Kaba “Catuih Ambuih”: Kata, Janji, dan Utang Budaya
Ketika janji diabaikan dan kata-kata kehilangan makna, yang terancam bukan hanya ruang seni, tapi juga masa depan kebudayaan bangsa.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
KETIKA kata-kata tak lagi bermakna, dan ruang-ruang diskusi dipenuhi retorika tanpa arah, apakah masih ada daya dalam setiap huruf yang kita rangkai untuk membangkitkan kesadaran dan mendorong perubahan?
Sebuah tulisan sepanjang 25 meter dan selebar 4 meter, yang membentang di ruang publik dengan kalimat: “Bilolah kasalasainyo gedung kebudayaan ko” bukan sekadar keluhan visual. Ia adalah jeritan nurani kolektif yang selama satu dasawarsa lebih menanti jawaban dari janji negara.
Namun, apakah sebesar dan sejelas itu masih juga tak terbaca? Apakah ketika suara komunitas kebudayaan diabaikan, kita masih layak disebut bangsa yang beradab dan berpijak pada akar budayanya?
Kata sebagai Pusaka
Orang Minang memegang teguh petuah: “Yang pusako tu kato.” Kata adalah pusaka, warisan luhur yang tidak hanya menyampaikan isi pikiran, tetapi juga menjadi dasar kesepakatan, pijakan kehormatan, dan simpul komitmen bersama. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi marwah, kata adalah hukum moral yang mengikat lebih dalam dari kontrak tertulis.
Maka ketika satu dasawarsa lalu pemerintah berjanji akan membangun kembali Gedung Kebudayaan—yang menjadi pusat aktivitas seni, ekspresi, dan edukasi kultural—janji itu bukan sekadar program pembangunan. Ia telah menjadi hutang sosial dan budaya. Ia adalah bentuk perikatan antara penguasa dan warga yang mempercayakan representasi identitasnya kepada negara.
Dalam kaidah hukum, prinsip “pacta sunt servanda” menyatakan bahwa setiap janji dan kesepakatan mengikat seperti undang-undang. Kegagalan menepatinya dikenal sebagai wanprestasi: lalai menjalankan kewajiban yang telah disepakati. Bila janji dikhianati, maka yang terkikis bukan hanya kepercayaan publik, tetapi juga struktur nilai dalam masyarakat itu sendiri.
Ketika Budaya Terlantar
Gedung kebudayaan bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah rumah bersama bagi berbagai ekspresi etnis, seni tradisi, pertunjukan kontemporer, diskusi intelektual, dan proses edukatif lintas generasi. Ketika gedung itu terbengkalai dan tidak juga dibangun kembali, kita tidak hanya kehilangan ruang. Kita kehilangan kesempatan untuk menjaga kesinambungan narasi budaya yang selama ini hidup dari komunitas ke komunitas.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita akan membiarkan komunitas kesenian tercerai berai, tanpa pusat, tanpa arah, dan tanpa kepedulian? Di tengah geliat modernisasi, pasar bisa direlokasi dengan solusi yang jelas. Tapi bagaimana dengan ruang kesenian? Apakah ia harus viral dulu baru dianggap penting? Haruskah kita menunggu “karuah mako kajaniah”—membiarkan keruh hingga air jadi jernih—baru kemudian masalah ditangani?
Pepatah Minang berkata, ma-ampang malapehkan, mambunuah ma hidupkan. Maknanya, bila tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik, jangan pula membiarkannya menjadi sumber kematian nilai. Kita butuh kanal solusi, bukan hanya bendungan janji.
Prof. Eko Prasojo, sosiolog budaya dari Universitas Indonesia, pernah menegaskan bahwa “Kebudayaan bukan sekadar warisan, tapi proyek masa depan. Ketika negara mengabaikan budaya, ia sedang merobohkan fondasi keberlanjutan bangsa.” Dalam konteks ini, keterlambatan pembangunan gedung kebudayaan Sumatera Barat bukan hanya bentuk abai administratif. Ia adalah simbol kegagalan kita membangun masa depan bersama.
Kebudayaan tidak bisa menunggu. Ia tumbuh, bergerak, dan berevolusi dalam ruang. Ketika ruang itu tiada, proses budaya menjadi hampa. Dan hampa itu bisa berubah menjadi kematian simbolik bagi satu peradaban.
Langkah Konkret, Bukan Keluh Kesah
Kita sudah cukup bicara. Saatnya mengambil langkah konkret. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan komunitas dan masyarakat sipil:
Pertama Audiensi Terbuka dengan Pemerintah: Menuntut forum resmi dan terbuka bersama pemerintah daerah dan legislatif agar permasalahan ini masuk ke prioritas anggaran.
Kedua aliansi dengan Media dan Budayawan Nasional: Mengangkat narasi ini di tingkat nasional agar tidak terkungkung sebagai isu lokal semata.
Ketiga Desain Ulang Proposal Pembangunan: Komunitas budaya bisa mengambil inisiatif menyusun kembali dokumen teknis dan anggaran pembangunan sebagai bentuk partisipasi aktif.
Keempat Menghidupkan Ruang Alternatif Sementara: Sampai pembangunan fisik direalisasikan, ruang budaya sementara bisa diwujudkan melalui pengalokasian anggaran pemerintah daerah dan pemanfaatan CSR perusahaan daerah.
Politik Anggaran yang Berkeadilan
Perlu disadari bahwa gedung kebudayaan bukan kompetitor proyek infrastruktur lainnya. Ia tidak seharusnya dikalahkan oleh jalan tol, jembatan, atau gedung pemerintahan baru. Anggaran bukan soal siapa yang lebih kuat melobi, tapi siapa yang lebih kuat argumennya dalam membangun keberlanjutan.
Investasi dalam kebudayaan adalah investasi dalam ketahanan sosial. Negara-negara maju menyadari pentingnya “cultural infrastructure” sebagai penyangga demokrasi, inovasi, dan harmoni sosial. Indonesia tidak bisa ketinggalan dalam hal ini.
Menghidupkan Kembali Kata yang Mati
Di tengah situasi ini, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kata-kata masih berarti? Jika kita membiarkan janji menjadi angin lalu, maka kita sedang mematikan pusaka yang seharusnya kita jaga. Kata-kata bukan hanya untuk diucapkan. Ia untuk ditindaklanjuti. Sebab hanya melalui tindakanlah, kata mendapatkan nyawanya kembali.
Jika pemerintah pernah berkata: “Kami akan lanjutkan pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat,” maka masyarakat hari ini berkata: “Kami akan tagih janji itu.” Bukan untuk marah, bukan untuk gaduh, tapi demi menjaga yang paling berharga dalam kehidupan berbangsa: kepercayaan.
Bagi masyarakat Minang, kepercayaan bukan sekadar ikatan psikologis. Ia adalah simpul adat. Dan jika simpul itu longgar, maka rusaklah tatanan.
Warisan atau Kehampaan?
Kita berada di titik balik. Apakah kita ingin mewariskan gedung kebudayaan kepada generasi mendatang, atau mewariskan cerita tentang kegagalan menepati janji? Apakah kita ingin anak-anak kita belajar menari, berpuisi ,berteater, bermusik, dan berdiskusi di ruang yang bermartabat? Ataukah kita ingin mereka belajar dari kehampaan bahwa janji bisa dikhianati?
Gedung kebudayaan bukan permintaan. Ia adalah hak. Ia adalah manifestasi dari falsafah bangsa bahwa kita bukan hanya dibentuk oleh tanah dan air, tetapi juga oleh narasi dan nilai.
Hari ini kita menulis kembali kata. Bukan hanya di atas spanduk sepanjang 25 meter. Tapi di atas sejarah. Agar pusaka yang bernama “kato” tetap hidup. Dan hidup itu memberi arah. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan