Kartini dari Sungai Cisadane
Kisah cinta Is dan Fachrudin bukan sekadar romansa, melainkan jejak perjuangan dalam menuntut ilmu dan memajukan pendidikan.

Oleh Bachtiar Adnan Kusuma
SEBUAH buku yang penulis angkat kembali pada setiap 21 April bertepatan dengan kelahiran R.A. Kartini, pelopor wanita pembaharu Indonesia. Kisah nyata ini penulis urai kembali sebagai persembahan kepada guru tercinta penulis yaitu Dra. Hj. Is Fachrudin (guru Bahasa Inggris Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial Negeri Ujungpandang) dan Prof. Dr. Ir. H. Fachrudin (mantan Rektor Unhas, pendiri Fakultas Pertanian Unhas, dan mantan Anggota DPR RI). Dari kisah nyata perjalanan hidup dan cinta antara Is dan Fachrudin di samudera pencarian ilmu. Al-Fatihah untuk kedua guru kami yang tercinta….
Penuturannya runtut membingkai perjalanan cinta manusia yang penuh kesadaran menyongsong hadirnya masa depan yang lebih modern. Meski Is, perempuan tangguh itu, menorehkan dan mengungkapkan langsung pada penulis sendiri tentang babak kehidupannya, terasa manis dan simpel dalam membacanya. Is tidak terganggu dengan gaya penulisan Buya Hamka, meski dirinya pembaca serius tulisan Hamka seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Ungkapan yang indah diutarakan Is dirangkai bagai karangan bunga oleh penulis yang juga murid Is Fachrudin. Rangkaian keindahan “Kelana Cinta Is dan Fachrudin” menjelma sebuah buku yang asyik dibaca. Meski tidak ramai kutipan dialog, tetapi kisahnya mengalir laksana menonton film hitam putih dengan setting suasana pergolakan melawan penjajah. Bahkan mungkin tata tutur Is mengagumi kekasihnya, Fachrudin, bisa lebih romantis dari tokoh Milea dalam menceritakan Dilan pada novel Pidi Baiq Dilan 1990.
Penulis memilah empat etape penting dalam tapak-tapak masa silam tokohnya yang mengantarkan pembaca menyelami guratan hidup dan cinta Is dan Fachrudin. Pula, kelihaian penulis menyusun kerangka penulisan sehingga biografi ini lebih berasa novel roman yang merangkum perjuangan hidup, kelas, diaspora, pendidikan, birokrasi, dan suasana politik Orba sampai pasca reformasi.
Bumbu roman mencuat dari kisah Is kecil yang harus lahir bertepatan dengan kelahiran R.A. Kartini, 21 April 1939. Frasa kelahiran lebih metaforis membuka fase awal kisahnya. “Bumi boleh ganjing-ganjing, tapi tak seorang pun bisa menahan seorang Ibu bisa menunda kelahiran anaknya. Setelah sekian puluh tahun bumi Jepara melahirkan seorang wanita yang kelak menjadi simbol kebangkitan kaum perempuan di negeri ini, tanah basah sisa hujan semalam di Bogor juga begitu.”
Setting peristiwa pra-kemerdekaan yang gonjang-ganjing, desing perang, dan pertumpahan darah menyambut kelahiran Is kecil di Kampung Arab, melengkapi kebahagiaan Mas Dis Karnaen ayahnya dan Sukayabiti ibunya. Di mana sang Ayah adalah suku Sunda Bogor dan ibunya adalah seorang perempuan Jawa asal Sidoarjo. Kemudian seorang adiknya lahir berikutnya, Eli Kasawati. Mereka mengawali hidup dalam kesederhanaan, terus berpijak pada ajaran agama Islam yang dianutnya.
Is menceritakan pada usianya baru lewat dua setengah tahun, tepatnya tahun 1941. Saat itu armada angkatan laut Jepang dengan kapal induk yang membawa banyak pesawat terbang menjadi tontonannya. Saat itu Indonesia belum merdeka dan masih dalam cengkeraman penjajah Belanda. Sang Ayah, Mas Dis Karnaen, sempat pula bergabung dengan angkatan laut Hindia Belanda berpangkat sersan yang bertugas ke luar negeri sampai Australia. Namun saat sang Ayah kembali, Jepang sudah menguasai tanah Jawa dan seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Di situlah masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia terutama soal ekonomi. Keluarga Is pun harus rela mengelola makanan dari tepung tapioka yang berulat.
Is masuk Sekolah Rakyat (SR) yang sekarang dikenal dengan SDN 11 Bogor. Meski masih pendidikan dasar, tetapi Is sudah melahap bacaan novel sastra karya Buya Hamka. Karena kegemarannya membaca itu pula, Is digelari “Miss Hamka”. Setamat SR, Is berlanjut ke SMP 2 Bogor.
Di sanalah ia mulai menatap cita-citanya untuk menjadi guru. Guru adalah semulia cita-citanya. Tidak seperti temannya yang lain yang bercita-cita mewah menjadi dokter atau insinyur. Setamat SMP, Is lanjut ke Sekolah Guru Agama (SGA) untuk melincinkan jalannya menjadi seorang guru.
Kisah cinta Is dan Fachrudin yang agung itu bermula dari pertemuan mereka pada acara pernikahan tante Is dengan lelaki asal Palopo, Sulawesi Selatan, yang bernama Deng Situju. Sejak pertemuan itu Fachrudin semakin gencar mendekati Is. Tak jarang Fachrudin menjemputnya di sekolah untuk pulang sama-sama. Kebetulan saja rumah Is masih berdekatan jaraknya dengan asrama Sulawesi Selatan tempat Fachrudin. Hari-hari berbunga dilaluinya dengan penuh canda tawa, bertukar cerita dan pengalaman, serta berbagi suka dan duka. Sampai suatu ketika Fachrudin berikrar, “Jangan coba-coba ada yang ganggu Is Kurniati sebelum melangkahi mayatku!”. Is sempat kaget dengan ungkapan kekasihnya itu.
Kekaguman Is kepada sosok Fachrudin tertuang dalam guratan tangannya. “Seorang lelaki dari tanah seberang untuk menuntut ilmu di IPB, menjemput jodoh dan menawarkan masa depan. Fachrudin lelaki Bugis-Makassar, kokoh dengan prinsip: sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai.” Is merasakan bertemu dengan lelaki impiannya, lelaki yang tegas, berani dan bertanggung jawab. Tidak salah jika kemudian kedua orang tua mereka merestui untuk bertunangan. Bahkan kedua orang tua Fachrudin, Andi Dalle Pagiling dan Dalimah Daeng Niati, rela menempuh perjalanan jauh dari Pangkajene, Sulawesi Selatan, menembus tanah Bogor untuk membawa adat mengantarkan restunya kepada anak tercinta.
Kemudian cinta agung Is dan Fachrudin berlanjut ke jenjang pernikahan tepat hari Sabtu, 3 Oktober 1959. Rupanya inilah makna dari ungkapan Fachrudin: jangan coba-coba pernah ada yang mengganggu Is Kurniati!
Namun siapa yang dapat menduga hari esok. Siapa yang bisa menerjemahkan arti sebuah kisah serta siapa sanggup menahan arus deras kehidupan. Cinta Is, seorang guru agama, dengan lelaki tangguh Fachrudin, seorang asisten dosen di Institut Pertanian Bogor, ternyata menjadi legenda cinta untuk dunia pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan. Fachrudin menjadi tokoh penting berdirinya Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin yang telah banyak sekali menghasilkan alumni hebat. Bahkan sudah ada yang pernah menjadi Menteri Pertanian yang berprestasi.
Menyeberangi lautan dan menghirup sukma tanah Mangkasara membawa berkah bagi pasangan Is dan Fachrudin. Tepat di awal tahun 1963, mereka dikaruniai seorang bayi lelaki yang diberi nama Yanwar. Disusul kelahiran Lies, Vien, Taufiq, dan Iqbal. Kemudian suami tercinta diangkat sebagai Dekan I (1964–1966), lanjut sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unhas (1966–1969).
Di saat sang suami menjadi dekan dan tugas belajar ke Jepang, Filipina, dan Amerika, Is juga sudah tidak bisa lagi membendung hasratnya untuk kuliah. Beruntunglah Fachrudin dan keluarga besarnya sangat mendukung keinginannya. Is kemudian diterima di Jurusan Sosiologi Unhas yang saat itu masih bernaung pada Fakultas Sastra. Menjadi mahasiswa bukan sesuatu yang ringan bagi Is dalam membagi waktu. Sebagai istri dekan dengan empat orang anak tentu harus disiplin yang ketat. Meskipun sempat mengalami hal lucu saat ditaksir oleh seorang dosen muda yang mengiranya masih sebagai gadis.
Betapa pasangan Is dan Fachrudin sangat mencintai ilmu dan pendidikan dapat dipotret dari perjuangan mereka berdua dalam menuntut ilmu dan memajukan pendidikan. Sebuah catatan dalam buku yang cukup dahsyat: Menuntut ilmu tak mengenal waktu, kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina (pepatah nabi). Saya tak sampai ke Cina untuk menuntut ilmu, tetapi saya telah mencapai sebuah negeri yang lain, “negeri yang saya cita-citakan”.
Sebagai legenda cinta dalam dunia pendidikan, kebanggaan Is dan Fachrudin adalah kesuksesan dalam mendidik anak-anaknya. Si sulung Yanwar sukses sebagai kepala BPD Kota Makassar. Serta menantu-menantunya juga sukses meniti karier masing-masing seperti Prof. Dr. Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr., misalnya, ia pernah menjadi Gubernur Sulawesi Selatan dan kini cucunya, Fathul Fauzy Nurdin, menjadi Bupati Bantaeng. Namun, tidak hanya sukses mendidik dalam hal keduniawian, tetapi juga menuntunnya untuk taat pada Allah SWT, taat ibadah, dan peduli pada sesama.
Is tidak lupa menorehkan kisah singkat sang suami ketika Prof. Dr. Fachrudin harus diangkat sebagai wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR-RI dari tahun 1985 sampai 1992. Saat itu pula suaminya tengah menjabat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin. Is menuliskan betapa tidak nyamannya suaminya menjadi politisi. Curahan hati suaminya dituliskan bahwa seorang ilmuwan tidak nyaman menjadi politisi karena mempunyai dua kutub yang berlawanan. “Sebagai ilmuwan kita harus selalu berkata jujur, sedangkan sebagai politisi kita harus berkata sebaliknya.” Itulah kemudian yang menjadi alasan Fachrudin mengundurkan diri pada periode selanjutnya dan digantikan oleh Prof. Dr. Syahruddin Kaseng, mantan Rektor IKIP Makassar (sekarang UNM).
Pada fase ketiga dari buku ini, justru Fachrudin yang berkisah sendiri tentang cintanya pada Is. Dengan gaya bertutur yang lebih tegas dan on the spot, Fachrudin merangkai kisah-kisahnya yang alurnya sama dengan yang diceritakan Is. Tentu Penulis, Bachtiar Adnan Kusuma, tidak bermaksud mengusik alurnya seperti Pidi Baiq menjawab keresahan Milea dalam suara… []
Bachtiar Adnan Kusuma, penulis dan tokoh literasi.
Penulis: Bachtiar Adnan Kusuma
Editor: Muhammad Subhan