Kaba “Catuih Ambuih”: Membedah Narasi, Memahami yang Tersurat, Menyingkap yang Tersirat

Literasi sejati bukan hanya memahami teks, tetapi juga membaca konteks, membedah motif, dan menyingkap kebenaran.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi

KATA-KATA bukan sekadar rangkaian huruf yang membentuk makna, tetapi alat yang dapat mengarahkan pemahaman dan membentuk keyakinan. Terkadang, kebenaran bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana itu disampaikan. Sebuah informasi yang tampak logis bisa saja mengandung manipulasi halus, seperti ketika seseorang mengatakan bahwa lebih banyak orang meninggal karena diabetes dibandingkan rokok. Sekilas, pernyataan ini bisa membuat sebagian orang merasa aman untuk tetap merokok, padahal kenyataannya, kedua hal tersebut sama-sama membawa dampak buruk.

Inilah cara narasi dimainkan hari ini—mengarahkan fokus, menciptakan kesan yang masuk akal, tetapi sejatinya mengandung pengalihan. Pemahaman literasi yang mendalam tidak boleh berhenti pada “nan tasurek“, apa yang tertulis di permukaan, tetapi harus meluas ke “nan tasirek“, yang tersirat, bahkan sampai “nan tasuruak“, yang tersembunyi di balik kata-kata.

Sama halnya ketika sebuah survei pada tahun 2015 menempatkan negara-negara Skandinavia dan Jepang sebagai negara yang paling mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti cinta damai, kejujuran, tidak korupsi dan kebersihan—sementara negara dengan mayoritas penduduk Muslim justru tidak menempati peringkat atas. Sekilas, ini tampak paradoksal. Seolah-olah keberislaman tidak berkorelasi langsung dengan perilaku Islami.

Bagi yang membaca permukaan, mungkin kesimpulannya adalah bahwa tidak perlu menjadi Muslim untuk berbuat baik. Namun, bagi yang memahami lebih dalam, seperti dalam pituah Minang (nan tasirek dan nan tasuruak), persoalan bukan terletak pada agama Islam itu sendiri, tetapi pada bagaimana seseorang menjalankan keislaman dalam kehidupannya. Agama bukan sekadar identitas, tetapi cara hidup yang harus diterapkan dalam keseharian.

Manipulasi Narasi → ilusi kebenaran, logika semu, distorsi makna, pengalihan wacana.

Pemahaman Literasi → membaca yang tersurat, menafsir yang tersirat, menyingkap yang tersembunyi.

Paradoks Keyakinan → linearitas yang terputus, spiritualitas tanpa implementasi, nilai yang tercerabut dari akar.

Jacques Derrida – Melalui konsep deconstruction, ia menjelaskan bahwa makna dalam bahasa tidak pernah tetap dan selalu bisa ditafsir ulang. Oleh karena itu, kita harus selalu menggali lebih dalam dari sekadar yang tampak.

Michel Foucault – Ia mengungkap bagaimana kekuasaan bekerja melalui narasi. Siapa yang mengontrol narasi, ia mengontrol pemahaman masyarakat.

Ibn Khaldun – Dalam Muqaddimah, ia menyoroti bagaimana peradaban runtuh bukan karena ajarannya salah, tetapi karena warganya gagal menghidupkan nilai-nilai yang diajarkan. Ini selaras dengan paradoks bahwa negara dengan mayoritas Muslim belum tentu mencerminkan nilai-nilai Islam secara sosial.

Akibat dari rendahnya literasi semakin nyata dalam berbagai aspek kehidupan:

Mudah Diprovokasi dan Diadu Domba
Masyarakat dengan literasi rendah cenderung menerima informasi secara mentah tanpa memverifikasi kebenarannya. Hoaks dan propaganda dengan mudah menyebar, menciptakan perpecahan sosial, kebencian, dan konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Terjebak dalam Logika Semu dan Manipulasi Narasi
Tanpa kemampuan berpikir kritis, banyak orang percaya pada argumen yang tampak masuk akal, padahal hanya distorsi dari kebenaran. Seperti kata Michel Foucault, kekuasaan sering kali bekerja melalui kontrol terhadap wacana, dan mereka yang tidak memiliki literasi tinggi akan terus menjadi korban narasi yang menguntungkan pihak tertentu.

Gagal Membaca Konteks Sosial dan Budaya
Seperti yang dikatakan Ibn Khaldun, peradaban runtuh bukan karena ajaran yang salah, tetapi karena masyarakatnya gagal menerapkan nilai-nilai luhur yang mereka miliki. Jika masyarakat tidak mampu membedakan antara ajaran agama dan praktik keberagamaan yang dijalankan, mereka akan terus menyalahkan Islam atas kegagalan umatnya, alih-alih memperbaiki cara mereka menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kehilangan Identitas dan Arah dalam Kehidupan
Ketika masyarakat tidak mampu memahami nilai-nilai fundamental dalam ajaran dan budaya mereka sendiri, mereka cenderung kehilangan pegangan dalam menentukan arah hidup. Akhirnya, mereka mudah terseret arus globalisasi tanpa filter, mengadopsi pemikiran dan gaya hidup tanpa menyadari dampaknya terhadap jati diri mereka sendiri.

Di dunia yang dipenuhi narasi yang disusun dengan apik, kita harus lebih dari sekadar pembaca pasif. Literasi sejati bukan hanya memahami teks, tetapi juga membaca konteks, membedah motif, dan menyingkap kebenaran di balik kata-kata. Karena sering kali, yang tampak rasional belum tentu benar, dan yang tampak paradoksal justru menyimpan kebenaran yang lebih dalam. []

Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan