Kebaikan

Kebaikan bukan hanya soal diri sendiri, tapi tentang energi yang menyebar ke sesama.

Oleh Muhammad Subhan

SETIAP orang ingin hidup baik. Tapi kadang lupa, kebaikan bukan hanya urusan diri sendiri.

Kita hidup saling terhubung. Saling tersambung. Saling memengaruhi. Saling menulari.

Kalau satu orang rusak, kerusakannya bisa merembet ke mana-mana.

Seorang anak yang dimarahi gurunya di sekolah bisa pulang dan memukul adiknya. Seorang suami yang stres karena atasannya curang bisa jadi ayah yang dingin di rumah.

Dan begitu seterusnya.

Lingkarannya panjang. Kadang tak terlihat, tapi nyata.

Maka, kalau ingin baik, ayo baik bareng-bareng. Karena kebaikan itu energi yang bisa menyebar.

Tapi sebaliknya, keburukan juga bisa menjalar.

Kita tidak bisa hidup sendiri, lalu berharap orang lain tidak terpengaruh oleh apa yang kita lakukan. Bahkan hal kecil seperti menyapa atau senyum bisa berdampak.

Maka, pilihlah koneksi terbaik. Jangan yang susah loading, apalagi yang rusak.

Hidup terlalu pendek untuk diisi oleh orang-orang yang suka merusak suasana.

Kita semua butuh perbaikan. Meskipun sudah merasa cukup baik, selalu ada ruang untuk jadi lebih baik. Bahkan, orang yang paling sabar pun masih bisa belajar untuk lebih tenang. Orang yang sudah dermawan masih bisa belajar lebih ikhlas. Dan, orang yang sudah bijak masih bisa belajar lebih rendah hati.

Tidak ada titik akhir untuk perbaikan diri.

Masalahnya, sebagian dari kita merasa sudah cukup. Sudah baik, sudah sopan, sudah salat, sudah bersedekah, lalu berhenti di situ.

Padahal, hidup terus berjalan.

Kalau kita berhenti memperbaiki diri, lama-lama kita akan tergerus.

Kebaikan yang tidak dilatih bisa melemah. Sikap baik yang tidak dijaga bisa hilang pelan-pelan.

Di sisi lain, ada juga orang yang merasa terlalu rusak untuk diperbaiki. Merasa hancur, gagal, tidak punya harapan. Padahal, kebaikan itu bisa tumbuh dari hal-hal yang kecil. Dari niat untuk berubah. Dari usaha sederhana untuk tidak marah-marah hari ini. Dari keinginan untuk minta maaf. Dari keputusan untuk memaafkan.

Tidak apa-apa kalau hari ini baru bisa berbuat baik satu hal saja. Itu sudah cukup untuk memulai. Yang penting, tumbuhkan rasa bangga dalam diri.

Tapi ingat, bukan sombong, melainkan sebagai cara menjaga harapan. Karena saat seseorang mulai percaya bahwa dirinya bisa melakukan kebaikan, itu akan menguatkan semangat untuk terus melangkah.

Masalahnya, banyak orang terlalu keras menilai diri sendiri. “Aku ini buruk,” katanya. Lalu menyerah. Padahal, siapa pun punya sisi gelap. Tapi kita juga punya potensi untuk menyala. Untuk bercahaya.

Kuncinya, jangan fokus pada kerusakan. Fokuslah pada kemungkinan untuk tumbuh.

Dan, satu hal penting yang sering kita lupakan: kita lebih sering membaca orang lain daripada membaca diri sendiri. Kita sibuk menilai. Sibuk menunjuk. Tapi lupa berkaca.

Padahal, kitab paling sulit dibaca adalah diri sendiri.

Kita sering lebih cepat melihat noda di baju orang lain daripada robek di pakaian sendiri. Kita mudah menuduh, tapi malas mengoreksi.

Menghina orang lain tidak membuat kita jadi lebih baik.

Merendahkan orang tidak membuat kita lebih tinggi.

Kalau kita mengejek, bukan orang itu yang terlihat buruk, tapi kita sendiri.

Ironisnya, makin pintar seseorang, makin besar pula potensi untuk menyakiti lewat kata-kata.

Apa gunanya pendidikan tinggi, kalau akhirnya hanya digunakan untuk menjustifikasi keburukan?

Menjadi baik memang pilihan. Tapi juga perjuangan.

Tidak semua orang tahan untuk tetap baik di tengah keburukan.

Tidak semua orang sanggup bersikap sabar saat lingkungan penuh umpatan. Tapi justru di sanalah nilai kebaikan itu diuji.

Kalau ingin hidup nyaman dan ideal, maka prinsipnya sederhana: setiap hari harus ada kebaikan yang kita lakukan. Sekecil apa pun itu.

Karena kebaikan itu seperti air. Menetes sedikit demi sedikit, tapi bisa mengikis batu. Bisa mengubah wajah hidup.

Dan, karena kita semua saling tersambung, kebaikan itu akan sampai ke orang lain. Entah kapan. Entah bagaimana. Tapi pasti sampai.

Maka, jangan menunggu sempurna untuk memulai. Jangan menunggu semuanya kondusif dulu.

Kadang, justru di tengah situasi paling rusak, kebaikan kecil kita bisa jadi penerang.

Kalau ingin baik, ayo baik barengbareng. Karena sendirian itu berat. Tapi bersama, kita bisa menyalakan sesuatu yang lebih terang.

Namun, tetap saja, semua itu pilihan. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan