Kaba “Catuih Ambuih”: Pendidikan Berkarakter, Pertanian Berdaulat
Pendidikan yang berakar pada nilai lokal dan agraria adalah kunci mencetak generasi pelopor perubahan sosial.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DALAM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tersurat jelas bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”. Dua kata kunci dari amanat luhur itu adalah mencerdaskan dan menyejahterakan.
Pendidikan dan kesejahteraan bukanlah dua hal yang berjalan sendiri-sendiri. Keduanya adalah pilar ganda dalam membangun peradaban bangsa. Pendidikan menjadi jalan utama dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya: beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap dalam ilmu pengetahuan, dan tangguh dalam keterampilan hidup. Sementara kesejahteraan, menjadi hasil dari sistem yang memberdayakan masyarakat dan menjaga kedaulatan mereka atas sumber daya.
Pendidikan: Amanat Besar yang Masih Perlu Diseriusi
UUD 1945 Pasal 31 Ayat (3) menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Bahkan pada Ayat (4) disebutkan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.”
Namun, sejauh mana amanat itu telah dijalankan dengan optimal? Di banyak daerah, infrastruktur pendidikan masih belum merata. Kurikulum belum sepenuhnya membumi pada nilai dan tantangan lokal. Dunia pendidikan justru lebih cenderung mencetak tenaga kerja, bukan pelopor perubahan sosial.
Padahal, pendidikan semestinya menjadi medium yang menyemai semangat kembali ke desa, mengakar pada tanah, dan menumbuhkan kecintaan pada pertanian serta sumber daya lokal.
Ketahanan Pangan: Jangan Sampai Petani Menjadi Buruh di Tanahnya Sendiri
Pertanian menjadi sektor yang ironis. Di negeri yang subur ini, justru minat anak muda untuk bertani kian menipis. Lahan sawah makin menyusut. Generasi penerus petani hampir tak ada. Jika tidak ditangani dari sekarang, Indonesia berpotensi mengalami krisis regenerasi petani dan, lebih jauh, krisis pangan.
Guru Besar Pertanian Universitas Gadjah Mada, Prof. Budi Santosa, memperingatkan: “Jika kita gagal meregenerasi petani hari ini, kita sedang membangun krisis pangan untuk esok hari.” Menurutnya, tidak cukup hanya dengan subsidi atau bantuan pupuk, melainkan juga rekonstruksi citra pertanian sebagai profesi modern dan bermartabat.
Di sisi lain, sistem pertanian berbasis korporasi tumbuh dengan cepat. Sawah dan lahan-lahan produktif mulai dikelola dengan pola seperti perkebunan besar. Rakyat perlahan kehilangan kendali atas tanahnya, dan bergeser menjadi buruh di lahan yang dulu diwarisi turun-temurun.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Lestari Wulandari, menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru alienasi agraria. “Model pertanian yang menjauhkan rakyat dari tanahnya adalah kolonialisme modern. Negara harus turun tangan, bukan menjadi penonton.”
Tantangan Perang Dagang dan Ketahanan Nasional
Dalam konteks global hari ini, perang dagang dan ketegangan geopolitik membuat pangan menjadi senjata politik. Negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri akan lebih tahan terhadap guncangan internasional. Sebaliknya, negara yang tergantung pada impor akan mudah limbung saat harga melonjak atau pasokan terganggu.
Indonesia, sebagai negara besar dengan lebih dari 270 juta jiwa, tidak boleh bertaruh pada skenario terburuk itu. Kemandirian pangan harus dimulai dari sekarang, dari desa-desa, dan dari semangat membangun kembali ekosistem pertanian rakyat yang berdaulat.
Jalan ke Depan
Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh negara dan seluruh elemen masyarakat adalah: Apa yang harus dilakukan?
Pertama, pendidikan harus ditautkan dengan problem riil rakyat. Kurikulum berbasis agraria, teknologi pertanian, kewirausahaan desa, dan pembangunan berkelanjutan harus diintegrasikan sejak dini.
Kedua, regenerasi petani mesti menjadi agenda nasional. Diperlukan insentif, pelatihan, dan inovasi teknologi agar pertanian menjadi profesi yang menarik, bukan hanya pelarian hidup.
Ketiga, negara harus melindungi petani kecil dari dominasi korporasi. Lahan rakyat harus dijaga agar tetap menjadi milik rakyat, bukan dikuasai pasar atau perusahaan raksasa.
Keempat, fakultas pertanian di universitas harus direvitalisasi. Ia bukan hanya tempat mencetak sarjana, melainkan pusat inovasi, pengabdian, dan transfer teknologi bagi petani desa.
Akhirnya, pendidikan dan pertanian adalah jantung dari kemerdekaan sejati. Kita tidak bisa hanya menghafal konstitusi tanpa menghidupkan ruhnya dalam kebijakan dan aksi nyata. Bangsa yang besar bukan hanya yang mencetak sarjana terbanyak, tetapi yang memastikan rakyatnya bisa hidup bermartabat dari tanah yang mereka pijak. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan