Kaba “Catuih Ambuih”: Menjaga Makna dan Menyambung Rasa
Dalam era digital yang semakin didominasi oleh AI dan otomatisasi, seni menjadi pengingat akan keberadaan kita sebagai manusia.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DI TENGAH arus perubahan yang makin deras akibat kemajuan teknologi, seni tetap menjadi ruang di mana manusia mempertahankan keunikan dan eksistensinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, ketika AI mulai mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia, kita harus menemukan sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh mesin—dan salah satunya adalah seni. Seni bukan sekadar produk estetika, tetapi juga medium untuk membangun makna, empati, dan kepedulian sosial.
Dalam konteks ini, kegiatan panggung ekspresi Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat serta diskusi seni dan budaya menjadi lebih dari sekadar pertunjukan atau wacana akademik. Ia adalah upaya kolektif untuk menyeimbangkan ilmu pengetahuan dengan kesadaran, antara hiburan dan makna, sekaligus membangun empati dan kepedulian sosial. Panggung ekspresi tidak hanya menghadirkan seni sebagai hiburan, tetapi juga sebagai refleksi atas realitas sosial, perjuangan, dan harapan.
Sebagaimana ungkapan orang Minang ringan samo dijinjiang, barek samo dipikua, seni dalam forum ini menjadi jembatan kebersamaan yang memperkuat solidaritas dan menyambung rasa di tengah masyarakat. Kegiatan ini bukan hanya tentang menampilkan karya, tetapi juga tentang mendengarkan dan memahami. Konsep danga man dangakan dalam budaya Minang menekankan pentingnya dialog dan saling mendengar—sebuah esensi yang juga menjadi inti dari seni yang hidup, seni yang tidak hanya dipertontonkan, tetapi juga dirasakan dan dimaknai bersama.
Joseph Beuys pernah berkata bahwa “Setiap orang adalah seniman,” menegaskan bahwa seni bukanlah milik segelintir orang, tetapi bagian dari kesadaran kolektif manusia. Dalam forum seni dan budaya ini, setiap individu memiliki peran dalam membangun kesadaran sosial melalui ekspresi kreatifnya. Seniman bukan hanya pencipta karya, tetapi juga penyambung makna, membangun ruang untuk empati, kepedulian, dan refleksi bersama.
Seperti yang diperingatkan oleh Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology, manusia tidak boleh hanya menjadi alat dalam sistem teknologi, tetapi harus tetap mencari makna yang lebih dalam. Jika seni hanya dilihat sebagai hiburan tanpa refleksi, maka perannya dalam membangun kesadaran sosial akan terkikis oleh pola konsumsi instan. Oleh karena itu, forum seni dan budaya ini menjadi perlawanan terhadap mekanisasi budaya, memastikan bahwa seni tetap menjadi ruang bagi manusia untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain.
Dalam era digital yang semakin didominasi oleh AI dan otomatisasi, seni menjadi pengingat akan keberadaan kita sebagai manusia. Ia bukan hanya ekspresi kreatif, tetapi juga alat untuk membangun kebersamaan, menghadirkan suasana kebatinan, dan menyambung rasa di tengah masyarakat. Panggung ekspresi dan diskusi seni bukan hanya ajang pertunjukan, tetapi juga ruang untuk menyeimbangkan ilmu pengetahuan dan kesadaran, logika dan spiritualitas, hiburan dan makna—sebuah upaya menjaga agar seni tetap menjadi jendela jiwa manusia yang tidak bisa digantikan oleh algoritma. []
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan