Kaba “Catuih Ambuih”: Dari Tahu ke Tunduk Jalan Sunyi Menuju Hikmah
Proses pembelajaran Islam menuntun dari pengetahuan menuju kebiasaan mulia dan akhlak.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DI LEMBAH sunyi peradaban, di mana pena lebih tajam dari pedang, umat ini dahulu mencatat langit dalam lembaran hati. Islam datang tak hanya mengajarkan apa yang harus diketahui, tetapi bagaimana mengetahui, merasakan, menggerakkan, hingga membiasakan.
Tahapan pembelajaran itu bukan rekaan modern, tapi warisan nubuwah:
Dari kognitif, saat Muhammad membaca “Iqra” dalam kegelapan Gua Hira—dari tidak tahu menjadi tahu,
Ke afektif, ketika hatinya bergetar, menolak, lalu tunduk—dari tidak mau menjadi mau.
Lalu motoris, saat tubuhnya bergerak menyampaikan, berdakwah tanpa jeda—dari tidak bisa menjadi bisa.
Hingga behavioral, ketika kebiasaan itu menjelma akhlak, menjadi hikmah, menjadi cermin wahyu dalam laku manusia.
Dalil Al-Qur’an yang merepresentasikan tahapan ini:
- Kognitif (Dari tidak tahu menjadi tahu):
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78) - Afektif (Dari tidak mau menjadi mau):
“Sesungguhnya telah Kami sampaikan kepada mereka perkataan (Al-Qur’an), agar mereka ingat. Orang yang diberi peringatan akan tunduk (patuh).” (QS. Az-Zumar: 23) - Motoris (Dari tidak bisa menjadi bisa):
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…” (QS. Al-Hajj: 78) - Behavior; Hikmah (Menjadi kebiasaan mulia):
“Dia memberi hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Namun, apakah umat Islam hari ini benar-benar memahami metode pembelajaran ini? Atau kita terperangkap dalam ilmu yang tercerai dari amal, dalam hafalan yang bisu dari hikmah?
Syekh Muhammad Abduh, pembaharu pemikiran Islam, pernah berkata: “Islam tidak menentang akal, bahkan menuntun akal menuju kebenaran. Tetapi umat Islam meninggalkan akal dan hanya merawat warisan tanpa ruhnya.”
Hari ini, banyak dari kita fasih dalam taklid, namun gagap dalam tajdid (pembaharuan). Kita hafal ayat, tapi lalai makna. Kita tahu, tapi tak merasa. Kita bergerak, tapi tak mengubah. Kita berislam, tapi belum berhikmah.
Maka saatnya kita kembali. Menata ulang metode berpikir umat.
Belajar bukan hanya untuk tahu, tapi untuk berubah.
Dari tahu, menjadi mau.
Dari mau, menjadi mampu.
Dari mampu, menjadi terbiasa.
Dari kebiasaan, lahirlah hikmah—buah dari ilmu yang berpijak pada langit dan menyentuh bumi.
“Ilmu tanpa hikmah adalah cahaya tanpa arah. Hikmah tanpa amal adalah bayang-bayang tanpa tubuh.” []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan