialah fana, maka pekerjaan, jabatan, harta benda, rumah, tubuh kita juga sementara. Ada saat di mana semuanya hilang, berubah, lenyap, dan pergi. Karenanya, hasrat mempertahankan dan memperjuangkan kestabilan serta permanensi kehidupan dipandang irasional. Ketidaktahuan akan kodrat ini membuat manusia menderita [Ibid., hlm. 319-320].

Lalu, bagaimana cara keluar dari penderitaan? Buddisme menawarkan enam jalan mulia [Ibid., hlm. 325-329].

Pertama, pandangan yang benar. Memiliki pandangan yang benar berarti manusia melihat hidupnya sebagai apa adanya, bukan apa yang seharusnya. Bertindak untuk melawan kodrat eksistensi yang fana adalah kesia-siaan belaka. Hal ini justeru membuat manusia frustasi, stress, lalu pada akhirnya menderita.

Kedua, niat yang benar. Manusia harus paham tentang segala sesuatu yang ada di bawah kontrol dan di luar kontrolnya. Pikiran, niat, dan tindakan ada di bawah kontrol manusia. Sedangkan, jabatan, karier, kematian, kegagalan, penuaan, dan gejala alam berada di luar kendali manusia. Biarkan hal-hal yang di luar kontrol bekerja berdasarkan alur kerjarnya. Ketika manusia berupaya mengendalikan hal-hal di luar kontrolnya, maka penderitaan akan datang menyusul.

Ketiga, bicara yang benar. Bicara benar berarti mencegah semua pembicaraan yang melukai diri sendiri dan orang lain. Berbicara benar menghindari penipuan, pemfitnahan, pembunuhan karakter, pembicaraan yang kasar, gosip, dan pengunaan bahasa yang tidak sopan. Ketika semuanya dihindari, maka manusia akan mengalami kebahagiaan serentak bebas dari penderitaan.

Keempat, tindakan yang benar. Tindakan yang benar merujuk pada perbuatan-perbuatan yang menopang perdamaian, kebahagiaan, dan menghargai martabat semua makhluk hidup.

Kelima, mata pencarian yan benar. Hal ini menekankan usaha benar dalam mencari nafkah hidup melalui usaha yang manusiawi, berguna, tidak memeras orang lain, dan tidak korupsi.

Keenam, olah batin dan pikiran yang benar. Hal ini merujuk pada usaha mencegah dan membebaskan diri dari pikiran yang jahat dan tidak sehat, menciptakan keadaan pikiran yang baik dan sehat, dan mengembangkan dan menyempurnakan keadaan pikiran yang baik dan sehat yang sudah ada. []

Wilfridus Fon, Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledaleo, Maumere.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Wilfridus Fon

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan