Kekasih
Kenangan masa kecil tentang Ramadan, terutama kebersamaan dengan orang tua, menjadi pengingat betapa berharganya waktu yang telah berlalu.

Oleh Muhammad Subhan
RAMADAN sebentar lagi pergi. Lebaran Idulfitri akan tiba.
Bulan suci itu seperti kekasih yang dirindukan. Saat ia datang, hati berbunga. Saat ia pergi, hati terasa hampa.
Baru saja bersua, saling mengasihi, tiba-tiba harus berpisah. Sakitnya tak tertanggungkan.
Bagi yang mencintainya, berat rasanya ditinggalkan. Namun, banyak pula yang menyia-nyiakan kehadirannya.
Seharusnya, Ramadan menjadi waktu untuk saling memberi dan menerima, memungut kebahagiaan bersama.
Ketika ia benar-benar pergi, barulah terasa kehilangannya. Terkejut, terpekik, kenapa waktu begitu cepat berlalu.
Demikianlah manusia. Ketika ada, sering diabaikan. Saat tiada, baru terasa kehadirannya. Ingat lagu Rhoma Irama, Kalau sudah tiada/ Baru terasa/ Bahwa kehadirannya/ Sungguh berharga ….
Kehilangan Ramadan ibarat kehilangan amalan. Banyak yang tak dikerjakan dengan seharusnya. Dunia lebih menggoda dibanding akhirat. Padahal, doa sapu jagat mengajarkan keseimbangan dunia dan akhirat.
Siapa pun yang berpuasa akan merasakan kepergian Ramadan. Hati terbawa iba. Banyak ibadah yang tak ditemui di luar Ramadan. Salat Tarawih, sahur, berbuka, dan amalan sunah lainnya bernilai pahala berlipat.
Kuliner Ramadan pun membekas. Uniknya, di luar Ramadan, makanan itu jarang dijumpai.
Saat kecil, saya pernah ikut ayah merantau ke Tanah Rencong. Salah satu penganan berbuka favorit saya adalah timun suri. Orang Aceh menyebutnya timun Aceh. Saat Ramadan, timun itu membanjiri pasar.
“Ini timun suri, antarkan ke dapur. Suruh emak kau bikin minuman untuk berbuka,” kata Ayah, puluhan tahun lalu di Aceh.
Timun itu dibungkus pelepah pisang. Kemasannya khas. Saya segera menyambutnya. Besar dan segar. Sebesar pepaya jumbo. Kulitnya hijau kekuningan. Jika dikupas, air liur seketika menetes. Kadang terbawa mimpi karena kelezatannya.
Ibu pandai meraciknya. Isinya dikorek dengan sendok, lalu dimasukkan ke dalam ceret plastik. Ditambah sirup, lalu saya disuruh membeli es batu. Timun, sirup, es batu, bercampur jadi satu.
Menjelang berbuka, saya duduk menghadap gelas berisi timun. Berpangku tangan di bibir meja. Mata tak lepas dari hidangan.
Waktu terasa lambat. Jarum jam dinding dilirik berulang kali. Beduk di meunasah tak juga berbunyi. Menit terasa sejam-dua jam.
Ketika beduk akhirnya ditabuh, saya melompat. Gelas timun Aceh saya sambar. Sekali teguk, tandas sudah.
Perut saya kecil, tapi lambungnya seperti karet, lentur dan menampung banyak. Setelah kenyang, sendawa pun terbit. “Uoookkk…!” Lega.
Ayah dan Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Tak elok kau makan minum terburu-buru. Pelan-pelanlah. Bisa tersedak nanti,” kata Ayah.
Saya mengangguk, tapi besok diulang lagi.
Tahun-tahun indah itu berlalu. Ayah telah pergi ke alam baka. Tak kembali lagi.
Kini, kenangan masa kecil tak dapat diulangi. Perkampungan damai, rumah di tengah sawah, sungai kecil penuh lele dan belut, serta teman-teman kecil yang selalu ceria, tak bisa saya lupakan.
Semua itu adalah kekasih yang telah tiada. Tak lagi dapat bersua.
Saya ingat betapa Ayah mengayuh sepeda onta tua, belasan kilometer ke kota. Hanya untuk membeli timun Aceh. Demi membujuk saya agar berpuasa penuh. Tak boleh bolong-bolong.
“Kau sembahyang bisa dilihat orang. Tapi puasa, hanya kau dan Allah yang tahu. Jujurlah. Jangan tinggalkan yang wajib jika masanya sudah tiba,” nasihat Ayah setiap Ramadan.
Saya tercenung. Mengingat almarhum Ayah, kekasih hati saya.
Di penghujung Ramadan ini, mata saya berkaca-kaca. Sebentar lagi gema takbir berkumandang. Di surau dan masjid, bersahut-sahutan. Mengagungkan nama Tuhan. Lebaran pun tiba.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu ….
“Ya Allah, ampunilah dia, berikanlah rahmat, kesejahteraan, dan maafkanlah dia.” Aamin yaa Rabbana. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah