Kaba “Catuih Ambuih”: Kekuatan Kata, Psikologi, dan Hikmah Puasa Ramadan
Puasa Ramadan melatih umat Islam untuk mengendalikan ucapan dan pikiran, yang selaras dengan konsep psikologi tentang pengaruh kata-kata terhadap diri sendiri.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
PERILAKU manusia tidak hanya dipengaruhi oleh tindakan fisik, tetapi juga oleh pikiran dan kata-kata yang mereka ucapkan. Seorang profesor psikologi bernama John Bargh, yang dikenal dengan penelitiannya tentang priming effect, membuktikan bagaimana paparan kata-kata tertentu dapat memengaruhi perilaku seseorang tanpa mereka sadari.
Salah satu eksperimen terkenal yang dikaitkan dengan Bargh adalah studi tentang pengaruh kata-kata terhadap perilaku, yang juga dibahas dalam buku Blink karya Malcolm Gladwell. Dalam eksperimen ini, peserta yang terpapar kata-kata yang berhubungan dengan penuaan cenderung berjalan lebih lambat, menunjukkan bahwa pikiran bawah sadar kita bisa diarahkan oleh kata-kata yang kita dengar atau baca.
Jika konsep ini diperluas, maka kata-kata positif yang kita ucapkan kepada diri sendiri setiap hari akan membentuk pola pikir yang lebih optimis dan berpengaruh pada ekspresi serta energi yang kita pancarkan. Sebaliknya, ucapan negatif dapat menciptakan sikap pesimis dan bahkan berdampak pada raut wajah seseorang.
Korelasi dengan Puasa dalam Islam
Dalam ajaran Islam, konsep mengontrol ucapan dan perilaku selama 30 hari berturut-turut sudah lama diajarkan melalui ibadah puasa di bulan Ramadan.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dalam ayat ini, puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan spiritual untuk mencapai ketakwaan. Hal ini mencakup menjaga ucapan, menghindari perkataan buruk, serta memperbanyak doa dan zikir.
Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh kepada lapar dan hausnya.” (HR. Bukhari)
Dari hadis ini, jelas bahwa esensi puasa bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga mengendalikan ucapan dan sikap.
Pendapat Ahli Psikologi tentang Pengaruh Kata-Kata
Dalam bidang psikologi, konsep ini juga dijelaskan oleh Dr. Martin Seligman, seorang tokoh utama dalam Positive Psychology. Menurutnya, learned optimism adalah kemampuan seseorang untuk melatih dirinya menjadi lebih optimis dengan mengubah cara berpikir dan berbicara. Dengan kata lain, kata-kata yang kita ucapkan secara terus-menerus akan membentuk kebiasaan dan pola pikir kita.
Selain itu, penelitian oleh Dr. Masaru Emoto menunjukkan bahwa kata-kata memiliki efek fisik terhadap air. Kata-kata positif membentuk struktur kristal air yang indah, sedangkan kata-kata negatif menghasilkan bentuk yang kacau. Jika tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air, maka perkataan yang kita ucapkan setiap hari juga dapat memengaruhi kondisi fisik dan emosional kita.
Jika psikologi modern membuktikan bahwa pikiran dan ucapan positif dapat membentuk ekspresi wajah dan perilaku seseorang, maka Islam telah mengajarkan konsep ini jauh lebih dulu melalui ibadah puasa. Selama 30 hari berturut-turut, umat Islam diajarkan untuk menjaga lisan, berpikir positif, dan melakukan kebaikan—sebuah latihan spiritual yang akhirnya membentuk kepribadian yang lebih baik.
Sayangnya, banyak dari kita baru memahami hikmah ini ketika sains membuktikannya. Padahal, Islam telah lebih dahulu mengajarkan bagaimana manusia dapat mengubah dirinya menjadi lebih baik melalui kontrol diri dan ucapan yang positif.
Maka, puasa Ramadan bukan hanya ibadah, tetapi juga sebuah metode ilmiah yang efektif untuk membentuk kebiasaan baru, meningkatkan ketakwaan, dan menjadikan manusia lebih optimis serta berwajah cerah penuh cahaya kebaikan. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan