Oleh Ahmad Bukhori
AKU ingin bercerita kepada kamu tentang kisahku ini. Kisah yang tidak pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Aku selalu menjaga rahasia ini, tapi entah kenapa aku percaya kamu. Aku ingin sekali kamu mendengarkan cerita masa laluku ini, terutama bagian yang sangat rahasia. Baiklah, aku akan mulai ceritaku ini. Aku minta kamu jangan membuka rahasiaku ini kepada siapa pun, seperti aku juga tidak pernah menceritakan kepada anak-anak dan istriku, terutama bagian yang orang lain sama sekali tidak boleh tahu.
Aku dilahirkan di Jakarta, mulai dari SD, SMP hingga STM aku sekolah di Jakarta. Kedua orang tuaku mengadu nasib di Jakarta, merantau meninggalkan desa karena di desa, kata bapakku, tidak mudah mendapatkan uang meskipun sehari-hari tidak pernah kurang makan. Hasil kebun dan sawah selalu saja ada.Tapi kata bapakku, hidup bukan hanya masalah makan saja, tapi juga harus memiliki banyak uang untuk masa depan agar dihormati masyarakat. Jakarta, kota metropolitan, menjanjikan segalanya. Ibu kota negara, pusatnya uang ada di sini, di Jakarta, kata bapakku. Buktinya, di Jakarta banyak orang sukses, mulai dari artis, pedagang, pengusaha, hingga politisi, semua ada di Jakarta, datang dari daerah.
Tentu saja semua kesuksesan itu tidak diraih dengan mudah, tapi melalui kerja keras dan tidak mudah menyerah. Ya, meskipun banyak juga yang tidak beruntung dan menjadi gelandangan.
Kami sudah beberapa kali pindah tempat tinggal. Rumah kami dulu di kontrakan dan selalu naik harganya tiap tahun. Kemudian sedikit demi sedikit Emak dan Bapak mengumpulkan uang dan bisa juga memiliki rumah sederhana atas nama sendiri, ditambah uang hasil menjual sawah di desa. Rumah kami di sebuah gang di dekat sungai, jadi langganan banjir kalau musim hujan tiba hingga air masuk ke dalam rumah. Lingkungan yang kurang sehat, sebetulnya. Sering kali ada penjudi, pemabuk sampai ngamuk, juga kadang ada transaksi barang hasil curian. Aku melihat sendiri semisal tape mobil dijual di bawah harga atau motor bodong alias motor tanpa surat-surat resmi.
Bapak dan emakku selalu bilang agar jangan dekat dengan mereka. Boleh mengenal, tapi jangan akrab. Tapi pernah juga orang minta dijualkan aki motor dan aki mobil dengan harga murah, ya aku jual saja ke teman sekolah. Asal dapat untung, barang aku lepas. Bapak dan Emak tidak tahu. Sebelumnya, Bapak dan Emak gonta-ganti pekerjaan, mulai dari jual nasi goreng keliling, membuka warung nasi, lalu menjadi buruh menjahit di konveksi, hingga Bapak jadi tukang potong bahan untuk celana dan Emak buka toko kelontong.
Pada tahun 1990 aku lulus STM. Semasa sekolah, aku sering terlibat dalam tawuran, entah itu diserang sekolah lain atau menyerang sekolah lain. Terkadang berpapasan dengan lawan secara tidak sengaja di jalan, bentrokan pun tak dapat dielakkan hingga pernah ada yang meninggal dunia. Singkat cerita, akhirnya aku lulus sekolah. Ke sana kemari aku mencari kerja, namum belum juga beruntung.
Suatu hari, aku bertemu dengan teman sekolahku dulu. Ia memiliki lahan parkir yang cukup luas. Tepatnya, temanku itu dipercaya oleh bosnya. Aku diajak bekerja olehnya. Seminggu aku bekerja, hasilnya lumayan untuk menyambung hidup, lebih dari cukup untuk makan sehari-hari dan membeli sebotol bir setiap hari. Lingkungan kerja tidak sehat tentunya. Jika malam telah tiba, beberapa teman memilih menghabiskan waktu untuk berjudi menggunakan kartu remi atau gaple. Untuk mempererat rasa pertemanan, kata mereka.
Terkadang cekcok karena dianggap ada yang curang. Ada juga yang suka memasang nomor SDSB (sumbangan dermawan sosial berhadiah), semacam lotre yang diresmikan oleh pemerintah. Untuk mengetahui nomor yang keluar, orang-orang yang membeli nomor SDSB harus mendengarkan hasil lotre dari radio pada malam hari. Aku tidak suka berjudi, kecuali sesekali buat iseng.
Suatu malam, lahan parkir kami diserang oleh kelompok lain. Aku terlibat dalam bentrokan itu. Lima orang temanku luka parah terkena sabetan pedang dan celurit. Satu orang lagi kritis terkena peluru pistol rakitan. Mereka dilarikan ke rumah sakit. Kami dalam keadaan tidak siap. Aku pulang, berlari sendirian melewati jalan tikus menghindari kejaran lawan dan polisi. Sesampainya di rumah, emakku langsung bertanya.
“Kenape, lu? Ngos-ngosan kayak orang dikejar-kejar setan,” tanya emakku sambil menata dagangan di toko kelontong kami.
Aku dengarkan pertanyaan Emak sambil menghabiskan dua gelas air putih, lalu aku jawab,
“Nggak ape-ape, tadi cuman dikejar polisi, bonceng temen nggak pake helm.” Emakku percaya saja.
Aku pergi ke kamar sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Emak kembali sibuk menata dagangannya, sebuah toko kelontong kecil masih serumah di gang tempat tinggal kami. Rumah milik sendiri, bukan kontrakan. Dua lantai dengan tangga, dan lantai dua menggunakan papan kayu.
Bapak punya pekerjaan sendiri. Kerjaan sehari-harinya memotong bahan kain orderan dari konveksi. Sesekali membantu Emak melayani pembeli atau mengantar ke pasar kulakan dagangan. Aku memiliki dua saudara, aku anak kedua. Kakak perempuanku sudah menikah, tinggal bersama suaminya jauh di lain kota. Adikku laki-laki, masih sekolah. Sebagai Abang, kadang adikku meminta uang kepadaku, menganggap aku sudah bekerja dan berpenghasilan. Aku memberinya tanpa rasa keberatan. Adikku sekolah di SMA, tidak sama denganku yang dulu sekolah di STM, di mana setiap kali sekolah aku membawa palu atau obeng untuk praktik. Terkadang juga digunakan untuk tawuran.
“Mangkanya lain kali kudu pake helm kalo naik motor.”
Esoknya aku tidak berangkat kerja. Temanku datang ke rumah, memberi kabar agar aku datang ke tempat biasa. Kami tidak banyak bicara. Intinya, Bos akan membicarakan hal penting untuk langkah selanjutnya atau kemungkinan besar akan melakukan serangan balasan. Pimpinanku seorang bos yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Tidak ada anak buah yang berani membantah perintahnya. Kami semua menghormatinya. Penghasilan dari pekerjaan yang ia berikan cukup untuk menghidupi setiap anggota dan keluarganya. Dia bukan orang asli Jakarta, tapi pendatang dari Indonesia Timur.
Selepas magrib aku menuju lokasi. Sebuah bayonet arisaka peninggalan Jepang yang aku beli di pasar loak kusembunyikan dan aku ikat di kaki, ditutupi celana. Aku naik mikrolet. Setelah sampai, aku turun memasuki sebuah gang untuk menghindari daerah lawan. Tapi siapa sangka, di gang itu aku malah diadang oleh seseorang yang tidak bersahabat. Perawakan tubuhnya lebih besar dari tubuhku.
“Anak mana, lu?” Aku diam saja.
“Elu pasti anak sono, ya? Yang sok berkuasa di parkiran Pasar Tanah Abang.” Dalam sekejap ia mengambil pisau lipat dan menodongkan ke mukaku.
“Sialan, aku masuk ke sarang lawan,” geramku dalam hati.
Saat dia lengah, aku tendang kelaminnya dengan lutut. Dia jatuh kesakitan. Langsung saja aku cabut bayonet yang aku sembunyikan di kaki. Aku tusukkan ke perutnya sebelum dia membalas. Darahnya muncrat ke bajuku. Aku gemetar, itu tindakan pertama yang aku lakukan. Aku langsung kabur. Baju kotak-kotak lengan panjangku yang penuh dengan bercak darah aku buang ke sungai. Bayonet yang aku gunakan untuk menikam tadi juga aku buang sekalian. Aku mengenakan kaos dalam dan berlari sekuat tenaga menuju pulang, sesekali berjalan cepat. Setelah dekat rumah aku mulai berjalan tenang.
Sesampainya di rumah, Emak lagi sibuk menata dagangan seperti biasa. Aku masuk ke rumah secara diam-diam. Mandi sebentar dengan air PAM yang keluarnya tidak lancar, membasuh tangan yang terkena cipratan darah.
Esok harinya, aku baca koran langganan Bapak. Halaman berita kriminal berjudul
“Laki-Laki Usia 30 Tahun Mati Ditikam Pisau di Sebuah Gang”.
Ciri dan tempat kejadian persis seperti kejadian semalam. Aku baca isi koran dengan saksama. Bukan kebiasaanku membaca koran, tapi berita itu cukup menarik perhatianku. Betapa kagetnya aku, ternyata ujung pisau itu mengenai jantung lawanku. Aku ingat detail peristiwa saat aku menikam memang tidak lurus ke depan, tapi dari bawah menancap ke atas. Aku melanjutkan membaca, di bagian lengan terdapat tato kepala singa.
Aku terdiam sejenak. Aku berpikir keras. Pastilah aku menjadi DPO. Daftar pencarian orang alias buron, menjadi buronan polisi, sekaligus menjadi buronan musuh. Huh, aku menghela napas, berpikir keras untuk menghilangkan jejak. Aku mendapatkan ide, pulang ke rumah Mbah Uti!
*
Malam itu, aku harus berpikir keras bagaimana agar aku sampai ke rumah Mbah Uti. Jika aku pamit kepada Emak, pastilah tidak akan diizinkan. Alasannya bisa berbagai macam, mulai dari tenagaku yang dibutuhkan, hingga takut merepotkan Nenek. Akhirnya kuputuskan agar aku diam-diam saja pergi meninggalkan rumah. Namun, aku tetap memberi tahu adikku ke mana aku akan pergi agar Emak dan Bapak tidak terlalu khawatir. Sepulang sekolah aku panggil dia.
“Alex, sini. Abang mau ngomong.” Adikku menghampiri, masih mengenakan seragam sekolah.
“Ada apa, Bang?”
“Gini, Abang mau pergi, tapi kamu jangan bilang ke Emak, ya. Maksudnya jangan bilang sekarang. Bilangnya entar kalau Abang udah pergi.”
“Emang mau pergi ke mana, sih? Tinggal bilang aja, kok.” Alex menimpali.
“Udah, pokoknya kamu diem dulu. Ini duit buat kamu.” Alex tampak senang menerima uang, dilihat dan dihitung berapa lembar uang yang aku berikan.
“Emang Abang mau pergi ke mana, sih? Entar Alex biar bisa jawab kalau Emak nanya,” tanyanya sambil memasukkan uang ke dalam saku celananya.
“Ke rumah Mbah Uti,” jawabku singkat. “Tapi elu bilangnya kalau Abang sudah pergi, ya,” lanjutku menegaskan.
“Maksudnya mau ke Jawa?” Kali ini ia terkejut sambil mengernyitkan dahi.
Aku mengangguk. Alex terdiam.
Aku masuk ke dalam kamar menyiapkan barang-barang yang perlu aku bawa. Tidak perlu membawa banyak barang, cukup beberapa pakaian saja untuk ganti agar tidak mengundang kecurigaan dari Emak dan Bapak. Barang-barang aku masukkan ke dalam tas dan aku tinggal dulu di kamar.
Aku kenakan topi untuk menutupi muka, lalu datang ke tempat pangkalan travel. Aku temui sopir travel yang aku kenal. Aku pesan satu kursi penumpang, masih ada bahkan masih longgar. Bukan hari libur, jadi tidak banyak penumpang dari Jakarta ke Jawa. Aku bayar setengah dulu sebagai tanda jadi, dengan harga jauh lebih murah daripada travel resmi. Aku kembali ke rumah, aku tidak bisa berada di luar rumah lama-lama. Musuh atau polisi bisa saja melihat keberadaanku.
Waktu menjelang petang. Aku pergi meninggalkan rumah saat Emak dan Bapak tidak di rumah. Langsung ke pangkalan travel siang tadi. Mesin mobil sudah dinyalakan.
“Kita berangkat lebih awal. Sudah nggak ada penumpang lain, tinggal nunggu elu doang.” Begitu ucap sopir dengan logat Jawa yang tidak begitu kental. Aku mengangguk.
“Tapi elu di belakang, di atas barang, tuh. Mendadak tadi ada bawaan bahan celana sepuluh pis, sama barang yang lain. Kalau elu mau, kurangnya nggak usah elu tambahin, deh. Gimana?” tanyanya melanjutkan.
Aku setuju saja. Lumayan, sisa uang bisa buat beli rokok dan makan malam di perjalanan.
Mobil L300 warna gelap yang aku tumpangi melaju pelan melewati kemacetan. Tas aku sisipkan di pinggir. Aku duduk di atas tumpukan bahan kain celana. Sesekali aku tiduran. Bisa juga bersandar di tumpukan gulungan bahan, sekaligus untuk menyembunyikan mukaku. Mobil travel memasuki jalan raya Pantura.
Tak lama kemudian, aku tertidur. Sesampainya di daerah Subang, mobil tiba-tiba berhenti. Aku terbangun. Aku kira masuk ke rumah makan, ternyata mobil yang aku tumpangi dihentikan polisi. Jantungku berdebar-debar. Deg-degan khawatir polisi itu mengenali mukaku. Mukaku aku tutupi topi. Aku benamkan di tumpukan kain sambil sesekali mengintip, mencoba menebak apa yang dibicarakan sopir dengan para polisi itu. Sopir menunjukkan SIM dan STNK, di dalam lipatan STNK sudah disiapkan selembaran uang. Tak lama kemudian, sopir duduk dikursinya lagi. Mobil kembali melaju. Aku merasa lega, tidak lagi waswas. Semua kekhawatiran terlewati setelah mobil melewati polisi itu.
“Tadi kenapa mobil distop?” tanyaku penasaran pada sopir.
“Biasa … kayak nggak ngerti aja, lu.” Aku tersenyum, paham apa maksud jawaban Pak Sopir.
Sesampainya di rumah makan mobil kembali berhenti, tapi aku tidak berani turun. Penghentian mobil yang dilakukan polisi tadi masih melekat dalam pikiran. Sopir turun dari mobil menuju rumah makan. Sopir mengajakku, tapi aku menolak ajakannya.
Namun, rasa kebelet kencing terasa sudah di ujung. Mau tidak mau aku harus turun dari mobil menuju toilet. Setelahnya aku beli lontong dan gorengan dari pedagang asongan, juga air mineral botol kecil. Aku menuju ke tempat yang gelap. Aku habiskan makanan untuk mengganjal perut dan mengisap sebatang rokok.
Sopir yang sudah selesai makan kembali naik ke mobil dan duduk di kursinya. Aku masuk, duduk di kursi semula. Penumpang yang lain juga masuk. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mobil melanjutkan perjalanan. Sesekali ban mobil melewati jalan berlobang, membangunkan para penumpang dari tidurnya, termasuk aku. Tiba-tiba mobil terhenti karena macet. Antrean mobil mengular hingga satu jam lebih sebab ada kecelakaan lalu lintas, truk menabrak bus. Bus dan truk itu belum bisa disingkirkan ke tepi jalan.
Beberapa polisi tampak sibuk menolong korban yang terjepit dan beberapa yang lainnya sibuk mengatur lalu lintas. Muka kembali aku tutup dengan topi dan aku rapatkan ke tumpukan gulungan sepuluh pis kain celana dan beberapa barang lainnya. Hatiku kembali lega setelah mobil yang aku tumpangi kembali melewati polisi-polisi itu.
Mobil kembali melaju, tujuanku sudah dekat. Satu per satu penumpang diturunkan sesuai tujuannya masing-masing. Mobil L300 warna gelap yang aku tumpangi melaju di area persawahan. Aku penumpang terakhir, sampai juga di halaman rumah nenek yang terletak di pinggir jalan bersebelahan dengan sawah.
“Wis, wis, wis, tekan,” kata sopir, mendadak menggunakan bahasa Jawa setelah sampai di tujuanku.
Pagi masih gelap, udara terasa segar. Aku turun dari mobil, melangkah ke rumah Mbah Uti. Di depan rumah terdapat warung nasi milik Mbah Uti. Pintu aku ketuk dan kuucap salam beberapa kali. Terdengar jawaban salam dari dalam, Mbah Uti membukakan pintu. Begitu pintu terbuka aku langsung mencium tangannya. Dan kami berbicara menggunakan bahasa Jawa ngoko ala Pantura.
“Loh, kok koe, dewekan. Endi liyane? Endi Bapak, emakmu?” tanya Mbah Uti, heran melihat aku sendiri.
“Aku dewe, Mbah,” jawabku.
“Ya Allah …. Yo wis, kene, mlebu kene. Wis kono njegok ndisik.” Mbah Uti agak terkejut. Aku duduk di kursi.
“Lah, nangopo Bapak karo emakmu ora melu?” tanyanya sambil melangkah ke belakang.
“Aku dewe. Bapak karo Emak, kan, kerja. Alex sekolah, Mbah,” jawabku mencoba menjelaskan. Aku terdiam sesaat. Jam dinding berhenti berputar, mungkin karena baterainya habis atau rusak. Mbah Uti kembali dari dapur membawa segelas teh hangat.
“Kepriye kabare Emak karo bapakmu?” tanyanya sambil melangkah.
“Apik, Mbah, sehat wal afiat.”
“Lah … koe pamit karo emakmu opo ora?” tanyanya agak cemas.
“Pamit, Mbah. Aku pami,” jawabku singkat.
“Iyo bener pamit nek lungo adoh kui pamit, ben wong tuo ora khawatir.” Mbah Uti kembali melakukan pekerjaannya.
“Mbah Kakungmu durung mulih kade mesjid, Mbah Uti wis kawit mau mulih.” Mbah Uti terus ngedumel sambil berjalan menuju warung nasi yang belum dibuka untuk memasak.
“Nek koe durung sholat Subuh, sholato ndisik, mumpung iseh ono wektu.” Perintah Mbah Uti aku lakukan. Aku pergi ambil air wudu, lalu salat Subuh di ruang salat.
Setelah selesai salat Subuh, tiba-tiba Mbah Kakung pulang dari masjid. Mbah Kakung memberi salam. Aku menjawab dan bersalaman mencium tangannya. Kami mengobrol sebentar. Mbah Kakung bertanya kurang lebih sama seperti yang tadi ditanyakan Mbah Uti. Lalu, Mbah Kakung membantu Mbah Uti membuka warung nasi. Aku ikut membantu meskipun sekadar untuk basa-basi. Mbah Kakung lalu melangkah ke belakang rumah. Kebun pekarangan belakang terdapat pohon-pohon pisang dan jambu biji. Beberapa ekor ayam, entok, dan sekitar lima puluh ekor bebek juga ada di sana.
Mbah Kakung memberi makan unggas-unggas itu. Aku mengikuti dari belakang membantu Mbah Kakung membawakan pakan. Suasana desa langsung terasa. Setelah selesai kami ke warung, menemui Mbah Uti.
Mbah Uti menjaga warung nasi. Aku dan Mbah Kakung makan di warung bergantian dengan Mbah Uti karena harus melayani pembeli juga, mereka adalah para petani yang sarapan sebelum berangkat ke sawah. Agak siang, Mbah Kakung ke sawah membawa cangkul. Aku mandi lalu tidur di kamar belakang karena mengantuk dan lelah. Di hari yang lain, Mbah Kakung menggiring bebek-bebek ke sawah usai musim panen. Telur-telurnya bisa dijual, lumayan buat tambahan sehari-hari.
Begitulah rutinitas sehari-hari di rumah Mbah Uti. Terkadang, aku membantu Mbah Uti di warung, terkadang juga ke sawah membantu Mbah Kakung. Lama-lama aku merasa tidak enak karena merepotkan Mbah Uti dan Mbah Kakung.
Aku mencari kerja di desa. Ada tetangga yang buka konveksi memiliki dua belas karyawan. Aku kerja menjahit kemeja batik di sana, setelah belajar satu minggu, diajari oleh karyawan. Setiap Kamis sore aku dapat bayaran. Maksud hati ingin memberi sebagian uang untuk Mbah Uti, tapi Mbah Uti menolak.
“Mbah Uti iseh sanggup luru duit dewe. Duitmu disimpen bae, kumpulke kanggo mbojo. Lurune wong kenenan bae ojo adoh-adoh,” bujuknya sambil tersenyum.
“Tapi aku pingin ngei duit kanggo Mbah Uti.” Aku memaksa dan menggenggamkan uang ke tangannya.
Mbah Uti tersenyum, merasa terharu. Mbah Uti selalu memiliki uang di laci, tapi pemberianku membuatnya terharu. Di samping itu, kebiasaannya berjualan di warung membuat ingatannya tajam. Jumlah barang dagangan selalu diingat, melayani pembeli menghitung tanpa kalkulator, juga tak pernah lupa detail utang piutang.
*
HARI berganti bulan. Aku kian akrab dengan teman-teman baru di desa. Mencari hiburan bersama dengan teman-teman, mulai dari orkes dangdut, layar tancap, hingga wayang kulit di lapangan desa atau jika ada orang kaya punya hajatan. Kami berangkat bersama-sama jalan kaki atau naik sepeda ke desa lain. Dari situ pula aku jadi tahu, ternyata logat bahasa Jawa berbeda-beda, bahkan berbeda desa berbeda pula logatnya. Aku makin fasih berbahasa Jawa.
Untuk kelas pekerja seperti kami, hiburan-hiburan itu sangat mewah. Sedangkan beberapa bos konveksi terkadang mencari hiburan yang lebih berkelas dan royal, kalau sedang memiliki uang lebih, mencari hiburan ke lokalisasi dan menghabiskan uang banyak untuk minum minuman keras.
Suatu hari bos baruku yang sering bolak-balik ke Jakarta untuk menjual dagangannya datang menemui aku. Dia mengajak aku mengobrol berdua. Dia menarik lenganku.
“Ono opo, Bos? Koyone serius nemen?” tanyaku penasaran.
“Iyo iki serius, aku mau pas nang kono (maksudnya lokalisasi), ketemu wong loro ngeluru koe.”
“Terus sampeyan njawab opo, Bos?” tanyaku.
“Yo aku ngomong ora ngerti.”
“Wong ngendi jarene?” tanyaku lagi makin penasaran.
“Hemmm … pokoke dudu wong kenenan, nek didelok coro ngomonge wong Jakartanan.”
“Ciri-ciri wonge priye?” tanyaku makin menyelidik.
“Nduwe tato gambar ndas singo nang lengene,” jawabnya dengan tegas.
Aku mengernyitkan dahi. Kemudian dia melanjutkan bicaranya.
“Nek jere aku koe nang kene bae, ojo metu-metu areng kota, opo maneh bali areng Jakarta, ora usah,” lanjutnya. Kemudian bos baruku itu pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku terdiam, berpikir keras memikirkan saran yang dia berikan. Langkah apa selanjutnya yang harus aku lakukan, mempertimbangkan dengan sangat perkataannya. Sepertinya dia sudah menebak masa laluku, sehingga menyarankan aku agar tetap tinggal di desa. Sebagai pengusaha dan pedagang yang sering bolak-balik ke Jakarta, dia pasti tahu peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jakarta. Mungkin juga pernah membaca koran berita kriminal atau mendengar kabar dari telinga ke telinga tentang kejadian-kejadian di Jakarta.
Sarannya aku pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Bulan pun berganti, aku mengalami beberapa kali musim panen padi. Emak dan Bapak sudah tahu keberadaanku. Hingga di tahun-tahun berikutnya, takdir mempertemukan kami. Aku menikahi gadis desa yang cantik dan sederhana. Sekarang aku bahagia hidup bersama istri, tiga anak. Yang paling besar perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adiknya tidak mau sekolah. Adiknya lagi yang paling kecil, masih sekolah SMP. Kami memiliki toko kelontong yang dijaga istriku. Kecil-kecilan, tapi sesuai kebutuhan tetangga. Aku tetap bekerja di desa sambil sesekali membantu mertua mengolah sawah.
Aku sudah mendapatkan kedamaian di desa, aku tidak pernah ingin lagi menginjakkan kaki ke Jakarta. Aku akan mengakhiri cerita ini, tapi aku harap kamu bisa menjaga rahasiaku, tidak pernah menceritakan masa laluku yang suram kepada siapa-siapa, sama seperti halnya aku tidak pernah menceritakan cerita ini kepada anak-anak dan istriku.[]
Pemalang, Februari 2025
Ahmad Bukhori, S.Sn. Guru Seni Budaya SMK Nusantara 1 Comal. Berdomisili di Desa Pagergunung Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Mendirikan kelompok Teater Reakses bersama teman-teman (2010). Menulis beberapa naskah teater untuk siswa sekolah dan kelompok Teater Reakses.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Ahmad Bukhori, S.Sn.
Editor: Anita Aisyah