Kaba “Catuih Ambuih”: Refleksi Integritas di Era Digital, Antara Harapan dan Kemunafikan
Di balik kecerdasan mesin yang semakin pintar, moralitas manusia justru semakin tumpul.

Oleh Muhammad Ishak
Berani Jujur, Berani Tegak!
Di era digital yang penuh tipu daya,
Di mana kebenaran bisa dibeli dengan harga,
Di mana algoritma menggiring logika,
Masihkah manusia punya suara?
Kita bicara AI, bicara efisiensi,
Tapi siapa peduli soal integritas?
Sistem bisa pintar, mesin bisa cepat,
Tapi tanpa moral, semua jadi rusak!
Generasi Z, kalian masa depan!
Jangan biarkan diri jadi boneka layar,
Jangan terjebak dalam ilusi digital,
Jangan kehilangan nyali untuk berpikir kritis!
Organisasi tanpa etika hanyalah bangkai,
Dihiasi laporan, disulap data,
Namun di dalamnya penuh dusta,
Siap runtuh dalam satu skandal saja.
Pimpinan, akademisi, praktisi,
Jangan bicara soal perubahan,
Jika masih tunduk pada korupsi,
Jika masih bungkam pada ketidakadilan!
Universitas, kalian kawah candradimuka,
Bukan sekadar pabrik gelar dan ijazah!
Lahirkan pemimpin, bukan pengecut!
Lahirkan moral, bukan sekadar statistik!
Integritas itu nyali, bukan sekadar janji,
Berani jujur, berani tegak!
Karena tanpa keberanian,
Kita semua hanya budak teknologi yang gemetar dalam sunyi!
Padang, 12 Februari 2025.
(Puisi Prof. Dr. Rahmi Fahmy, SE., MBA. dalam acara Pengukuhan Guru Besar pada tanggal 18 Februari 2025 di Convention Hall Unand)
PUISI ini menggambarkan realitas pahit dari kehidupan berbangsa dan bernegara di era digital. Di tengah kemajuan teknologi yang seharusnya membawa pencerahan, justru terjadi dekadensi moral yang mengkhawatirkan. Informasi bukan lagi sekadar alat pencerdasan, tetapi telah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Algoritma yang seharusnya membantu manusia berpikir lebih objektif justru menggiring opini sesuai kepentingan segelintir pihak. Dalam pusaran kepalsuan ini, pertanyaan besar pun muncul: Masihkah manusia memiliki suara?
Teknologi Tanpa Integritas: Kecerdasan yang Kosong
AI dan otomatisasi dijadikan simbol kemajuan. Segalanya diukur dengan efisiensi, kecepatan, dan data. Namun, di balik kecerdasan mesin yang makin pintar, moralitas manusia justru makin tumpul. Sistem yang canggih tidak serta-merta membawa kebaikan jika di tangan mereka yang kehilangan etika. Tanpa moral yang kuat, teknologi hanya akan menjadi alat untuk menipu, memanipulasi, dan memperbudak manusia dalam ketidakadilan yang terstruktur.
Tata Kelola yang Carut-Marut: Organisasi Tanpa Jiwa
Puisi ini juga menyinggung kebobrokan tata kelola yang penuh dengan kepalsuan. Organisasi dan institusi yang seharusnya menjadi pilar peradaban justru berubah menjadi “bangkai hidup”—tampak megah di luar, tetapi busuk di dalam. Laporan keuangan bisa disulap, data bisa direkayasa, dan pencitraan bisa menutupi kebobrokan. Namun, semua itu hanya bom waktu yang siap meledak dalam satu skandal saja. Ketika ketidakjujuran menjadi budaya, kehancuran hanyalah soal waktu.
Generasi Z dan Ilusi Digital
Dalam pusaran digitalisasi ini, Generasi Z menjadi tumpuan harapan sekaligus korban dari sistem yang sarat manipulasi. Mereka diingatkan untuk tidak menjadi boneka layar—terjebak dalam algoritma yang membentuk opini tanpa kesadaran kritis. Dunia digital menjanjikan kebebasan, tetapi jika tidak bijak, justru akan mengubah manusia menjadi budak sistem yang dikendalikan oleh pihak berkepentingan. Keberanian berpikir kritis menjadi senjata utama untuk melawan ilusi ini.
Perpolitikan Transaksional: Demokrasi yang Diperjualbelikan
Realitas politik yang dipotret dalam puisi ini juga mencerminkan kondisi demokrasi yang telah ternoda oleh transaksionalisme dan money politics. Pemimpin lahir bukan dari proses seleksi moral dan intelektual, melainkan dari siapa yang memiliki modal lebih besar. Kampanye dijalankan bukan untuk menawarkan gagasan, melainkan sebagai ajang jual beli suara. Dalam sistem seperti ini, berbicara tentang perubahan tanpa keberanian melawan korupsi hanyalah kemunafikan belaka.
Pendidikan dan Universitas: Kawah Candradimuka yang Kehilangan Esensi
Universitas, yang seharusnya menjadi pusat intelektual dan moralitas, kerap terjebak dalam kapitalisme akademik. Lulusan dihasilkan bukan untuk menjadi pemimpin berintegritas, tetapi sekadar angka statistik dalam peringkat institusi. Gelar menjadi komoditas, ijazah menjadi tiket sosial, sementara keberanian dan idealisme terkikis oleh pragmatisme. Pendidikan seharusnya mencetak manusia yang berani, bukan pengecut yang tunduk pada sistem yang rusak.
Berani Jujur, Berani Tegak!
Puisi ini adalah sebuah seruan untuk kembali pada esensi keberanian dan integritas. Tanpa moralitas yang kokoh, semua kemajuan hanya akan menjadi bencana. Teknologi bukan musuh, tetapi jika diserahkan kepada mereka yang kehilangan hati nurani, maka ia akan menjadi alat perbudakan modern. Masa depan tidak ditentukan oleh kecanggihan sistem, tetapi oleh keberanian manusia untuk tetap jujur dan tegak di tengah badai kemunafikan. Sebab tanpa keberanian, kita semua hanya akan menjadi budak teknologi—gemetar dalam sunyi, tanpa daya melawan arus ketidakadilan. []
Penulis: Muhammad Ishak
Editor: Muhammad Subhan