Kaba “Catuih Ambuih”: Harmoni Tradisi dan Solidaritas dalam Ekosistem Kesenian
Kaba, sebagai medium informasi, dapat menjadi alat untuk menjembatani kesalahpahaman dan memberikan kejelasan dalam situasi yang tidak “bakajalehan” (tidak jelas).

Oleh Muhammad Ishak
KOMUNIKASI efektif didefinisikan sebagai proses pertukaran informasi yang jelas, tepat, dan menghasilkan pemahaman serta tindakan yang diharapkan oleh semua pihak yang terlibat. Dalam konteks membangun ekosistem kesenian dan kebudayaan, komunikasi yang efektif menjadi landasan untuk menciptakan kolaborasi, penghargaan, dan solidaritas. Tradisi Minangkabau kaya akan falsafah komunikasi yang sarat makna, seperti yang tercermin dalam ungkapan: “Nan adaik laku, nan laku tabali tajua, nan tabali tajua, lamak dek awak katuju dek urang, bana di atehnyo.”
Ungkapan ini mencerminkan prinsip hidup yang berorientasi pada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kebersamaan, serta pentingnya kejujuran dan kebenaran dalam interaksi sosial. Prinsip ini sangat relevan dalam membangun ekosistem kesenian, di mana komunikasi dan kolaborasi tidak hanya tentang kepentingan individu atau kelompok, tetapi juga manfaat kolektif bagi masyarakat.
Tradisi Kaba dan Pentingnya Transparansi
Dalam masyarakat Minangkabau, penyampaian informasi diatur oleh norma kaba baik baimbauan (kabar baik diberitahukan atau diundang), kaba buruak baambauan (kabar buruk dengan spontan datang).” Kaba, sebagai medium informasi, dapat menjadi alat untuk menjembatani kesalahpahaman dan memberikan kejelasan dalam situasi yang tidak “bakajalehan” (tidak jelas). Dalam ekosistem kesenian, pendekatan ini mendorong komunitas untuk secara aktif berbagi kabar baik berupa capaian atau kegiatan positif, sekaligus menyelesaikan masalah secara bersama dalam semangat “baambauan.”
Ahli komunikasi budaya Edward T. Hall menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang mengedepankan konteks budaya tinggi (high-context culture), seperti Minangkabau, kejelasan pesan tidak hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga pada konteks sosial dan hubungan antarindividu. Oleh karena itu, membangun ekosistem seni yang inklusif memerlukan penekanan pada nilai-nilai tradisi seperti “baambauan” untuk memastikan semua pihak merasa didengar dan dihargai.
Alek Jalang Manjalang dan Solidaritas Sosial
Kegiatan alek jalang manjalang mencerminkan pentingnya saling menghormati, menghargai, dan mendukung satu sama lain dalam kebudayaan Minangkabau. Dalam konteks kesenian, ini berarti hadir di acara seni dan budaya yang diselenggarakan oleh komunitas lain sebagai bentuk solidaritas dan apresiasi. Di Pariaman, filosofi kalau kita tidak sering manuruik alek urang (mendatangi undangan pesta), bagaimana pula orang mau manuruik alek awak (mendatangi pesta kita) menggarisbawahi bahwa keberlanjutan ekosistem kesenian bergantung pada siklus dukungan timbal balik.
Para sosiolog, seperti Pierre Bourdieu, menganggap bahwa bentuk solidaritas sosial ini dapat dikaitkan dengan modal sosial, yaitu jaringan hubungan yang saling menguntungkan dalam sebuah komunitas. Modal sosial ini menjadi kunci dalam membangun ekosistem seni yang sehat, di mana partisipasi aktif dan rasa peduli menjadi penggeraknya.
Baambauan untuk Revitalisasi Fasilitas Seni
Ketika fasilitas kesenian tidak lagi representatif atau mengalami penurunan, baambauan dapat menjadi langkah awal untuk menyatukan pemikiran dan menciptakan solusi bersama. Dalam semangat ini, komunitas seni dan budaya dapat menghidupkan kembali wadah-wadah yang tenggelam melalui dialog, diskusi, atau aksi kolektif.
Menurut John Dewey, filsuf pragmatisme, seni adalah medium untuk memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas sosial. Ketika masyarakat seni bergerak bersama untuk memperbaiki fasilitas yang mendukung kreativitas, mereka tidak hanya menciptakan ruang fisik, tetapi juga memperkuat hubungan sosial yang menjadi dasar keberlanjutan ekosistem budaya.
Ekosistem kesenian dan kebudayaan dapat berkembang dengan memperkuat komunikasi yang efektif, menjunjung tradisi saling menghormati (jalang manjalang), serta menyelesaikan persoalan bersama melalui pendekatan dialogis (baambauan). Hanya dengan membangun siklus apresiasi dan dukungan yang saling menguatkan, ekosistem ini dapat terus hidup dan relevan di tengah dinamika zaman.
Mari kita bersama-sama menjadi bagian dari gerakan ini, seperti pepatah Minangkabau: Alam takambang jadi guru, hidup saling manjujai.
Kesenian dan kebudayaan adalah cermin dari kebijaksanaan kolektif yang akan terus lestari jika kita menjaga dan merawatnya dengan penuh tanggung jawab. []
Muhammad Ishak, aktif di kegiatan silat, baca puisi, dan teater sejak belia sampai remaja, aktif dalam pementasan teater dan baca puisi sejak tahun 1989 sampai dengan 1995, tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dalam kelompok Teater Dayung Dayung pimpinan A. Alinde (alm.) tahun 1992 dan juga tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta (TIM) dengan Bumi Teater pimpinan Wisran Hadi (alm.) tahun 1994, dan aktif pementasan teater di Taman Budaya Sumbar dan kota lainnya, ikut dalam Forum Pejuang Seniman Sumatera Barat (FPS-SB), serta terlibat sebagai pembicara dalam Kelompok Kreator Era AI, bekerja di dunia perbankan selama lebih kurang 28 tahun sejak tahun 1996 sebagian dihabiskan menjadi Direktur Utama selama 20 tahun di beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar dan mendirikan BPR milik Pemda Padang Pariaman pada tahun 2007. Sekarang sebagai Komisaris di samping Advokat dan aktif dalam kegiatan Kebudayaan dan Kesenian di Sumatera Barat.
Penulis: Muhammad Ishak
Editor: Muhammad Subhan