Kaba “Catuih Ambuih”: “Keteguhan dalam Penderitaan, Harapan, dan Perlawanan
Harapan tidak boleh dibiarkan sirna, karena harapan adalah bahan bakar bagi perubahan.

Oleh Muhammad Ishak
VIKTOR E. FRANKL, dalam bukunya Man’s Search for Meaning, menegaskan bahwa manusia selalu memiliki kebebasan memilih respons terhadap penderitaan. Ia mengatakan, “Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances.” Kita tidak selalu bisa mengontrol apa yang terjadi, tetapi kita bisa mengontrol bagaimana kita menyikapinya.
Seperti malam yang tampak paling gelap sebelum fajar, penderitaan justru bisa menjadi momentum lahirnya harapan baru. Namun, harapan itu bukanlah sekadar angan-angan kosong. Harapan harus diperjuangkan. Kesabaran memang diperlukan dalam menghadapi cobaan, tetapi dalam menghadapi kezaliman, kesabaran tidak berarti kepasifan—ia harus menjelma menjadi perlawanan.
Ketidakadilan dan Oligarki: Antara Kezaliman dan Perlawanan
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana kesenjangan ekonomi kian melebar, korupsi mengakar, dan oligarki mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Oligarki politik dan ekonomi berupaya membentuk realitas sedemikian rupa sehingga rakyat kehilangan daya juang dan menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang tak terelakkan.
Namun, sejarah telah membuktikan bahwa rakyat yang sadar dan terorganisir dapat menggulingkan kezaliman. Nelson Mandela pernah berkata, “I have walked that long road to freedom. I have tried not to falter; I have made missteps along the way. But I have discovered the secret that after climbing a great hill, one only finds that there are many more hills to climb.”
Perlawanan terhadap kezaliman bukanlah tindakan instan, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan keteguhan. Harapan tidak boleh dibiarkan sirna, karena harapan adalah bahan bakar bagi perubahan.
Di tengah ketidakpastian, kita dihadapkan pada pilihan: menyerah dan membiarkan penderitaan merampas harapan, atau bertahan dan menemukan makna dalam perjuangan. Hidup bukan hanya tentang bertahan secara fisik, tetapi juga tentang mempertahankan jiwa yang tidak tunduk pada keadaan. Dunia bisa mengambil segalanya—harta, kebebasan, bahkan kehormatan—tetapi tidak akan pernah bisa merampas jiwa kita, kecuali jika kita sendiri menyerahkannya.
Keyakinan dan Pemahaman: Antara Kebebasan dan Penjara
Keyakinan adalah kekuatan, tetapi seperti api, ia bisa menjadi penerang atau justru membakar jika tidak diarahkan dengan pemahaman yang benar. Dalam The Republic, Plato menggambarkan bagaimana manusia sering kali terjebak dalam cave allegory—hidup dalam bayang-bayang yang mereka anggap sebagai kebenaran. Tanpa pemahaman, keyakinan bisa berubah menjadi penjara yang membatasi cara kita melihat dunia.
Karena itu, kita harus bertanya: apakah kita hidup dalam keyakinan yang membebaskan atau justru dalam keyakinan yang membelenggu?
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.” Makna hidup tidak ditemukan dalam kepasifan, tetapi dalam tindakan dan perjuangan. Kita harus memilih: apakah kita akan menjadi saksi bisu dari ketidakadilan, ataukah kita akan berjuang agar bangsa ini benar-benar berdaulat?
Harapan: Kunci untuk Melampaui Penderitaan
Harapan bukan sekadar mimpi kosong. Harapan adalah pilihan sadar untuk melihat masa depan yang lebih baik, meski hari ini penuh kegelapan. Seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, “Pessimism of the intellect, optimism of the will.” Kita boleh menyadari bahwa keadaan buruk, tetapi kita tidak boleh kehilangan keyakinan untuk terus berjuang.
Dunia akan selalu mencoba merampas apa yang kita miliki—kebebasan, harta, bahkan kehormatan. Namun, ada satu hal yang tidak bisa diambil, kecuali jika kita sendiri yang menyerahkannya: jiwa kita. Selama kita tetap berpegang pada harapan dan terus berjuang dengan pemahaman yang benar, maka kita tidak akan pernah benar-benar kalah.
Kezaliman harus dilawan, bukan dengan amarah tanpa arah, tetapi dengan kesadaran, keteguhan, dan keberanian untuk tidak tunduk pada ketidakadilan. Karena pada akhirnya, yang membedakan seorang yang bertahan dan seorang yang kalah bukanlah kekuatan raganya, tetapi kehendaknya untuk tetap hidup dan berjuang.
Penulis: Muhammad Ishak
Editor: Muhammad Subhan
-
Ping-balik: Kaba "Catuih Ambuih": Kemiskinan, Aset Tersembunyi yang Dipelihara - Majalahelipsis.id