Kartini
Di zaman digital, semangat Kartini menjelma jadi gerakan sunyi yang bersuara lantang dari balik layar. Ia ingin perempuan maju, tapi tetap berpijak pada martabat dan kasih sebagai inti kodratnya.

Oleh Muhammad Subhan
JIKA Kartini hidup hari ini, ia mungkin tak lagi mengirim surat panjang ke Eropa. Ia akan menulis utas viral di Twitter (X). Atau mungkin membuat konten video TikTok tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anak perempuan di desa-desa.
Ia akan membuka ruang dialog di Instagram Live. Menjawab komentar satu per satu dengan hati sabar. Menyuarakan perubahan dengan gaya yang dekat, hangat, dan tetap tajam.
Mungkin ia tak menyebut dirinya “pegiat” atau “aktivis”. Tapi semua tahu, ia sedang menggerakkan zaman.
Kartini adalah cahaya dalam gelap. Ia hidup dalam sepi, namun pikirannya menembus langit.
Dunia berubah. Tapi perempuan masih sering terkurung. Bukan lagi oleh tembok adat, tapi ekspektasi yang terus memburu. Perempuan harus sempurna. Cantik, cerdas, patuh, lembut, ambisius, dan sabar.
Semuanya sekaligus. Dari sinilah perjuangan Kartini belum selesai.
Di era digital, emansipasi punya bentuk baru. Ia tampil dalam kampanye media sosial. Dalam webinar pendidikan. Dalam gerakan literasi yang dirintis ibu-ibu kampung yang membuka taman baca. Dalam suara buruh migran yang menulis puisi di sela lelah.
Kartini hari ini bukan lagi satu sosok. Ia menjelma menjadi banyak. Ia hadir dalam ibu yang mengajar PAUD sambil menjahit. Dalam remaja desa yang mengajar coding kepada anak-anak. Dalam gadis kecil yang berani bilang, “Aku ingin jadi ilmuwan”.
Kartini tak pernah mengajak perempuan menjadi laki-laki. Ia tahu kodrat tak untuk dilawan. Tapi bukan berarti perempuan tak bisa memilih.
Kodrat bukan alasan untuk memenjarakan. Menjadi ibu, istri, anak perempuan—itu anugerah. Tapi menjadi pemimpin, pengubah, pemikir—juga bukan dosa.
Perempuan bisa menyusui anak sambil menulis puisi. Bisa mengurus rumah sambil menanam ide-ide. Bisa mencintai keluarganya tanpa meninggalkan dirinya sendiri.
Marie Curie membelah dunia ilmu dengan radium di tangannya. Rosa Parks menolak bangkit dari bangku yang “bukan untuknya”. Ruth Bader Ginsburg menulis sejarah hukum dengan tinta kesetaraan. Malala ditembak karena ingin sekolah.
Kartini tak berdarah. Tapi ia juga berperang. Dengan pena. Dengan airmata. Dengan keyakinan.
Krisis iklim bukan hanya soal teknologi. Ini juga tentang siapa yang menjaga bumi. Perempuan harus di garis depan pertanian. Perempuan menanam, memanen, memelihara alam.
Kartini akan bicara soal itu. Ia akan berdiri di tengah sawah, menggenggam benih perubahan. Ia akan mengajak perempuan desa menghijaukan kembali ladang-ladang kering. Ia akan menyusun kurikulum cinta alam di sekolah-sekolah pinggiran.
Dalam suratnya, Kartini sering menangis. Ia merindukan kebebasan. Ia gelisah atas peran yang dibatasi.
Ia menulis saat malam, ketika dunia tidur. Surat-suratnya adalah bentuk terapi batin.
Hari ini, banyak perempuan masih merasa seperti Kartini. Terjebak peran yang ditentukan orang lain. Terbungkam oleh kata “jangan” dan “harus” dan “nanti apa kata orang”.
Di media sosial, perempuan bicara soal kecemasan. Tentang tubuh yang dinilai. Tentang kerja yang tak dihargai. Tentang cinta yang tak setara. Tentang luka-luka yang disimpan.
Menghadapi semua itu, Kartini mungkin akan membuat podcast tentang mental health. Ia akan berkata: “Tak apa menangis. Tapi jangan pernah menyerah.”
Perempuan masa kini menghadapi dilema ganda. Antara meja kerja dan meja makan. Antara laptop dan popok bayi. Antara karier dan kodrat.
Kartini tak menyuruh memilih salah satu. Ia mendorong kebebasan menentukan. Ia ingin perempuan bisa berkata: “Aku memilih ini, dan aku bahagia.”
Tapi emansipasi bukan hanya urusan perempuan. Laki-laki pun harus banyak belajar. Belajar untuk mendengar. Belajar untuk berbagi beban rumah tangga. Belajar menerima bahwa perempuan tak selalu di belakang. Belajar berkata, “Aku bangga padamu” tanpa rasa terancam. Sebab, kesetaraan sejati hanya bisa lahir jika laki-laki juga bebas dari patriarki.
Kartini bukan hanya sejarah. Ia adalah cermin. Ia adalah tanya: Apakah kita sungguh bebas?
Ia adalah ajakan: Apa yang sudah kita lakukan untuk perempuan di sekitar kita?
Kartini adalah harapan bahwa pendidikan tak berhenti di kota. Bahwa kecantikan bukan syarat untuk dihargai. Bahwa suara perempuan layak didengar, bahkan dalam sunyi.
Jika Kartini hidup hari ini, ia tak akan tinggal diam. Ia akan merancang kurikulum baru untuk anak-anak perempuan. Ia akan melobi pemimpin daerah agar mendirikan sekolah di pedalaman. Ia akan mengajak kita berpikir ulang tentang makna sukses. Bukan sekadar jabatan atau angka gaji, tapi juga dampak. Ia akan berkata bahwa tak ada laki-laki hebat tanpa perempuan hebat di belakangnya.
Kartini hari ini ada di mana-mana. Di pasar, di ruang sidang, di dapur, di panggung teater, di kantor startup. Ia ada dalam diri siapa pun yang tak menyerah pada ketimpangan. Ia bukan lagi sekadar tanggal di kalender. Ia adalah semangat. Ia adalah gerak yang tak pernah berhenti.
Dan jika kita bertanya: “Apakah perjuangannya selesai?” Maka jawabannya: Belum. Tapi selangkah demi selangkah, terang itu semakin mendekat.
Karena habis gelap tak harus menunggu fajar. Kadang, cukup satu perempuan yang berani menyalakan lilin. Dunia pun bercahaya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah